Mohon tunggu...
Vicky Laurentina
Vicky Laurentina Mohon Tunggu... Penulis - Food blogger Indonesia

Saya melakukan food blogging di http://vickyfahmi.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Rindu Bulan Ramadan yang Banyak Temannya

16 April 2021   23:16 Diperbarui: 16 April 2021   23:17 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu kecil, yang bikin saya rindu bulan Ramadhan adalah bantuin ayah saya mengirim kartu Lebaran.

Setiap tahun, ayah saya punya kebiasaan mengetik alamat teman-temannya di label. Label itu akan ditempel di amplop kartu Lebaran yang sudah dicetak atas nama ayah saya. Saya selalu disodori tugas menempeli label-label itu, dan saya senang banget. Lebih senang lagi ketika mengenali nama teman-temannya yang rasanya pernah akrab dengan saya.

Biarpun saya masih kecil, sekitar usia 6-7 tahun begitu, tapi saya cukup familiar dengan teman-teman ayah saya. Soalnya, ayah saya sering memperkenalkan teman-temannya kepada saya. Katanya, "Ini Om X, ini Om Y, dan lain-lain.."

Berkat saya ditugasi menempel label alamat itu, saya jadi hafal teman-teman ayah saya tinggal di kota mana saja. Dampaknya, saya jadi lebih mudah menghafal pelajaran geografi, karena saya bisa mengasosiasikan nama suatu kota dengan nama teman ayah saya.

Yang suka kirim-kirim kartu Lebaran itu tidak cuma ayah saya. Teman-temannya pun membalas kartunya, dengan kartu yang memakai cetakan nama mereka juga. Kesannya keren gitu.

Lalu ayah saya pun selalu menandai siapa temannya yang mengirim kartu balik. Yang membalas kartu, tahun depannya akan dikirimi lagi. Yang tidak membalas kartu, tahun depannya tetap dikirimi. Tapi yang tidak membalas kartu sampai dua tahun berturut-turut, akan diselidiki oleh ayah saya.

Biasanya, yang tidak membalas itu ternyata pindah rumah tanpa bilang-bilang. Atau meninggal dunia.

Ibu saya pernah bilang, "Kalau orang mengirimi kita selamat Lebaran, berarti orang itu masih mau silaturahmi dengan kita."

Saya pun mencatat itu baik-baik dalam hati.

Lalu saya belajar, kadang-kadang orang tidak membalas kartu bukan karena pindah rumah. Orangnya masih sehat kok. Tapi ternyata, dia tidak sempat untuk mencetak kartu Lebaran atas namanya sendiri (pada zaman dahulu, kalau mau mencetak kartu Lebaran, itu harus pesan seminggu sebelumnya).

Ada juga yang memang tidak mencetak kartu Lebaran. Sebagai gantinya, dia pergi ke toko buku dan memborong banyak kartu Lebaran. Kalau dipikir-pikir sebetulnya lebih mahal sih daripada mencetak kartu sendiri. Makanya orang kadang terpaksa bikin skala prioritas, siapa yang harus dikirimi kartu dan siapa yang tidak kebagian dikirimi.

Seiring dengan saya beranjak remaja, saya ikut-ikutan mengirim kartu Lebaran kepada teman-teman saya. 

Agak aneh sih, karena teman-teman saya kan masih teman yang satu sekolah juga, dan hari terakhir kami bertemu di sekolah adalah 3 hari sebelum Lebaran. Terbayang hari ini adalah hari terakhir sekolah, besoknya saya sudah lari ke kantor pos untuk mengeposkan kartu-kartu saya kepada teman-teman sekolah itu. 

Tapi saya tetap menyukai kegiatan kirim-kirim kartu itu. Kartu Lebaran yang dikirim anak-anak biasanya bergambar lucu-lucu, sesuai selera pengirimnya. Ada surat pendeknya segala, misalnya berbunyi, "Kamu liburan ini ke mana aja?"

Mengirim kartu Lebaran adalah pertanda kedekatan dengan teman. Saya terima kartu sepuluh biji, berarti orang yang menganggap saya dekat dengan mereka adalah 10 orang. Tidakkah itu membahagiakan?

Karena mengirim kartu Lebaran adalah urusan kedekatan, maka saya juga memilih-milih gambar kartu Lebarannya. Setiap tahun, saya sudah senang jalan-jalan ke toko buku pada minggu pertama Ramadhan untuk survey kartu Lebaran. 

Saya sudah mengincar kartu-kartu di salah satu rak. Gambar yang satu ini akan saya kirim kepada sahabat saya yang rumahnya di Rajawali. Gambar yang satu lagi akan saya kirim kepada teman saya yang rumahnya di Cimahi. Dan gambar yang satu lagi, biasanya yang terbaik dan harganya termahal, akan saya kirim kepada teman sekelas yang saya taksir, wkwkwk.. 

Kartu-kartunya itu pun tidak langsung saya beli. Tapi saya catat dulu harganya. Lalu saya akan bikin anggarannya. Kemudian saya ajukan anggarannya kepada ayah saya. Tinggal ayah saya protes kenapa saya pilih kartu yang mahal-mahal, padahal masih ada kartu-kartu yang lebih murah (dan tidak ada gambarnya yang lucu). Belum lagi menghitung biaya prangkonya.

Pokoknya urusan belanja kartu Lebaran ini sungguh bikin Ramadhan jadi sibuk!

Saya berhenti kirim kartu Lebaran ketika saya kuliah tahun ketiga. Penyebabnya, 1) tak ada waktu untuk pergi ke toko buku untuk memilih kartu Lebaran. 

Sungguh, kalau dipikir-pikir, memilih kartu Lebaran itu sebetulnya melelahkan. Tapi penyebab yang lebih penting adalah, 2) sudah ada handphone untuk mengirim SMS berbunyi selamat Lebaran.

SMS itu sungguh membuat budaya kirim kartu Lebaran jadi hilang. Saya jadi tidak rindu bulan Ramadhan karena kehilangan rutinitas membeli kartu-kartu Lebaran yang lucu. Bahkan ayah saya tidak mencetak kartu Lebaran lagi. Katanya, nanti juga akan dapat ucapan selamat Lebaran via SMS. 

Sekarang, saya tidak pernah melirik-lirik kartu Lebaran lagi. Malah, sejak saya mulai bekerja, tiap bulan Ramadhan pun saya nggak pernah ribut belanja-belanji keperluan Ramadhan. Rasanya tak ada yang perlu dikirimi kartu, karena saya bicara dengan sahabat-sahabat saya hampir setiap hari di area sosial media. Termasuk dengan sahabat-sahabat jaman sekolah yang sudah tidak pernah saya lihat lagi wajah aslinya semenjak 20-30 tahun yang lalu.

Sebetulnya saya rindu acara milih-milih kartu Lebaran itu. Seru waktu milih desainnya. Tapi kalau dikirim, nanti terasa garing karena toh sudah ada WhatsApp yang jelas jauh lebih cepat dalam urusan mengucapkan selamat Lebaran. 

Padahal saya juga nggak suka dikirimi selamat Lebaran via WhatsApp. Soalnya ucapan selamatnya itu hasil copas dan sudah diforward berkali-kali. Beda dengan kartu fisik yang jelas jauh lebih terasa personal.

Akhirnya, saya anggap saja bahwa memilih-milih kartu Lebaran itu adalah kebiasaan Ramadhan ketika saya masih kecil, dan hanya bisa diingat tanpa diulang. 

Rutinitas bulan Ramadan mungkin berulang, tapi mengirim kartu Lebaran, mungkin akan jadi fase yang sudah berlalu dan akan selalu saya rindukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun