Mohon tunggu...
Vicky Laurentina
Vicky Laurentina Mohon Tunggu... Penulis - Food blogger Indonesia

Saya melakukan food blogging di http://vickyfahmi.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kesan-kesan Ikut #SamberTHRKompasiana

8 Mei 2021   17:25 Diperbarui: 8 Mei 2021   17:29 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini pertama kalinya saya ikut kontes maraton ngeblog dalam sejarah saya ngeblog selama 15 tahun. Dan ikut kompetisi kayak gini bikin saya pening.

Sebelumnya, saya nggak pernah tertarik buat ikutan kompetisi yang ngajak maraton ngeblog berhari-hari. 

Penyebabnya: Saya kalau nulis di blog saya, vickyfahmi.com, itu cuman nulis artikel baru 1-2 kali sebulan doang, tapi sekali nulis artikel bisa dapet nominal AdSense banyak, gitu. Lha di kontes maraton ngeblog kudu nulis tiap hari. Ngapain coba membaktikan diri untuk menulis artikel baru setiap hari, padahal hadiahnya juga nggak gede-gede amat?

Makanya waktu sohib saya Nurul Rahmawati kasih tahu bahwa Kompasiana mau bikin acara kontes maraton ngeblog Samber THR yang hadiahnya logam mulia, saya jadi tertarik. Jiwa matre saya meronta-ronta, soalnya hadiah ini memang yang saya pikir setara dengan menulis 30 artikel.

Akhirnya ketika daftar topik konten per hari itu dirilis, saya langsung memantapkan hati: IKUT! Meskipun belum apa-apa, tahu-tahu hati saya udah ciut duluan.

1. Keluar dari Zona Nyaman

Pegimana nggak ciut. Karena begitu baca daftar topik hariannya, saya langsung mikir, "Adeuh.. nih topik bukan gw banget.."

Ramadhan di pandemi. Kegiatan bulan Ramadan. Keuangan waktu lebaran. Kenangan Ramadan waktu kecil. Aiihh..

Buat saya Ramadan atau enggak, bedanya nggak jauh-jauh amat. Paling-paling ya sarapan lebih awal, karena sahur kan? Seharian nggak makan sampai sore. Malemnya sholat lebih banyak rakaatnya. Mungkin meluangkan waktu ke mesjid buat bayar beras (dan ini sebetulnya dikerjain oleh suami saya, bukan saya). Tapi ya perbedaan itu nggak segitu bermaknanya sampai perlu dikontenin, gitu lho.

Apalagi disuruh membedakan Ramadan pandemi dengan Ramadan non-pandemi, wkwkwk..

Alhasil waktu awal-awal saya nulis buat Samber THR Kompasiana, saya sempat bingung sendiri untuk membuat artikel Ramadan saya agak terdengar menarik dikit. Kena writer's block itu nggak enak, tau? 

Saya akhirnya bisa nulis setelah mikir, "Sudahlah, dibilang artikelnya membosankan pun nggak apa-apa. Yang penting bisa ikut lomba Samber THR selama 30 hari sampai selesai.." Dan begitulah akhirnya saya balik ke metode lama saya yang jadi andalan: Yaitu menulis kayak orang ngobrol..

2. Belajar Platform Kompasiana Lagi

Sebenarnya saya udah nulis di Kompasiana pada tahun 2010. Tapi, saat itu, saya sedang konsentrasi dengan pekerjaan di luar Kompasiana, memaksa saya memberi prioritas belakangan untuk menulis di Kompasiana. Alhasil jadilah akun saya di Kompasiana telantar, dan saya lupa password Kompasiana saya.

Saya baru tahu Kompasiana ganti sistem habis-habisan ketika tahun lalu beberapa teman mengajak saya menulis di Kompasiana lagi. Semula ogah karena saya harus bikin akun baru lagi, mengarang password baru (Tuhan, saya benci banget ngarang password!). 

Akhirnya saya paksakan membuka akun baru dan menulis artikel baru. Sampai kemudian, saya mencoba ikut Samber THR Kompasiana, karena alasan nomor 1 di atas. 

Hal menantang dari maraton ala Samber THR Kompasiana ini, adalah artikel yang sudah dipencet Tayang tidak boleh diedit! 

Haah? Saya sudah biasa ngeblog di blog pribadi, dan kesibukan saya tiap hari adalah rombak artikel yang sudah ditayangkan bertahun-tahun lalu, kemudian  saya edit untuk direlevansikan dengan situasi sekarang. Lha kalau artikel di Kompasiana itu nggak boleh diedit untuk keperluan relevansi, lantas bagaimana?

Memangnya saya cuma menulis buat hari ini doang? Enggak lah, saya menulis untuk dibaca kembali pada 5-10 tahun lagi.

Mau nggak mau, tiap kali saya menulis artikel, sebelum Tayang, saya proofing lagi, edit ulang, proofing lagi, sampai saya mual sendiri mengeditnya. Akhirnya pencet Tayang, sambil berdoa, semoga kalau ternyata artikel ini tayang 10 tahun lagi, anak saya nggak akan sampai malu melihat ibunya menulis seenak udelnya sendiri.

3. Bekerja dalam Tekanan

Problem saya dalam menulis adalah..terlalu perfeksionis.

Saya biasa menggarap artikel-artikel saya di blog pribadi saya itu dengan penuh ketekunan. Pakai riset keyword dulu, pakai studi kebutuhan pembaca dulu, pokoknya lebih lama risetnya daripada menulisnya. Sebab, andalan sumber penghasilan tahunan blog saya kan dari AdSense ya. Jadi kalau traffic-nya sedikit, tentu penghasilannya sedikit. Traffic itu sedikit karena riset pra-menulisnya juga bobrok.

Dan untuk bisa mengerjakan riset yang bermutu sebelum menulis itu, saya perlu waktu.. seminggu per artikel. Hmm.. saya anggap saja durasi segitu setimpal dengan traffic saya yang menetes-netes kayak bola salju Alaska.

Tapi di Samber THR Kompasiana ini, saya cuma punya waktu untuk menulis itu mungkin 1-2 hari per artikel. Karena baru selesai riset untuk tema satu, sudah harus lanjut riset untuk tema berikutnya lagi.

Ego saya seperti direnggut karena akhirnya saya nggak sempat riset tiap kali menulis artikel baru selama Samber THR berlangsung. Setiap kali saya membaca tulisan saya, saya selalu menggumam putus asa, "Ini kontennya pasaran.. pasaran.."

Akhirnya saya memutuskan berdamai dengan diri saya sendiri. Menyadari bahwa ini sebetulnya bukan lomba-membuat-artikel-yang-traffic-nya-evergreen, tetapi lomba-membuat-artikel-yang-menunjukkan-ciri-khasmu-sendiri. Maka saya lepaskan ritual riset keyword itu, dan saya menulis dengan apa adanya. Yang penting, tiap hari bisa menulis tanpa melanggar deadline.

4. Legowo dengan Sistem Platform

Yang masih jadi tantangan buat saya adalah legowo dengan sistem platform-nya Kompasiana.

Suatu hari saya menulis artikel. Sudah pakai foto, ambil dari Pexels. Tayang jam 9 pagi. Prestasi.

Saya pun melalui hari dengan tenang tanpa deadline. Malamnya jam 11, saya iseng buka Dashboard. Ternyata ada pesan dari admin Kompasiana.

"Gambar yang Anda pasang, dihapus. Tak ada keterangan bahwa gambar itu milik Anda pribadi."

Kaget, saya langsung mau bikin artikel pengganti.

Untungnya saya masih punya salinan artikel itu. Saya bikin Tulisan Baru di Dashboard, Copy Paste artikel tadi. Lalu saya langsung selfie, saya edit foto diri saya seperlunya, kemudian saya masukkan ke artikel. Lalu tayang.

Beberapa saat kemudian, dapat Notifikasi dari sistemnya Kompasiana. "Artikel Anda terdeteksi duplikasi dengan artikel sebelumnya. Tidak bisa tayang."

Saya bikin Tulisan Baru lagi. Draft artikel lama saya salin, lalu saya gonta-ganti sedikit katanya. 

Lalu foto selfie saya pun saya masukkan. Lalu tekan Tayang.

Beberapa menit kemudian, terjadi notifikasi. "Karena Anda baru saja menayangkan Artikel Baru, Anda harus menunggu 1 jam lagi untuk bisa menayangkan Artikel lagi."

Satu jam?! Tapi itu berarti deadline lombanya udah lewat dong, karena deadline-nya tinggal 10 menit lagi!

Mendadak, saya ingat 14 hari sebelumnya yang telah saya dedikasikan untuk mengikuti Samber THR Kompasiana. 

Malam-malam mengejar deadline. Siang-siang berpikir keras nanti malam mau menulis apa. 

Dan semua itu tak ada artinya ketika saya tidak bisa memenuhi deadline pada hari ke-15. Alangkah banyaknya waktu saya yang terbuang percuma!

Saya merunut-runut kronologinya. Jadi sebetulnya, saya sudah (merasa) melakukan hal yang benar. Posting dengan foto dari microstock, pada jam 9 pagi.

Admin Kompasiana mengirimi saya peringatan jam 10 pagi atas foto itu. Tapi saya tidak membacanya. Karena, sistemnya Kompasiana hanya memungkinkan peringatan Admin itu dikirim via Dashboard. 

Padahal saya buka Dashboard hanya 24 jam sekali. Karena saya punya banyak pekerjaan lain. Coba kalau peringatannya dikirim via WhatsApp atau minimal email gitu, yang saya buka hampir tiap jam, tentu saya bisa memperbaiki kontennya secepat mungkin.

Gara-gara kejadian itu, saya jadi tidak mau melanjutkan menulis konsisten di Samber THR Kompasiana lagi. Karena saya tahu saya sudah tidak mungkin lagi merebut Hadiah Utama.

5. Berdamai dengan Pop-Up Iklan

Well, sebetulnya alasan simpel kenapa saya jarang banget buka Dashboard Kompasiana adalah, karena saya nggak tahan iklannya.

Coba bayangkan pengalaman saya buka website Kompasiana melalui smartphone, dari halaman Home menuju Dashboard.  Ketika buka halaman Home, sudah ketemu iklan di Header dan iklan di Bottom. 

Masuk halaman Account. Ketika pencet Profil Saya, ketemu iklan sebesar-besar layar HP. 

Tutup iklannya. Sekarang mikir, apa tema hariannya Samber THR Kompasiana? Ketik thr.kompasiana.com/samber dulu. Scroll. Ada iklan segede 20% layar HP di Bottom. 

Ketemu tanggal yang dituju. Pencet Panduan. Eeh.. disambut iklan lagi sebesar-besar layar HP.

Tutup iklannya. Baru ketemu konten yang dicari.

Jadi, dari awal buka website untuk bisa melakukan tindakan ikut lomba, saya perlu berhadapan dengan iklan sebanyak 4 kali. Iklan-iklan itu sangat mengganggu, apalagi yang sampai menutupi layar HP!

Jadi, apakah kira-kira saya mau ikut Samber THR Kompasiana lagi tahun depan? Hmm.. saya masih mikir-mikir lagi sih.

Mungkin saya mau ikut kalau:

1) nilai hadiahnya dinaikkan, misalnya berupa akun investasi reksadana gitu kek..

2) sistem Kompasiana memungkinkan pesan urgent dari Admin disampaikan via email,

3) iklan yang menutupi layar HP itu disunat, wkwkwk..

Apakah Anda suka membaca artikel-artikel saya selama ikut Samber THR Kompasiana? Artikel saya yang mana yang Anda paling suka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun