Mahasiswi Magister Kepemimpinan dan Manajemen Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas IndonesiaÂ
(Maria Franciska Vianney Boro - vianyboro@gmail.com )
Beberapa bulan belakangan ini, kita dihadapkan dengan perubahan situasi yang dampaknya sangat besar oleh penyebaran virus covid- 19. Pandemic covid- 19 yang berlangsung beberapa bulan ini di Indonesia khususnya, mampu membuat lumpuh aktivitas masyarakat, membuat perekonomian goyah, membuat resah pemerintah, dan imbas nyata terlihat dari adanya perubahan aktivitas di rumah sakit.
Perlu kerja sama semua pihak menghadapi pandemi Covid-19, mulai dari masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, maupun pemerintah. Jika tak ada dukungaan Pemerintah, rumah sakit tidak akan mampu lagi melayani seluruh penderita Covid-19 karena keterbatasannya. Masyarakat juga harus diberi edukasi jangan sampai menganggap remeh virus korona karena penyebarannya begitu cepat dan dapat berdampak fatal.
Melihat dari transmisi virus covid yang terkesan sangat mudah dan beresiko kepada orang disekitarnya, dengan menyerang sistem pernafasan melalui droplets atau percikan yang keluar saat seseorang yang menjadi carrier (penderita) sedang berbicara atau batuk, membuat sistem rumah sakit pun diperketat menggunakan standar operasional prosedur (SOP) manajemen infeksi yang tepat.Â
Kementrian kesehatan bahkan mengeluarkan himbauan tertulis yang tertera dalam surat nomor YR.03.03/III/III8/2020 yang ditujukan kepada salah satunya seluruh kepala rumah sakit dan jajaran untuk meniadakan atau menunda pelayanan elektif dengan fokus penanganan yang bersifat gawat darurat dan membutuhkan perawatan segera selain pelayanan untuk covid-19 itu sendiri. Hal tersebut menunjukan bahwa dampak dari covid-19 tidak main-main.
Penularan yang dapat terjadi tidak hanya berlaku untuk masyarakat luas diluar sana, namun bagi yang beresiko tinggi yaitu di rumah sakit, para tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta para pasien yang berkunjung ke rumah sakit. Kelengkapan APD dan panduan yang jelas terkait penanganan kasus covid-19 di rumah sakit tidak bisa diremehkan atau dipandang sebelah mata, melihat nyawa sebagai taruhan darinya.Â
Apalagi rumah sakit sempat kewalahan terkait terbatasnya stok masker dan pakaian hazmat untuk pelaksanaan pelayanan dirumah sakit karena adanya oknum tidak bertanggung jawab yang melakukan penimbunan terhadap APD medis tersebut. Belakangan terdengar bahwa para oknum tidak bertanggung jawab tersebut malah kena imbasnya karena timbunan mereka malah tidak laku dipasaran. Mungkin itu hukum alam yang terjadi kepada mereka.
Saat ini, semua mata tertuju kepada kinerja tim medis dan kesehatan dalam penanganan pasien covid-19. Namun itu cuma gambaran umum yang diketahui dunia luar terhadap betapa berjuangnya para petugas kesehatan dalam penanganan covid saat ini. Banyak hal yang dipertarukan lebih dibanding pekerjaan yang dilakukan selama ini. Hal tersebut sangat berlaku bagi terkhusus tenaga keperawatan.
Dikutip dari laporan WHO terkait ada dampak kesehatan jiwa dan psikologi bagi tenaga kesehatan garis depan (termasuk perawat, dokter pengemudi ambulans, petugas identifikasi kasus, dan lainnya) faktor penyebab stres tambahan selama wabah COVID-19 bisa jadi lebih berat diantaranya ada stigmatisasi di dalam lingkungan masyarakat, langkah- langkah biosecurity yang ketat seperti APD yang membatasi pergerakan, Kesiagaan dan kewaspadaan setiap saat, prosedur ketat, waktu kerja yang lebih lama dan tuntutan ppekerjaan lebih tinggi, jumlah pasien semakin meningkat, dan pemikiran bahwa akan menularkan kepada kerabat terdekat atau keluarga membuat suatu beban tersendiri oleh tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pelayanan asuhan keperawatan di rumah sakit (WHO, 2020). Oleh karena itu peranan manajer penting untuk menciptakan lingkungan kerja di mana konflik dapat digunakan sebagai saluran untuk pertumbuhan, inovasi, dan produktivitas dan ketika konflik di dalam organisasi menjadi tidak berfungsi, manajer harus mampu mengenalinya pada tahap awal dan secara aktif melakukan intervensi sehingga motivasi bawahan dan produktivitas organisasi tidak terpengaruh secara negative (Marquis, 2017).
Dibaliknya ada peran penting dari tim manajemen sebagai bidang penunjang untuk berjalannya pelayanan yang aman, efektif, berfokus pada pasien, tepat waktu, efisien, dan adil. Banyak hal yang dipersiapkan dan banyak perubahan yang terjadi. Untuk rumah sakit pemerintah mungkin tidak terlalu berdampak karena aliran dana dari pemerintah untuk penanganan kasus covid-19 langsung tepat sasaran kepada jajaran RSUD.Â
Dan banyaknya malaikat yang muncul disaat masa pandemic dengan jumlah sumbangan berbentuk apd yang tidak pernah berhenti. Namun berbeda kasus dengan rumah sakit swasta yang harus survive dengan keadaan ini. Terkhusus untuk urusan pengadaan APD dan penunjang lainnya. Semakin berkurang minat pasien ke RS karena parno dengan penularan covid-19 mengakibatkan adanya krisis tersendiri yang harus disiasati oleh para manajer rumah sakit untuk tetap mengutamakan standar keselamatan pasien, manajemen resiko dan k3 dilingkungan rumah sakit.
Beberapa hal yang menjadi concern utama bidang manajemen adalah kesiapan ruangan, sumber
daya, metode, dan sarana-prasarana. Hal tersebut membutuhkan kesigapan dan keputusan yang tepat didalamnya. Dengan terbatasnya SDM, APD dan sarana prasarana mengharuskan para manajer untuk berpikir kreatif untuk mensiasati hal tersebut.Â
Karena keamanan pelayanan akan sangat dipengaruhi oleh kepatuhan petugas kesehatan dan pasien terhadap prosedur, ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang standar, pelatihan yang terstandar, dan pemahaman petugas kesehatan terhadap protokol penanganan COVID-19. Sedangkan efektifitas pelayanan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana prasarana, ketepatan penanganan dan pengobatan yang untuk kasus COVID-19 sangat berkejaran dengan waktu.
Pada kondisi pandemic saat ini  peran desain rumah sakit sangat penting untuk dilakasanakan jika merujuk dari angka insiden keselamatan pasien dan infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi pada pasien selama mereka menjalani perawatan di rumah sakit), yang menurut WHO  terjadi pada 7-10 pasien diantara 100 pasien yang menjalani rarat inap.  Kesalahan atau keterlambatan diagnosis penyakit berkontribusi terhadap kematian yang terjadi di rumah sakit sekitar 10%. Selain itu kegagalan dalam berkomunikasi di antara tenaga kesehatan dalam memberikan perawatan berkontribusi 70% terhadap insiden yang menyebabkan pasien meninggal atau menyebabkan pasien mengalami disabilitas. Pada kondisi pandemi ini, angka-angka tersebut kemungkinan menjadi lebih besar. Misalnya, keterlambatan diagnosis kasus COVID-19 terjadi karena pasien dan dokter butuh waktu berhari-hari mendapatkan hasil tes swab (PCR). Hal ini menyebabkan pasien tidak mendapatkan perawatan sesuai standar COVID-19 dan mengakibatkan pasien meninggal saat dalam perawatan sebelum terkonfirmasi positif terinfeksi COVID-19. Untuk mencegah infeksi selama di rumah sakit, protokol pengendalian infeksi COVID-19 dibuat sangat ketat. Item yang diatur meliputi berbagai aspek, mulai dari alur masuk pasien ke rumah sakit, ketika pasien berada di ruang tunggu, pengelompokan pasien berdasar kondisinya, saat pasien harus dibawa ke unit pelayanan lain di rumah sakit, perawatan di ruang isolasi ataupun di ruang perawatan intensif, pengelolaan linen, bahkan sampai pengelolaan limbah.
Hal tersebut perlu dipikirkan oleh manajer keperawatan khususnya dirumah sakit hingga akhirnya pengendalian infeksi di tingkat rumah sakit dan pemberian pelayanan yang efektif akan lebih terkontrol pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H