Instrumen-instrumen pada relief Candi Borobudur yang sudah diciptakan ulang oleh seniman-seniman Japung ini perlu dikuratori dengan seksama, dan dipajang pada galeri khusus yang lokasinya tidak jauh-jauh dari Candi Borobudur.Â
Tidak cuman dipajang lho, tapi turis perlu diundang untuk memainkan instrumen-instrumen ini, supaya mereka bisa merasakan, "Oh ini lho alat musik yang dulu dimainkan oleh rakyat pada masa ketika Borobudur masih jadi pusat peradaban kerajaan Mataram."Â
Bahkan bukan cuma untuk kepentingan pariwisata, karena peminat instrumen tradisional sebetulnya beragam, terutama dari kalangan akademisi musik. Dengan adanya penciptaan instrumen dari relief Candi Borobudur, maka Borobudur bisa menjadi laboratorium untuk praktikum musik tradisional yang menarik minat ahli musik dari seluruh dunia. Bisa dibayangkan orang-orang dari akademi-akademi musik internasional berduyun-duyun datang ke Magelang hanya untuk belajar bagaimana menciptakan pertunjukan syahdu menggunakan sankha dan bar zither, sambil sesekali diiringi simbal mangkok.
Dengan menjadikan Borobudur di Magelang sebagai laboratorium musik, maka Sound of Borobudur bukan lagi dikenal sebagai orkestra yang memainkan lagu hasil komposisi Dewa Bujana, tapi juga menjadikan Borobudur pusat musik dunia sungguhan.
Kalau ingin semangat Sound of Borobudur tetap menggelora, kita jangan berhenti pada kegiatan seremonial. Alat musik di relief Borobudur perlu dimainkan kembali, dan dikampanyekan kembali untuk dilestarikan. Candi Warisan Dunia yang satu ini tidak cuma perlu dikagumi, tapi harus selalu ditelaah kembali untuk digali value-nya, termasuk mengenai kekayaan seni musik di reliefnya. Nah, bisakah kita melakukannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H