Mohon tunggu...
Vicky Laurentina
Vicky Laurentina Mohon Tunggu... Penulis - Food blogger Indonesia

Saya melakukan food blogging di http://vickyfahmi.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Bagaimana Cara Menasehati Tanpa Menggurui?

20 April 2022   11:50 Diperbarui: 20 April 2022   12:02 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Menasehati adalah salah satu tindakan yang dianjurkan dalam urusan hablum minannas. Tapi dalam prakteknya, ternyata urusan menasehati ini bisa berbuntut menjadi permusuhan.

Padahal kalau diurut-urut, ternyata yang dikerjakan oleh si penasehat bukanlah menasehati, tetapi menggurui.

Saya jadi inget, seorang sahabat saya curhat kepada saya karena dia baru saja menandai alamat email kakak iparnya sebagai Spam. Alasannya adalah, supaya Google lain kali mengatur supaya email kakak iparnya itu tidak bisa digunakan lagi.

"Wow," kata saya waktu itu takjub. "Itu namanya permusuhan digital."

"Biarin aja," jawab sobat saya itu ketus.

"Dia ngapainin kamu, sampai-sampai kamu gituin alamat email-nya?"

Ternyata jawaban sobat saya adalah, "Dia ngirimin aku email sepanjang 1500 kata yang isinya sangat menggurui."

Sebagai orang yang bersusah payah untuk bersikap husnudzon, saya mencoba menetralisir pikirannya. "Mungkin dia hanya ingin menasehati kamu."

"Kalau gitu kenapa dia mengirim email-nya persis ketika aku sedang dalam perjalanan pulang ke rumahku? Padahal aku baru saja menginap di rumahnya selama 3 malam, dan selama itu dia tidak sedikit pun ngobrol denganku."

Saya terdiam. Tiba-tiba saja saya jadi mengerti kenapa sahabat saya marah.

***

Jadi, latarnya begini. Sahabat saya punya suami. Suaminya itu punya kakak. Kakak iparnya itu tinggal dengan keluarganya sendiri di kota lain, jaraknya kira-kira 300 km-an gitu deh. Karena tinggalnya berbeda kota, maka kedua keluarga ini jarang bertemu. Jarang ngobrol juga melalui telepon.

Suatu hari, sang suami berinisiatif membawa sahabat saya berlibur ke kota kakaknya itu. Mereka menginap di rumah itu selama 3 malam.

Anda mungkin menyangka 3 malam cukup bagi kedua keluarga ini untuk saling ngobrol secara akrab. Tapi ternyata, pemilik rumahnya itu diam-diam saja, jarang mengajak adiknya itu ngobrol. Apalagi ngajak adik iparnya ngobrol. Ketika tamunya duduk di ruangan sambil berharap diajak ngobrol, ternyata sang pemilik rumah sibuk tadarus. Soleh sekali ya.

Maka, 3 malam pun berlalu. Sahabat saya dan suaminya mengisi liburan mereka dengan keliling kota seperti turis. Tapi mereka selalu pulang sore, karena mereka ingin menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan kakaknya. Namun, keinginan hanya tinggal angan-angan. Karena kakaknya itu hanya tadarus dan tidur, tadarus dan tidur. Keluarga kakaknya itu bahkan jarang makan malam bersama.

Pada akhir liburan, sahabat saya dan suaminya pamit pulang. Sambil sahabat saya sangat senang tinggal di rumah kakak iparnya itu, karena rumahnya nyaman.

Dalam perjalanan pulang, ketika perjalanan baru seperempat jalan, sahabat saya menerima email di smartphonenya. Ternyata itu email dari kakak iparnya itu. 

Isinya panjaaaaang sekali, penuh nasehat bahwa kelakuan sahabat saya dan suaminya sangat buruk, pilihan gaya hidup sahabat saya dan suaminya yang kurang sesuai dengan standar perekonomian kakak iparnya, dan 40 persen surat itu dihiasi copy paste ayat al Qur'an dan hadits Nabi.

Sahabat saya sangat marah sekali membaca email itu. Saya tidak tahu apa yang paling membuatnya marah: 

1) Fakta bahwa ketika dia membaca email itu, mobil mereka sedang berada di tengah kemacetan karena di depan ada truk manggis yang baru saja terguling,

2) Isi surat yang terdengar menggurui gaya hidup mereka yang nampak nirfaedah, padahal sahabat saya dan suaminya ini sedang berjuang sekuat tenaga untuk membuka usaha sendiri,

3) Copas-an ayat-ayat suci yang membuat pengirimnya terdengar seperti ustadz(ah) baru lulus sertifikat,

4) Bahwa nasehat panjang itu justru disampaikan dalam bentuk email, padahal bisa disampaikan langsung ketika mereka menginap lama di sana  

Sahabat saya, saking terganggunya atas email itu, akhirnya memijit tombol Spam. Berharap Google akan memblokir alamat email kakak iparnya itu supaya tidak sampai mengiriminya email lagi. 

Dia tidak bicara kepada suaminya bahwa dia keberatan, karena dia tidak mau memaksa suaminya memilih antara dirinya dan kakaknya.

***

Menurut saya, hablum minannas yang paling sulit itu bukan berhubungan dengan tetangga sebelah rumah, dengan kolega, dengan petugas kelurahan yang suka minta sogokan, bukan juga dengan netizen antah-berantah yang suka nyamber tweet saya dengan julid. Menurut saya sih, hablum minannas yang paling susah itu adalah berhubungan dengan keluarga sendiri.

Menasehati menjadi salah satu hal yang dianjurkan dalam hablum minannas, karena itu yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Saling menasehati dalam kebaikan. Tapi saya setuju bahwa anjuran ini jangan ditelan mentah-mentah.

Contoh kecil saja, bagaimana sahabat saya merasa dihakimi karena kakak iparnya menuduh suaminya tidak mau mencari pekerjaan seperti suami kakak iparnya. Iparnya ini sepertinya lupa bahwa suaminya itu pegawai kantoran, sedangkan suami sahabat saya ini lebih bahagia memiliki usaha sendiri daripada jadi karyawan. 

Iparnya mengukur kebahagiaan orang lain berdasarkan standarnya sendiri, padahal standar tiap orang beda-beda. Bisa dimengerti karena iparnya tidak tahu apa yang diinginkan oleh suami sahabat saya. Dia tidak tahu karena dia memang tidak pernah mengobrol dengan si adik, bahkan meskipun adiknya tinggal berhari-hari di rumahnya. Dia tidak pernah mengobrol karena.. yaa, silakan baca lagi penyebabnya di atas.

Padahal kalau mereka saling mengobrol, saling mendengarkan, alias tabayyun, tentu si ipar tidak akan berburuk sangka akan pilihan hidup adiknya, apalagi sampai mengirimi surat email yang bernada menggurui.

Mengungkapkan suatu nasehat juga sebetulnya ada tekniknya. Kata-kata yang dipilih harus bernada lembut, juga disampaikan dengan cara yang lembut. Memilih menasehati melalui email padahal ada banyak kesempatan untuk mengobrol ketika tamu-tamu ini menginap di rumahnya sebetulnya merupakan sifat yang kasar, kalau bukan disebut pengecut karena tidak berani menghadapi reaksi orang yang dinasehati.

Dan sahabat saya sungguh terganggu dengan copas-an ayat-ayat di email itu, karena begini, "Dalam keadaan normal, kamu papasan dengan sodaramu di ruang makan, apakah kamu akan membuka percakapan dengan ayat al Qur'an? Memangnya dia itu siapa, ustadzah kemaren sore?"

(Sebetulnya itu lucu, tapi saya tahan-tahan ketawa..) 

Gara-gara email sepanjang ribuan kata itu, hubungan sahabat saya dengan saudara iparnya jadi dingin sekali sampai sekarang. Sahabat saya menolak datang lagi ke rumah kakak iparnya itu, karena alasan simpel, Tidak mau lagi dikirimi nasehat karena takut cara penyampaiannya dan isi nasehatnya bisa membuatnya sakit hati. Hablum minannas dengan kakak iparnya? Wah, sudah jauh banget.

***

Curhatan sahabat saya itu membuat saya mikir, betapa saya harus hati-hati sekali dalam menyampaikan nasehat. Karena saya tidak mau niat baik saya ketika menasehati itu malah jadi merusak hablum minannas dengan orang lain.

Saya juga tidak bisa menganggap sahabat saya terlalu kekanak-kanakan dalam menerima nasehat. Karena menurut saya sih, tidak semua orang punya kondisi prima setiap saat untuk menerima nasehat, dan orang yang kepingin memberi nasehat ya harus memahami itu dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun