Tim mahasiswa Biologi Universitas Negeri Malang (UM) berhasil menciptakan bio-briket dari limbah biji jeruk (Citrus sp.) melalui program kompetitif Inovasi Mahasiswa skema Penelitian Dasar yang diusulkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM), UM. Anggota tim yang terdiri dari Vicanisa Armanda Astreapuspita, Dian Anggoroeni Dwidjayanti, Dio Rizki Nadar Putra, dan Siti Nur Inayati, ini dibimbing oleh Agung Witjoro, S.Pd., M.Kes., Dosen Departemen Biologi FMIPA UM.
Melimpahnya limbah biji jeruk saat musim panen bukan hanya menjadi peluang baru untuk sumber energi alternatif, tetapi juga solusi dalam menekan pencemaran lingkungan dan emisi gas rumah kaca. Berkat kandungan minyak nabati yang tinggi, biji jeruk memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai energi terbarukan ramah lingkungan.
Sumber daya alam energi menjadi kebutuhan vital bagi kehidupan sehari-hari,berkontribusi besar terhadap ekonomi, sosial, dan pembangunan nasional suatu negara. Laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat total konsumsi energi di Indonesia mencapai 1,18 miliar barel. Dengan terus meningkatnya populasi setiap tahun, permintaan terhadap bahan bakar, terutama minyak bumi, turut bertambah juga. Ketergantungan pada energi fosil menghadirkan tantangan serius bagi sektor energi Indonesia, sementara ketersediaannya semakin menipis.
Di tengah lonjakan konsumsi energi dan krisis bahan bakar fosil ini, pengembangan bioenergi dari biomassa hadir sebagai penyelesaian alternatif, dibuat dari limbah pertanian, berbeda dengan briket konvensional yang berbahan dasar sekam, serbuk kayu, atau batu bara.Â
Selain meningkatkan efisiensi energi, briket biomassa juga mendukung kelestarian lingkungan. Inisiatif ini dianggap penting karena menawarkan sumber energi berkelanjutan dan memberikan surplus ekonomi bagi sektor pertanian dengan memanfaatkan limbah yang sebelumnya tidak terpakai.Â
Dalam pembuatan bio-briket, perekat menjadi kunci untuk mengikat partikel biomassa, yang berdampak pada pengurangan kehilangan energi dan peningkatan efisiensi serta kekuatan mekanis briket. Hal itu menjadikannya lebih tahan lama terhadap kelembaban. Menariknya, pada produk briket buatan Tim Vicanisa ini digunakan phospho-gypsum. Itu adalah produk sampingan dari asam fosfat yang biasa digunakan sebagai perekat bangunan. Selain memiliki daya serap air yang baik dan aman bagi kesehatan, bahan ini juga mudah diakses dan terjangkau.Â
Lebih dari itu, sifat organik bahan ini tidak meninggalkan residu, sehingga menjadikannya perekat ramah lingkungan. Vicanisa dan rekan timnya menuturkan bahwa produksi briket buatannya terbilang sederhana. Pembuatan dimulai dari pengeringan biji, pengovenan, penghancuran, pengayakan, hingga pencampuran bahan tambahan. Setelah itu, untuk memastikan mutu dilakukan pengujian kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, nilai kalor, dan daya bakar berdasarkan standar nasional (SNI) briket. Keseluruhan uji tersebut dilakukan oleh para ahli pada beberapa Laboratorium terpercaya di Kota Malang.
"Untuk memudahkan konsumen dalam mengenali produk biobriket kami, dirancang label unik BICIGU yang merepresentasikan biobriket biji jeruk dengan perekat phosphogypsum, menjadikannya tidak hanya inovatif, tetapi juga menarik di pasar", kata Ketua Tim sekaligus Pengusul Merk, Vicanisa Armanda Astreapuspita (Fakultas MIPA, Biologi, Minggu (22/9).
Tidak hanya memanfaatkan bahan dasar limbah tumbuhan, BICIGU juga disimpan dalam kemasan organik yang menjajikan peluang usaha potensial. Produk dikemas dalam kertas berdesain modern praktis dan fleksibel, serta aman dilengkapi informasi cara penggunaan dan penyimpanan. Dengan harga terjangkau dan mudah diakses, inovasi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai jual serta mendukung perekonomian.
Dio Rizki Nadar Putra menambahkan, "Kami berupaya menciptakan produk yang praktis digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan produksi skala kecil, sekaligus mengatasi limbah jeruk yang melimpah saat musim panen, khususnya di daerah Malang". Â Dian Anggoroeni Dwidjayanti juga menuturkan, "Besar harapan kami produk ini dapat menjadi solusi ke depan untuk mengatasi kelangkaan gas LPG 3 kg. Namun, masih diperlukan riset lebih mendalam agar BICIGU dapat digunakan setiap hari, karena produksi skala besar juga membutuhkan alat-alat canggih dan kontrol mutu yang terus berjalan."
Pada saat ini, BICIGU masih dipasarkan dalam lokal dan pemanfaatannya masih sederhana yakni untuk memasak air, mie instan, dan BBQ. Tim peneliti optimis bahwa hasil penelitian  ini mampu mendukung terwujudnya program lingkungan hijau dan inovasi energi terbarukan yang ramah lingkungan, yang mana hal ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-7, yakni penyediaan energi bersih dan terjangkau. "Semoga produk yang telah terdaftar Hak Kekayaan Intelektual ini dapat berkembang dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat Indonesia." tutur Siti Nur Inayati.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H