"Saya nyatet ceramahnya cuma setengah buku, abisnya setelah tarawih suka ketiduran.." kata teman saya yang satu lagi.
"Saya nyatet kok, tapi nggak ada cap mesjidnya. Abisnya nggak tau mau nanya cap mesjid ke siapa.." (membuat saya berpikir kenapa jarang ada mesjid yang punya resepsionis)
Saya menunduk dan minder. Buku ceramah saya jelas penuh, tapi jelas nggak ada cap mesjidnya. Karena saya memang nggak mendengarkan ceramah di mesjid. Karena saya nggak boleh ke mesjid malam-malam. Apakah tugas saya akan dianggap sah? Saya kan ngerjain tugas itu selama bulan Ramadhan penuh.
Tiba akhirnya giliran saya menghadap Pak Guru. Gurunya melirik saya, lalu mencocokkan nama saya dengan daftar di buku nilainya. Saya sudah siap diinterogasi, "Kenapa kamu nggak ke mesjid, Vicky? Kenapa kamu nggak memakmurkan mesjid? Apa kamu tidak sadar bahwa  mesjid itu adalah tiang untuk masuk surga?"
Tapi guru saya diam saja. Ia membuka buku ceramah saya, membolak-balik halamannya dengan cepat, langsung ke halaman ceramah yang terakhir (yang jelas sudah penuh). Lalu membubuhkan parafnya di sana. Lalu ia membaca buku nilainya lagi, menemukan nama saya, lalu membubuhkan cawang. Kemudian ia berteriak, "(murid) berikutnya!"
Saya melongo. Begitu doang? Saya dengerin ceramah dengan penuh seksama tapi nggak ditanyain isi ceramahnya itu apa? Nggak diperiksa apakah saya itu beneran mendengarkan ceramah di mesjid atau cuma nyontek teman doang? Padahal saya sudah siap presentasi show and tell!
Tapi saya pulang dengan perasaan bingung, tak tahu apakah harus gembira atau mau protes. Gembira karena ternyata mengisi buku Ramadhan itu tidak harus dengan cara pergi ke mesjid. Protes karena saya melalui 30 hari Ramadhan dengan berharap cemas lantaran takut tugasnya dianulir.
Tahun berikutnya, kami ditugasi mengisi buku catatan  Ramadhan lagi. Saya pun mengulangi modus yang sama lagi, mendengarkan Zainuddin MZ setiap subuh. Begitu terus pada tahun-tahun berikutnya, sejak SD hingga SMP. Sampai-sampai saya hafal, bahwa bulan Ramadhan adalah waktunya saya berakrab ria dengan Zainuddin MZ.
Baru di kemudian hari, ketika sudah dewasa. saya nyadar, bahwa sebetulnya ketika saya kecil itu, saya bukan dididik untuk memakmurkan masjid. Tapi saya dididik untuk menulisi buku bercover "Kegiatan Ramadhan untuk SD" sampai penuh. Apakah Anda paham maksud saya?
Zainuddin MZ kini sudah wafat. Tapi, kegiatan mendengarkan ceramah Zainuddin MZ di bulan Ramadhan akan selalu saya ingat sebagai nostalgia masa kecil saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H