Kedengarannya konyol memang, tapi saya ini segan sama orang yang bisa bikin perkedel dan perkedelnya nggak gampang hancur.
Menurut saya, perkedel adalah masakan yang gampang-gampang susah. Harusnya sih gampang karena pada dasarnya perkedel cuma adonan kentang bola-bolaan yang dilapisi tepung lalu digoreng. Tapi nyatanya, setiap kali saya mencoba bikin perkedel sendiri, adonan itu langsung ambyar begitu dicemplungin ke minyak goreng.
Prinsip membuat perkedel itu sebetulnya sederhana. Adonan dari kentang yang dilumatkan, dibuat menjadi bola. Adonan ini bisa diisi sayuran kesukaan, atau bahkan diisi daging juga, pokoknya isiannya harus sudah dilumatkan.
Kalau sudah jadi bundar seperti bola, adonan ini digulirkan di tepung panir yang sudah dikocok dengan telur. Lalu digoreng. Dan ketika digoreng inilah, musibah selalu menimpa saya berulang-ulang.
Setiap kali adonan bola itu sudah terendam dalam minyak goreng yang banyak itu, selalu saja adonannya ambyar ketika mau dibalik. Apakah karena saya terlalu cepat membaliknya, padahal tepung pembungkusnya belum matang? Saya juga tidak paham. Di sisi lain, kalau saya membiarkannya terlalu lama dalam wajan dan tidak membaliknya, bisa-bisa dia gosong di dalam.
Saya selalu iri kepada orang-orang yang berhasil menghidangkan perkedel yang dibungkus tepung roti dan berwarna kuning keemasan. Perkedel bikinan saya, warnanya kalau bukan dalam spektrum coklat tembaga, pasti warnanya coklat kehitaman. Warna begini lantaran hampir gosong karena saya nggak berani membaliknya lantaran takut ambyar.
Ibu saya yang mengajari saya bikin perkedel, bilang seharusnya saya nggak usah ambil pusing. Katanya, dari sekian banyak perkedel yang beliau bikin, 70% pasti ambyar. Perkedel yang niatnya berupa bola-bola yang bundar sempurna, berubah menjadi kegepengan yang hakiki. Apa itu warna kuning? Haiyaa.. Tidak gosong saja sudah bersyukur.
Makanya saya juga nggak berani bikin perkedel besar-besar. Saya cuma berani bikin perkedel kecil-kecil. Alasannya, menyesuaikan dengan ukuran sutil di rumah, yang mana memang cuma sanggup membalik perkedel berukuran kecil. Kalau saya membuat bola perkedelnya besar-besar, bisa-bisa bubar kalau kena sutil mungil saya.
Lalu ini terbawa juga ketika saya mau bikin turunan perkedel lainnya, yaitu arancini. Arancini ini makanan Italia yang mirip perkedel, tapi bukan dari adonan kentang yang dilumatkan, melainkan dari nasi yang dilumatkan. Namun tetap ujung-ujungnya dibungkus tepung panir yang dikocok telur lagi.
Saya membuat arancini juga butuh perjuangan. Cuma berani bikin kecil-kecil, supaya sesuai dengan kemampuan sutil. Membaliknya juga hati-hati, harus ikhlas sepenuh hati kalau ternyata belum matang ketika dibalik, sebab pasti ambyar.
Kalau saya boleh jujur mau belajar skill apa selama Ramadan ini, saya jelas akan menjawabnya, pingin bikin perkedel yang nggak hancur. Supaya perkedelnya tetap cantik ketika difoto. Masih utuh, dan warnanya harus kuning seperti dibungkus tepung roti yang mahal, yang biasa dipakai untuk membungkus chicken cordon bleu.
Belum tahu nih harus nyari guru ke mana untuk ngajarin bikin perkedel yang nggak hancur ini. Soalnya kursus kayak gini pasti mahal karena gurunya juga akan mengajarkan kesabaran. Sabar, jangan buru-buru membalik perkedelnya.
Anda sendiri bagaimana? Apa kiat Anda menjaga supaya bisa memasak perkedel tanpa sampai jadi hancur?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H