Beberapa hari lalu saya dikirimi sebuah cuplikan video melalui WhatsApp oleh teman saya. Menurutnya video itu tengah viral di jagat media sosial. Saya memutuskan untuk membuka video itu. Isinya tentang beberapa anak remaja yang sedang ngumpul di sebuah resto sambil menyombongkan diri dan pamer kekayaan. Lalu dilanjutkan lagi dengan beberapa video dengan tokoh yang sama dengan inti cerita yang sama pula. Saya melihat hal tersebut sambil tersenyum kecil dengan perasaan miris. Tapi, saya tidak dalam posisi menghakimi, bukan?
Ini bukan hal baru bagi saya. Sebelumnya banyak video singkat serupa yang memuat konten yang sama. Memamerkan kekayaan, dan mereka bangga walau akhirnya harus menerima hujatan seantero negeri. Dengan tujuan, yang penting terkenal. Hal ini membuat saya merenung. Sedemikian besarkah perubahan yang terjadi saat ini? Orang akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan sebuah pengakuan akan eksistensi hidupnya. Orang akan melakukan berbagai macam cara agar keinginannya tercapai.
Ya, dunia sudah berubah sedemikian rupa. Cara orang berkomunikasi juga berubah. Walau mungkin secara esensi komunikasi tetap sama tujuannya, yaitu untuk berhubungan satu sama lain baik secara personal maupun massa.
Saya memiliki tiga orang anak. Anak saya yang pertama terlahir sebagai generasi Z dan kedua anak saya yang lain dari generasi Alpha. Saya sendiri lahir di awal generasi milenial muncul. Suami saya berasal dari generasi X. Bisa dibilang, cara komunikasi kami berbeda. Bukan hanya itu, pemikiran-pemikiran kami pun berbeda. Pendekatan yang saya lakukan terhadap ketiga anak saya berbeda-beda, karena saya sadar mereka berasal dari generasi yang berbeda pula.
Sebagai orang tua, saya dan suami tidak cukup hanya menasehati. Tapi harus berdiri sebagai contoh hidup bagi anak-anak. Sebagai pembentuk fondasi awal karakter mereka kelak. Bagi saya, tiap keputusan dan pemikiran yang lahir dari tiap individu banyak dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan tempat dia bertumbuh.
Pernah saya bercakap-cakap dengan salah satu ibu petugas kebersihan yang sedang beristirahat makan siang. Di siang yang terik beliau meminta ijin untuk beristirahat di teras rumah saya. Saya mempersilahkan lalu memberinya segelas air putih dingin dan sebungkus roti. Setelah dia selesai menikmati makanannya, saya berinisiatif keluar lalu duduk di dekatnya. Dia mulai bercerita tentang kerasnya hidup.
Suami kerja serabutan dan dia terpaksa harus ikut menopang keluarga dengan bekerja. Anaknya ada lima. Luar biasanya, dia dan suami berhasil membesarkan dua orang polisi, satu perawat dan satu lagi bekerja di bank. Sedangkan si kecil masih kuliah. Dipikiran saya, bagaimana mungkin mereka bisa membesarkan anak-anak yang tumbuh menjadi orang hebat? Padahal dana seadanya, serta sempat beberapa kali mengalami kelaparan karena tidak ada uang untuk makan.
Ternyata, waktu keluarga itu penting. Selelah apapun dia dan suami, selalu ada waktu buat anak-anak. Mereka makan bersama dan bercakap-cakap hangat. Hubungan antara anak-anak dan orang tua erat. Orang tua memberi contoh bekerja keras tapi tak lupa memberi kasih yang cukup untuk anak-anaknya. Saya ingat ibu itu berkata, " Jika kasih sayang anak-anak tercukupi, mereka tidak akan mengemis-ngemis kasih sayang di luar dan minta pengakuan sana sini, karena mereka tumbuh menjadi pribadi yang penuh kasih."
Bayangkan, seorang ibu petugas kebersihan bisa mempunyai pemikiran yang menurut saya luar biasa. Beliau dan suami hanya lulusan SD tapi bisa punya pemikiran luar biasa dan menghasilkan anak-anak yang sarjana. Sungguh, saya angkat topi buat mereka.
Di lain sisi, salah satu teman saya yang usianya beda beberapa tahun di atas saya, hidup berkecukupan. Sejak kecil sudah membiasakan anak-anaknya hidup sangat nyaman. Dari bangun tidur hingga kembali tidur anak-anak tersebut dilayani kebutuhannya oleh babysitter masing-masing. Jika yang satu beli baju baru maka yang lain harus dibelikan juga, tidak perduli berapa harga baju tersebut. Baginya, pantang jika anak-anaknya menggunakan pakaian bekas pakai. Semua harus baru. Itu baru masalah pakaian, belum yang lain.
Saya sempat bertanya padanya apa tidak terlalu dimanja? Karena mengingat anak perempuannya yang berusia 10 tahun hingga kini tidak mengerti bagaimana mengikat tali sepatu atau sekedar membersihkan tempat tidurnya. Dia menjawab tidak apa-apa, kan masih kecil. Nanti juga bisa sendiri.
Batin saya bingung, bagaimana bisa, karena manusia hidup dari belajar. Jika tidak pernah diajari dan dibiasakan bagaimana dia bisa tahu. Teman saya dan suaminya super sibuk. Hingga semua anak-anaknya mendapat kasih sayang dari babysitter, gadget, televisi dan lainnya.
Saya percaya tidak semua orang tua dari keluarga berkecukupan atau kekurangan seperti itu, tapi bagi saya ini cerita yang sangat kontras. Kita orang tua secara langsung turut menyumbang pertumbuhan anak serta pembentukan karakternya.
Di Asia khususnya Indonesia masih banyak yang beranggapan jika budaya barat identik dengan hidup bebas. Orang tua membebaskan anaknya tumbuh dengan sendirinya, tumbuh dengan pilihan-pilihan dan pemikiran mereka tanpa ada filter dengan dalih menghargai hak azasi manusia ( hak azasi anak tepatnya.) Lalu hal tersebut diadopsi menjadi gaya hidup orang tua modern di Asia dan ditularkan kepada anak-anak mereka.
Padahal itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa teman saya yang tinggal di Swedia dan Norwegia juga di New York yang notabene orang Bule justru mendidik anak mereka lebih beretika. Sejak kecil, anak-anak sudah dididik keras tentang tanggung jawab dan disiplin. Dididik tentang sebab akibat, namun juga dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak sejak usia dini untuk berempati itu sangat penting. Dan itu mereka pelajari dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.
Kembali ke pokok pembahasan saya di atas, tentang beberapa anak muda yang viral karena pamer kekayaan hingga merendahkan orang lain yang mereka anggap miskin. Jika dipikir dalam-dalam, mungkin itu bukan sepenuhnya salah mereka. Apa peran keluarga di kehidupannya berjalan baik? Apa dia tumbuh di lingkungan yang benar? Semua bisa dipikirkan. Memang hukuman sosial itu berat, tapi alangkah baiknya jika kita tidak terburu-buru menghakimi. Semakin hari, norma-norma etika seakan tak dihargai lagi.
Kemajuan teknologi yang seharusnya berdampak positif justru disalah fungsikan untuk hal yang tidak membangun. Ingat, anak itu peniru ulung. Mereka akan melalukan persis seperti yang kita contohkan. Kehidupan hedonis yang banyak diumbar, kebobrokan para petinggi bangsa disorot dan kebebasan berpendapat yang kebablasan juga dipublikasikan.
Tak sedikit kita jumpai orang mencaci maki satu sama lain di media sosial, bukan? Dan parahnya lagi, media mendukung pemberitaan-pemberitaan tersebut secara berulang. Kasihan jika yang mengkonsumsi itu belum dewasa secara nalar. Maka segala macam informasi akan ditelan bulat-bulat.Â
Berita negatif yang diberitakan secara terus menerus, lama kelamaan akan menjadi hal biasa lalu berubah sebagai suatu pembenaran. Pembenaran bahwa hal wajar jika memamerkan kekayaan dengan merendahkan yang tidak mampu, hal yang benar melawan orang tua dengan alasan tiap orang punya pemikiran masing-masing, hal yang biasa jika korupsi itu dilakukan, dan lain sebagainya.
Apakah hal itu yang akan kita tinggalkan untuk generasi yang akan datang? Sebagai manusia yang berasal dari generasi yang berbeda, hendaknya kita saling melengkapi. Yang tua mengayomi yang muda, jangan memusuhi. Dan, yang muda harus belajar memahami generasi yang ada di atas mereka. Tantangan menjadi orang tua di jaman ini adalah bagaimana kita bisa menanamkan nilai-nilai positif bagi anak-anak. Percayalah, itu susah. Karena saya sementara mengalaminya.
Saya banyak belajar dari orang tua saya atau sahabat-sahabat mereka bagaimana bisa berhasil mendidik anak.
Mari kita berkaca pada salah satu orang terkaya di Indonesia, Hortono bersaudara. Walau terkenal kaya raya, tapi mereka hidup dalam kesederhanaan. hal itu yang menjadi contoh bagi keturunan mereka, walau hidup bergelimang harta tapi tetap sederhana menjalani hidup.
Mark Zuckerberg bersama istri juga terkenal sederhana, padalah kita semua tahu dia termasuk salah satu orang terkaya di dunia. Yup, di dunia. Tapi dia mengajarkan sebuah nilai kesederhanaan untuk anaknya yang sedang tumbuh. Nilai empati, mengasihi, menghargai. Itulah yang tidak boleh hilang. Dari manakah anak-anak belajar itu semua? Ya, melalui orang tua.
Sesibuk apapun kita, mari kita rangkul mereka, anak-anak kita. Rangkul dengan kasih sayang yang bertanggung jawab. Perhatikan baik-baik, kebanyakan mereka yang sukses rata-rata berasal dari orang tua yang kuat. Menanamkan anak-anak sebuah fondasi yang kuat untuk menghadapi hidup. Hidup ini tidak mudah, mari bantu mereka.
Bagi generasi muda yang mungkin tidak punya figur orang tua yang ideal, ketahuilah, Tuhan tidak pernah tinggal diam. Dia pasti menolong umatNya. Belajarlah dari mereka-mereka yang mencapai sukses dengan tekun dan susah payah. Ingat segala sesuatu yang diperoleh secara instan maka akan hilang secara instan pula.
Suatu bangsa tidak akan pernah ada tanpa generasi pendahulu, dan sebuah bangsa tidak akan bisa bertahan keberlangsungannya jika generasi penerusnya tidak punya landasan yang kuat untuk mempertahankannya.
Saya yakin, jika stok kasih sayang sudah terpenuhi, saat kita melepas anak panah di tangan kita, mereka akan melesat ke sasaran yang tepat. Mereka akan selektif memilah dan memilih di lingkungan mana mereka akan berada, dengan siapa mereka bergaul, dan mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat.
Â
Semangat semua.
Balikpapan, 25 Oktober 2020.
tayang di thewriters.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H