"Kalau menurut saya sih, dengan situasi alam Likupang yang didominasi pantai begini, desanya punya banyak sekali peluang yang bisa dikerjakan. Â Tamu bisa diajak lihat-lihat pohon wenang atau pohon cempaka. Kasih tahu tamunya, dari pepohonan ini, kayunya bisa dijadikan alat musik kolintang. Kolintang ini alat musik tradisional, sekarang calon Intangible Heritage-nya Unesco. Dan pepohonan bahannya ini cuman tumbuh di kawasan sini," usul saya.Â
"Wah, benar juga ya, Kak," timpal Robert. "Mungkin sekalian ajak wisatawannya belajar main kolintang ya, Kak?"
"Bikinkan kursus 1-2 jam, pasti mereka tertarik. Nanti mereka berpikir, 'Waaah..di Likupang bisa ada kelas belajar main kolintang.' Mantap kan?"
"Ya, semacam workshop begitu ya, Kak?"
"Atau bisa juga kelas bikin souvenir dari batok kelapa," ide saya yang lain keluar lagi. "Nanti kalau tamunya capek diajari bikin souvenir, tinggal disuguhi lalampa."Â
Saya langsung dapat gagasan lagi. "Tau nggak, kalau saya ke sana, saya ini lebih berharap dikasih kelas memasak masakan lokal. Misalnya belajar bikin lalampa atau merebus bubur tinutuan. Itu bahan-bahannya ada di sana semua kan?"
Saya terdiam sejenak. Perut saya jadi lapar. Lalu saya bercerita lagi, "Ketika orang belajar memasak, dia tidak hanya menyimak cara memasak dari pengajarnya. Dia juga belajar tentang adat-istiadat setempat untuk mempertahankan budaya. Saya sendiri, kalau ngobrol dengan mama lokal di Likupang, mungkin saya akan merayunya untuk menyelundupkan saya masuk grup keroncong mama. Biar bisa nyanyi Si Patokaan bareng-bareng, wkwkkwkw.."
Robert dan saya tertawa keras di telepon itu. "Itu orang Indonesia banget, Kak!"
"Ya iyalah, kegiatan-kegiatan begini, yang khas Sulawesi banget, memang cuma bisa dikerjain di Indonesia Aja," saya mengangguk-angguk.
Mungkin kalau saya sendiri bisa mendatangi Likupang, saya ingin mengobrol dengan publik lokal tentang bagaimana bikin konten. Gemas juga saya mendengarkan banyak desa wisata tapi jarang ada website atau akun sosmednya.