Batin saya bingung, bagaimana bisa, karena manusia hidup dari belajar. Jika tidak pernah diajari dan dibiasakan bagaimana dia bisa tahu. Teman saya dan suaminya super sibuk. Hingga semua anak-anaknya mendapat kasih sayang dari babysitter, gadget, televisi dan lainnya.
Saya percaya tidak semua orang tua dari keluarga berkecukupan atau kekurangan seperti itu, tapi bagi saya ini cerita yang sangat kontras. Kita orang tua secara langsung turut menyumbang pertumbuhan anak serta pembentukan karakternya.
Di Asia khususnya Indonesia masih banyak yang beranggapan jika budaya barat identik dengan hidup bebas. Orang tua membebaskan anaknya tumbuh dengan sendirinya, tumbuh dengan pilihan-pilihan dan pemikiran mereka tanpa ada filter dengan dalih menghargai hak azasi manusia ( hak azasi anak tepatnya.) Lalu hal tersebut diadopsi menjadi gaya hidup orang tua modern di Asia dan ditularkan kepada anak-anak mereka.
Padahal itu tidak sepenuhnya benar. Beberapa teman saya yang tinggal di Swedia dan Norwegia juga di New York yang notabene orang Bule justru mendidik anak mereka lebih beretika. Sejak kecil, anak-anak sudah dididik keras tentang tanggung jawab dan disiplin. Dididik tentang sebab akibat, namun juga dengan penuh kasih sayang. Mendidik anak sejak usia dini untuk berempati itu sangat penting. Dan itu mereka pelajari dari lingkungan terdekat yaitu keluarga.
Kembali ke pokok pembahasan saya di atas, tentang beberapa anak muda yang viral karena pamer kekayaan hingga merendahkan orang lain yang mereka anggap miskin. Jika dipikir dalam-dalam, mungkin itu bukan sepenuhnya salah mereka. Apa peran keluarga di kehidupannya berjalan baik? Apa dia tumbuh di lingkungan yang benar? Semua bisa dipikirkan. Memang hukuman sosial itu berat, tapi alangkah baiknya jika kita tidak terburu-buru menghakimi. Semakin hari, norma-norma etika seakan tak dihargai lagi.
Kemajuan teknologi yang seharusnya berdampak positif justru disalah fungsikan untuk hal yang tidak membangun. Ingat, anak itu peniru ulung. Mereka akan melalukan persis seperti yang kita contohkan. Kehidupan hedonis yang banyak diumbar, kebobrokan para petinggi bangsa disorot dan kebebasan berpendapat yang kebablasan juga dipublikasikan.
Tak sedikit kita jumpai orang mencaci maki satu sama lain di media sosial, bukan? Dan parahnya lagi, media mendukung pemberitaan-pemberitaan tersebut secara berulang. Kasihan jika yang mengkonsumsi itu belum dewasa secara nalar. Maka segala macam informasi akan ditelan bulat-bulat.Â
Berita negatif yang diberitakan secara terus menerus, lama kelamaan akan menjadi hal biasa lalu berubah sebagai suatu pembenaran. Pembenaran bahwa hal wajar jika memamerkan kekayaan dengan merendahkan yang tidak mampu, hal yang benar melawan orang tua dengan alasan tiap orang punya pemikiran masing-masing, hal yang biasa jika korupsi itu dilakukan, dan lain sebagainya.
Apakah hal itu yang akan kita tinggalkan untuk generasi yang akan datang? Sebagai manusia yang berasal dari generasi yang berbeda, hendaknya kita saling melengkapi. Yang tua mengayomi yang muda, jangan memusuhi. Dan, yang muda harus belajar memahami generasi yang ada di atas mereka. Tantangan menjadi orang tua di jaman ini adalah bagaimana kita bisa menanamkan nilai-nilai positif bagi anak-anak. Percayalah, itu susah. Karena saya sementara mengalaminya.
Saya banyak belajar dari orang tua saya atau sahabat-sahabat mereka bagaimana bisa berhasil mendidik anak.
Mari kita berkaca pada salah satu orang terkaya di Indonesia, Hortono bersaudara. Walau terkenal kaya raya, tapi mereka hidup dalam kesederhanaan. hal itu yang menjadi contoh bagi keturunan mereka, walau hidup bergelimang harta tapi tetap sederhana menjalani hidup.