Mohon tunggu...
Vicky Laurentina
Vicky Laurentina Mohon Tunggu... Penulis - Food blogger Indonesia

Saya melakukan food blogging di http://vickyfahmi.com.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Perkembangan Sosial Emosional Mendapatkan Tantangan di Masa Transisi Pandemi

29 Juni 2022   14:15 Diperbarui: 2 Juli 2022   12:24 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan sosial emosional adalah salah satu aspek dari tumbuh kembang anak.

Ada dua macam unsur dalam perkembangan sosial emosional ini. Pertama, perkembangan anak dalam mengelola emosi. Kedua, perkembangan anak dalam membuat relasi dengan orang lain.

Dan ternyata, masa transisi pandemi menuju endemi ini lumayan unik bagi sebagian anak. Sebab, perkembangan sosial emosional ini jadi tantangan buat anak, gara-gara transisi itu sendiri.

Masa Transisi Pandemi Mempengaruhi Perkembangan Sosial Emosional

Memangnya ada apa dengan masa transisi pandemi? Yah, masa transisi pandemi itu perpindahan situasi, dari pandemi menjadi endemi. 

Tapi, buat seorang anak yang usianya masih kecil, transisi ini juga berarti perpindahan situasi lho. Tepatnya, situasi yang semula di rumah saja, berubah menjadi situasi bisa berkegiatan dengan orang lain di luar rumah.

Bagi anak kecil, ternyata situasi yang baru ini memaksanya menyesuaikan diri. Karena, ada hal-hal anyar yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya. 

Misalnya kenalan dengan teman yang baru. Selain itu, dia harus berinteraksi dengan teman baru itu. 

Namun ternyata, si anak belum tentu cocok dengan teman baru ini. Bergaul dengan teman baru mungkin akan membuatnya mengalami emosi. Baik itu emosi positif (senang) atau emosi negatif (sebal). 

Kalau anak salah mengekspresikan emosinya, mungkin dia akan berkonflik dengan teman barunya. Akibatnya dia bisa jadi stres. 

Dan semua stres ini karena dia baru pertama kali mengalami ini. Padahal selama dia di rumah saja selama pandemi, dunia nampak “baik-baik saja” baginya. Mengapa transisi ini begitu menyusahkan?

Sebetulnya, problem anak di masa transisi ini bisa diantisipasi lho. Asalkan orang tuanya memang mau menciptakan lingkungan yang mampu mengoptimasi perkembangan sosial emosional anak.

Bagaimana cara menciptakan lingkungan yang mengoptimasi itu? Baca terus tulisan ini ya.

Perkembangan Sosial Emosional Itu Apa Saja?

Perkembangan sosial emosional itu antara lain mengenali emosi, mengekspresikan emosi, mengelola emosi, dan berinteraksi dengan orang lain.

Untuk mengenali emosi, anak perlu tahu apakah emosinya ini positif atau negatif. Dan dia harus bisa mengekspresikan emosinya, setidaknya secara verbal. Misalnya, “Mama, aku sedih.”

Lalu dia harus mengelola emosinya baik-baik. Tujuannya, supaya jangan sampai emosinya itu mengganggu orang lain. 

Misalnya, ketika dia lagi senang, dia boleh menyatakan kegembiraannya. Tapi tidak boleh sampai sorak-sorai di tengah suasana yang butuh ketenangan. 

Atau, ketika dia sedang marah, dia boleh bilang bahwa dia marah. Tapi tidak boleh sampai memukul orang lain.

Kedengarannya sederhana, tapi kalau anak ini gagal dalam perkembangan sosial emosional ini, dia bisa tertekan. Pikirnya, misalnya nih, “Aku ini bete, kenapa kok malah harus diam?”

Para ahli tumbuh kembang bilang secara implisit, bahwa rasa tertekan ini akan menjadi konflik bagi dirinya sendiri. Wujud tertekan ini macam-macam, misalnya tantrum. Anak jadi rewel, gampang nangis, atau malah jadi gampang marah.

Kalau rasa tertekan ini terus berlanjut, maka dia akan jadi pribadi yang sulit menjalin relasi dengan orang lain. Bagaimana caranya anak ini jadi anak hebat kalau berhubungan dengan orang lain saja sulit?

“Bagi anak-anak, kebingungan menghadapi perubahan ruang dan rutinitas baru saat kembali menjalani kehidupan dan interaksi sosial dapat meningkatkan masalah sosial-emosional yang dampaknya bisa berbeda tergantung dengan usia anak dan dukungan dari lingkungannya. Gangguan perkembangan emosi dan sosial dapat mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan di masa dewasa, seperti gangguan kognitif, depresi, dan potensi penyakit tidak menular,” 

kata Dr dr. Bernie E. Medise, Sp.A(K), MPH, dokter spesialis tumbuh kembang anak.

Coba bayangkan, anak ketika dewasa ternyata jadi depresi. Gara-gara waktu masih kecil, dia kesusahan mengekspresikan emosinya sendiri. Kasihan kan ya?

Maka, kalau mau anak kita mendapatkan indikator tumbuh kembang yang baik, perkembangan aspek sosial emosional tidak boleh sampai terlewatkan.

Tantangan dari Optimasi Aspek Sosial Emosional

Menyediakan Lingkungan

Persoalannya, menyediakan lingkungan yang mengoptimasi aspek sosial emosional itu juga kadang-kadang menguras kesabaran. Bayangkan, orang tua sudah susah payah memberikan proteksi (seperti imunisasi, dan kesiagaan berkonsultasi ke dokter jika mengalami sakit). 

Selain itu, lingkungan yang optimal juga dipengaruhi faktor stimulasi dari orang tua anak. Stimulasinya dilakukan orang tua dengan memberi contoh untuk ditiru anak. Lalu, anak dilibatkan dalam diskusi untuk membuat keputusan keluarga. 

Anak dihargai perasaannya, sehingga anak jadi empati kepada orang lain. Karena anak juga merasakan sendiri bahwa perasaannya sendiri dihargai.

Stimulasi ini harus dilakukan berulang-ulang, sehingga ayah dan ibu harus sabar. Karena tujuan akhir dari stimulasi yang repetitif ini memang untuk mendapatkan indikator tumbuh kembang yang baik.

Lingkungan yang suportif bagi anak juga dipengaruhi nutrisi yang dikonsumsi anak itu. Awalnya, nutrisi ini memasuki saluran cerna anak. Di dalam saluran cerna, nutrisi ini mempengaruhi mikrobiota saluran tersebut. 

Akibatnya, mikrobiota akan mempengaruhi reaksi dinding saluran cerna. Reaksi dinding saluran cerna ini akan mengirim sinyal, melalui saraf-saraf menuju otak anak. Reaksi dinding ini juga mengirim sel-sel imunitas, yang tentu akan mempengaruhi otak. 

Bagian otak yang terpengaruh akan menjadi aktif, termasuk juga bagian otak yang menjalankan fungsi emosi. Jadi, kecerdasan otak anak dalam mengolah emosi itu ternyata juga ditentukan nutrisi yang dimakannya. Karena nutrisi yang tepat, mengarah pada sistem pencernaan yang sehat.

Tentu berat bagi orang tua, kalau menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak itu harus dikerjakan sendirian. Ini sebabnya pengasuhan yang ideal untuk perkembangan ini lebih baik jika dijalankan dengan prinsip kerja sama. Istilahnya, pengasuhan kolaboratif.

Memberikan Pengasuhan yang Tepat

Dalam pengasuhan kolaboratif ini, ibu bekerja sama dengan ayah untuk bergantian peran. Ayah dan ibu sama-sama mau saling nego dan kompromi dalam mengasuh anak. Pengasuhan gaya begini yang diusulkan para ahli keluarga.

“Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Pola asuh yang tepat dari orangtua dinilai mampu membentuk anak yang hebat dan berkualitas di masa depan,” 

kata dr. Irma Ardiana, MAPS, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

Contohnya pengasuhan kolaboratif nih ya, salah satu orang tua dapat bertindak melakukan stimulasi kepada anak. Sedangkan orang tua satunya bertindak menyusun nutrisi (memasak) untuk anak. Dengan begini, tercipta lingkungan yang suportif untuk perkembangan anak.

Efeknya terasa ketika anak masuk ke kehidupan sosial di luar rumah. Ketika anak mulai senang karena bersosialisasi, dia ingat contoh dari ibunya bahwa dia jangan sampai terlalu ribut. Ketika bergaul mulai membuatnya stres, dia ingat bahwa dia bisa curhat kepada ayahnya bahwa dia tidak terlalu senang.

Ini semua, karena orangtuanya menjalankan pengasuhan kolaboratif.

Pola Pengasuhan Kolaboratif Berasal dari Keluarga

Jadi, pengasuhan yang ideal untuk perkembangan sosial emosional anak memang pengasuhan kolaboratif. Pengasuhan begini bisa terjadi kalau keluarga anak mau kompak bekerja sama.

Keluarga bisa kompak jika ayah dan ibu sama-sama menghargai konsep keluarga itu sendiri. Dan untuk mengajak para orang tua menghargai konsep keluarga, Pemerintah sampai menetapkan hari khusus bernama Hari Keluarga Nasional. Hari Keluarga Nasional ini jatuh tiap tanggal 29 Juni. 

Yang diharapkan dari Hari Keluarga Nasional ini, tersebar kesadaran akan pentingnya konsep keluarga. Keluarga yang mandiri, tenteram, dan bahagia, akan mampu mengoptimasi tumbuh kembang anak-anak mereka. Karena anak yang tumbuh kembangnya baik, akan menjadi anak hebat.

Semua Orang Perlu Menghargai Keluarga 

Tidak hanya Pemerintah yang mementingkan nilai konsep keluarga. Tapi banyak juga lembaga lain yang peduli akan nilai dari keluarga ini. 

Perusahaan Danone Specialized Nutrition, misalnya, sudah sadar lama bahwa keluarga itu berperan besar untuk tumbuh kembang anak. Maka mereka pun berupaya menjadi perusahaan yang family friendly. 

Antara lain, dengan menyediakan cuti untuk karyawati yang baru melahirkan. Bahkan, karyawan yang istrinya baru melahirkan, juga dapat cuti lho. Supaya ayah dan ibu baru ini dapat berkonsentrasi mendirikan lingkungan keluarga yang suportif untuk anak.

“Sebagai perusahaan yang ramah keluarga, kami juga memberikan dukungan kepada para orangtua agar si Kecil dapat tumbuh optimal melalui pemberian cuti melahirkan bagi karyawan kami, yakni cuti 6 bulan bagi ibu dan 10 hari bagi ayah," 

kata Arif Mujahidin, Corporate Communications Director Danone Indonesia.

Danone SN juga sering mengadakan acara forum edukasi untuk menyebarkan kesadaran kepada masyarakat tentang tumbuh kembang anak. Seperti contohnya Bicara Gizi, merupakan acara forum edukasi Danone SN yang bisa diakses melalui YouTube.

Sebagian besar keterangan yang saya tuliskan di atas tentang aspek sosial emosional anak di masa transisi, juga merupakan ulasan saya dari acara #BicaraGizi ini. Acaranya sendiri diadakan tanggal 28 Juni 2022, dengan judul Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi. Dan acaranya memang diadakan oleh Danone Indonesia untuk merayakan Hari Keluarga Nasional 2022.

Bapak Arif, dr Irma, dan dr Bernie, yang saya sebut tadi, ikut berbicara dalam acara tersebut. Termasuk juga teman saya sendiri yang juga tokoh komunitas pengasuhan, Cici Desri, ikut bicara tentang gaya pengasuhan kolaboratif yang dilakukannya kepada anaknya selama masa transisi ini.

Pada akhirnya, kita masih perlu mengedukasi banyak orang tentang pentingnya konsep keluarga bagi tumbuh kembang anak. 

Karena anak hebat berasal dari anak yang tumbuhkembangnya optimal. Aspek penting dari tumbuh kembang itu sendiri ialah aspek sosial emosional. 

Perkembangan sosial emosional ini akan tercapai jika didukung lingkungan. Dan lingkungan paling dekat bagi seorang anak adalah keluarganya sendiri.   

Pembaca Budiman, pandemi sudah mulai transisi menjadi endemi. Anak-anak mulai keluar rumah, beradaptasi dengan dunia yang nampak rumit baginya. 

Bagaimana keluargamu membantu sosial emosionalnya memasuki masa ini? Bagikan pendapatmu ya dalam kolom komentar di bawah :) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun