Bukan ambisi yang berlebihan. Karena ternyata, instrumen yang direliefkan di dinding Borobudur ini nggak melulu gamelan doang. Atau sampe yang saya sebut tadi. Tapi juga banyak alat musik dari bangsa lain, seperti sebut aja alat-alat musik dari Cina, India, Arab, bahkan Afrika, dan mungkin juga Eropa.
Borobudur Itu Pusat Informasi?
Sebetulnya saya sendiri tidak terkejut. Pertama-tama, saya sejak awal sudah ragu bahwa Borobudur itu murni berasal dari pikiran orang Jawa. Karena relief-relief di Borobudur sendiri menggambarkan kehidupan Buddha, dan jika kita runut, kehidupan Buddha yang diceritakan di relief itu bukanlah berlatar di bumi Jawa, tetapi di suatu tempat yang mungkin berada di India. Jadi kalau banyak alat musik India yang terpahat sebagai relief di Borobudur, wajar. Artinya jika siapa tahu terjadi vandalisme yang merusak relief Borobudur dan bangsa India ikutan protes, maka protes itu wajar.
Kedua, terlepas dari urusan permusikan pada relief, saya pernah terhenyak ketika sedang memotreti relief Candi Borobudur 4 tahun yang lalu.Â
Saya menjumpai beberapa figur binatang yang tidak biasa, antara lain burung. Bukan sembarang burung, melainkan burung kakatua.Â
Saya terhenyak. Kalau betul relief Candi Borobudur itu dipahat oleh orang Jawa, bagaimana caranya orang Jawa bisa tahu ada bentuk burung dengan jambul yang khas seperti kakatua? Kakatua itu tidak hidup di bumi Jawa lho, kakatua itu hidupnya di pulau Papua. Ngapain orang Jawa pada masa abad ke-9 itu jalan-jalan ke Papua yang jauh sekali sampai ketemu kakatua?Â
Dan kakatua bukan satu-satunya hewan aneh yang saya jumpai pada relief di Borobudur. Hewan lain yang saya temukan reliefnya di Borobudur adalah singa. Singa lho, bukan harimau. Padahal di abad ke-9 ketika Borobudur didirikan, belum ada singa di pulau Jawa. Singa itu cuma ada di Afrika.
Jika orang Jawa sudah bisa menggambar singa di relief pada masa itu, berarti kemungkinannya cuma dua: Orang Jawa telah berkelana sampai ke Afrika sehingga ketemu singa, atau ada orang Afrika yang jalan-jalan ke kawasan Magelang dan bercerita tentang singa. Teori ini menyeret kita kepada kemungkinan lain: Saat itu Borobudur sudah menjadi kota yang cukup ramai, sehingga memungkinkan banyak orang dari berbagai bangsa berkumpul di sana untuk bertukar ilmu pengetahuan.Â
Artinya, Borobudur ini bukan tempat sembahyang doang. Borobudur ini adalah galeri tempat orang memajang macam-macam informasi yang menjadi sumber pengetahuan buat banyak orang. Kalau seperti perkataan salah satu pejabat di video Sound of Borobudur itu, Borobudur ini sebetulnya adalah perpustakaan raksasa.
Kemudian saya jadi berpikir, jika memang relief Borobudur ini segitunya sebagai galeri sejarah internasional, bagaimana caranya Borobudur ini supaya nggak mentok jadi objek wisata foto-fotoan doang?
Pemusik-pemusik di Relief Borobudur
Jika kita melihat relief pada dinding Borobudur secara seksama, kita akan memahami bahwa pada masa pembangunan Borobudur, seni musik itu sangat dihargai sampai-sampai orang mengabadikannya dalam bentuk pahatan.