Mohon tunggu...
Via Pristinia
Via Pristinia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya

hula, selamat datang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Lebih Jauh Mengenai Sindrom Tourette

31 Desember 2021   00:50 Diperbarui: 31 Desember 2021   01:00 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sindrom Tourette? Gangguan tic? Anda baru mendengarnya? Yap, istilah yang masih terdengar asing bagi orang awam. Dilansir dari salah satu media online menyebutkan bahwa selebriti Indonesia Tora Sudiro mengidap Sindrom Tourette, pernyataan tersebut dipaparkan oleh pengacaranya ketika mendampingi Tora Sudiro saat terkena kasus penyalahgunaan obat pada tahun 2017 silam. Semenjak Tora ditahan, sang pengacara mengaku bahwa Tora menjadi sulit mengendalikan sindrom yang dimilikinya itu.

Contoh kasus kedua, berasal dari penyanyi wanita terkenal Amerika Serikat yang terbilang masih cukup muda yaitu Billie Eilish. Di tahun 2018, ramai perbincangan Billie Eilish mengaku bahwa dirinya mengidap sindrom yang dinamakan Tourette.

Sebenarnya apa sih sindrom tourette dan gangguan tic itu serta bagaimana ciri-ciri, penyebab, dan penanganannya? Yuk simak terus penjelasan lebih lengkapnya di bawah ini.

Tourette’s Syndrome atau yang selanjutnya akan disingkat menjadi TS ialah gangguan perilaku-perkembangan saraf-kejiwaan (psychoneurogenobehavioral disorder) berbasis neurotransmitter, dicirikan dengan tindakan yang tidak sengaja, cepat, bersifat genetic, onset terjadi di masa kanak-kanak, serta memiliki ritme tik vocal-motorik yang menetap-menahun (Walkup et al., 2006).

 TS merupakan salah satu kondisi tidak normal yang ditandai dengan sang penderita yang menggerakkan anggota tubuhnya secara tiba-tiba dan tidak bisa dikendalikan.

Kushner dalam (Anurogo, 2013) mengatakan bahwa istilah tourette syndrome berawal dari nama seorang dokter spesialis saraf berdarah Perancis yaitu Georges Gilles de la Tourette (1857-1904) yang mempublikasikan artikel tentang delapan penderita tik motoric atau vocal. Di dalam PPDGJ-III, TS diklasifikasikan sebagai gangguan tic. 

Tic adalah suatu gerakan otot atau motorik (biasanya melibatkan kelompok otot tertentu), yang tidak memiliki tujuan nyata dan merupakan hasil dari suara yang tidak terkendali, berulang, cepat, dan juga tiba-tiba.

Onset tic biasanya mulai pada usia 7 hingga 8 tahun, puncaknya pada usia 8 hingga 12 tahun dan mereda di usia 12-16 tahun. Sekitar dua pertiga penyandang TS pada usia dewasa mengalami perbaikan gejala, namun sangat jarang jika bisa sembuh total (M. M. Robertson, 2008). 

Jadi, penderita gangguan tic cenderung banyak dialami pada usia kanak-kanak di bawah 18 tahun, namun tidak menutup kemungkinan gangguan tic juga masih terjadi pada usia dewasa. Penderita TS memiliki gangguan pada neurotransmitter (zat kimia pada otak) yang menyebabkan gerakan motoric dan vocal yang tiba-tiba, tidak dapat dikendalikan dan tanpa tujuan.

Sim & Stack dalam (Prima, 2016) menyebutkan bahwa TS dapat ditemukan di setiap kelompok etnis. Namun,  wanita 3-4  kali  lebih mungkin terkena dibandingkan pria.  Dengan  kata lain,  rasio pria dan wanita adalah  1:3.  Penyakit penyerta (komorbid) terkait dengan TS meliputi Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), Attention  Deficit  Hyperactivity Disorder (ADHD), kemungkinan mendapatkan sindrom autistik, gejala depresi, mengalami gangguan tidur, ketidakmampuan belajar, executive dysfunctions (kemampuan mengorganisasi yang buruk dan proses intelektual yang tidak efektif), perilaku  menyakiti  diri  sendiri, gangguan kepribadian, dan Oppositional  Defiant  Disorder (ODD).

Meskipun akar penyebab TS tidak sepenuhnya diketahui, multifaktor diyakini menjadi penyebabnya. Yang pertama meliputi faktor neurokimiawi, yaitu: regulasi dopamine yang buruk di nucleus kaudatus; juga ketidakseimbangan serta hipersensitivitas terhadap neurotransmitter, terutama pada dopamin dan serotonin. 

Dalam sistem saraf pusat, neurotransmitter dopamin memediasi berbagai model fungsi fisiologis yang meliputi aktivitas lokomotorik, pemrosesan kognitif, serta kontrol perilaku yang termotivasi (Heise et al., 2008).

Yang kedua, Singer et al dalam (Anurogo, 2013) teori autoimun menyebutkan bahwa TS disebabkan oleh penyakit autoimun pada anak-anak akibat infeksi streptokokus, infeksi bakteri Group A beta-haemolytic streptococcal (GABHS) juga berkaitan dengan TS. Yang ketiga, menurut Leckman (Prima, 2016), periode prenatal dan perinatal mempengaruhi patogenesis  sindrom  tourette.  Ibu dengan gangguan  tic  selama kehamilan  1,5 kali lebih mungkin untuk mengalami komplikasi dibandingkan ibu tanpa gangguan tic.

Dalam psikologi, kriteria diagnosa seseorang yang mengalami gangguan tic (TS) ada dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). Jadi, menurut DSM edisi ke V ini, seseorang akan didiagnosis memiliki gangguan tic ketika mereka memiliki kriteria:

  • Munculnya gerakan tic salah satu atau keduanya yaitu motoric atau vocal pada suatu waktu selama sakit, meskipun tidak harus bersamaan.
  • Frekuensi telah terjadi selama 1 tahun sejak onset tic pertama.
  • Onset terjadi pada seseorang yang usianya < 18 tahun.
  • Gangguan tidak terkait dengan efek fisiologis dari zat apapun (seperti kokain) atau kondisi medis lainnya (seperti penyakit Huntington dan postviral encephalitis).

Dalam buku saku yang ditulis (Maslim, 2013) Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Kejiwaan Edisi ke III (PPDGJ-III), juga disebutkan pada gangguan tic sementara, kriterianya sama dengan yang disebutkan di atas namun terjadinya tidak melebihi 12 bulan. Pola ini paling sering terjadi pada anak usia 4-5 tahun, biasanya gerakannya berupa sering berkedip, muka menyeringai, atau menganggukkan kepala.

Gangguan tic multipel (motorik dan vokal), onset terjadi hampir selalu dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja. Sindrom ini biasanya lebih buruk berlanjut selama masa remaja dan sering sampai dewasa dan mempengaruhi bagian lain dari tubuh seperti kaki dan batang tubuh.

Oleh karena itu, jika tic berulang, penderita akan mengalami penurunan aktivitas sehari-hari karena terganggu (M. Robertson, 2000). Tic vokal sering bersifat multipel dengan rangkaian suara yang berulang, seperti suara berdeham, suara dengkuran, atau juga bisa dengan ucapan-ucapan kasar atau cabul.

Perlu diingat, untuk menegakkan diagnosis gangguan tic, harus dilakukan oleh profesional seorang psikiater atau psikolog. Melalui proses wawancara dan observasi sebelum kemudian dilanjutkan ke penanganannya.

Tidak ada penanganan yang pasti untuk TS, tetapi pengobatan bertujuan untuk meredakan gejala yang berlangsung. Dalam kasus gejala ringan, penyandang TS dan keluarga hanya membutuhkan edukasi berupa informasi dan konseling. Selain itu, berbagai pendekatan psikoterapi, seperti: psikoterapi suportif, terapi kognitif, pelatihan kompulsi, dan teknik pengendalian diri dapat direkomendasikan. 

Pendekatan comprehensive behavioral intervention for tics (CBIT), berbasis edukasi/terapi perubahan kebiasaan efektif dalam mengurangi gangguan tic serta perburukan yang berhubungan dengan tic (tics-related impairment) pada anak dan remaja penderita TS dengan prevalensi keparahan sedang hingga berat. Terapi suportif dan edukasi dapat sebagai pendukung dan pelengkap CBIT (Anurogo, 2013).

Obat yang biasa digunakan oleh penderita TS untuk mengontrol gejala tic adalah Haloperidol, namun saat ini dikurangi penggunaannya karena terdapat beberapa efek samping yang ditimbulkan. 

Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 70% orang dengan TS akan mengalami penurunan gejala pada akhir masa remaja dan 30%-40% penderita akan membaik di akhir masa dewasa, tetapi gejala dapat kambuh atau diperburuk akibat adanya stressor psikologis.

Asumsi-asumsi  ini  bisa  menjadi dasar untuk menggunakan psikoterapi  untuk membantu penyandang sindrom Tourette memaksimalkan potensi mereka dan kemudian mampu beradaptasi dengan kehidupan. Tujuan utama psikoterapi untuk penderita TS juga untuk memungkinkan mereka mengembangkan strategi koping yang positif.

Ada strategi yang harus dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencegah TS. Kafein dapat memperburuk tic maka penderita TS harus menghindari minuman atau makanan yang mengandung kafein. Penyandang TS membutuhkan ruang untuk mengembangkan minat dan kemampuannya. 

Edukasi dan konseling secara keluarga, kelompok, dan individu sangat membantu pasien menyesuaikan diri dan mempercepat pemulihan. Untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran secara lebih sistematis perlu dibentuk organisasi atau lembaga seperti Tourette Syndrome Associations Foundations. Jika perlu, pemerintah bersama IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dapat membentuk komite nasional khusus menangani masalah TS, karena hal serupa sudah ada di Eropa (Anurogo, 2013).

Sumber

Anurogo, D. (2013). Fenomenologi Sindrom Tourette. CDK, 40, 900–906.

Heise, C. A., Wanschura, V., Albrecht, B., Uebel, H., Roessner, V., Himpel, S., Paulus, W., Rothenberger, A., & Tergau, F. (2008). Voluntary Motor Drive: Possible Reduction in Tourette Syndrome. Journal of Neural Transmission, 115(6), 857–861. https://doi.org/10.1007/s00702-007-0010-7

Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-V. Cetakan 2 - Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya. PT Nuh Jaya.

Prima, E. (2016). Peran Penerimaan Sosial terhadap Psikopatologi Perkembangan Sindrom Tourette Pada Anak. BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender Dan Anak, 1(2), 129. https://doi.org/10.22515/bg.v1i2.234

Robertson, M. (2000). Tourette Syndrome, Associated Conditions and the Complexities of Treatment. Brain, 123(3), 425–462. https://doi.org/10.1093/brain/123.3.425

Robertson, M. M. (2008). The Prevalence and Epidemiology of Gilles de la Tourette Syndrome. Journal of Psychosomatic Research, 65(5), 461–472. https://doi.org/10.1016/j.jpsychores.2008.03.006

Walkup, J. T., Mink, J., & Hollenbeck, P. (2006). Advances in Neurology: Tourette syndrome (1st ed.). Lippincott Williams & Wilkins.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun