Mohon tunggu...
TJAK LAN
TJAK LAN Mohon Tunggu... lainnya -

perajin tata letak + cerpen + puisi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Daun-daun Waru yang Terbawa Angin

15 Desember 2015   10:50 Diperbarui: 16 Desember 2015   03:06 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di suatu sore yang kering, Kayah menikmati secangkir teh di beranda rumahnya. Angin bertiup cukup kencang membuat pintu depan terbuka dengan suara gaduh. Kayah buru-buru menghabiskan tehnya, lalu bangkit dan mengunci pintu. Angin terus bertiup mengusik apa saja: khimar Kayah yang berwarna coklat pudar, daun jendela, segerumbul bunga-bunga kertas, daun-daun waru kering di samping rumah.

Jika musim hujan tiba, daun-daun waru itu selalu terlihat lebih hijau dari sebelumnya. Ada memang yang kering, satu-dua yang menua dan berwana kuning, tapi itu tak membuat Kayah begitu sibuk membersihkannya setiap pagi dan sore seperti musim meranggas kali itu. Namun demikian, membersihkan daun-daun waru yang berguguran dengan sapu lidi menimbulkan kegembiraan sekaligus kesedihan tersendiri dalam dirinya. Kadang-kadang Kayah melakukannya hanya dengan tangannya. Saat melakukan dengan cara seperti itu, sekilas-kilas ia teringat sebuah kisah yang pernah diceritakan seseorang kepadanya. Seingatnya, kisah itu menceritakan seorang perempuan tua yang setiap hari memunguti daun-daun kering di halaman sebuah rumah ibadah. Dalam setiap helai daun yang dipungutnya perempuan tua itu selalu melafalkan salawat dengan khusuk.

Kayah tersenyum mengingat kisah itu, mengingat kebiasaannya menyapu berlama-lama di bawah pohon waru itu, mengingat seseorang yang pernah menceritakan kisah itu padanya bertahun-tahun lalu.

Pohon waru itu begitu tua. Seingatnya, sejak ia mengenal nama-nama pohon dan warna-warna, pohon waru itu sudah berada di sana. Sebatang pohon nangka tua yang dipotong kasar-kasar oleh ayahnya, pernah terpacak di bawahnya. Dalam waktu yang cukup lama bangku kayu itu pernah bertahta di sana. Tahun-tahun berganti dan bangku-bangku di bawahnya berganti dari pohon nangka ke pohon nangka lagi, potongan-potongan bambu untuk beberapa waktu, hingga pada suatu sore yang dingin, seorang pengembara yang baru pulang, merakitkan sebuah bangku kayu yang baru untuknya.

“Ini untukmu, untuk menemanimu mengaso bersama Zahra. Tentu saja, jika hari begitu terik dan kalian sudah bosan di beranda,” kata pengembara itu kepadanya.

Hati Kayah membiru dan matanya terasa perih. Ia menggenggam hangat tangan pengembara itu; lelakinya yang selalu ditunggu.

“Jangan bilang seperti itu. Kenapa tidak kita: kau, aku dan Zahra?” ujar Kayah dengan air mata yang nyaris tumpah.

Marjan menghentikan sejenak pekerjaannya. Ia menatap wajah istrinya dengan mata cekungnya yang penuh kasih. Digerakkan oleh keharuan yang begitu mendalam dan tak biasa, seolah untuk terakhir kalinya, ia menciumi kening istrinya. Ia meraupnya sejenak, segala yang ada dalam wadag dan jiwa istrinya. Hari sudah gelap ketika Marjan menyelesaikan bangku kayu itu. Tidak banyak yang terjadi pada malam itu. Hingga subuh tiba, Marjan membisikkan sesuatu yang menyesakkan dada di telinga istrinya yang terlihat pulas memeluk Zahra buah cinta mereka, “Aku harus pergi dulu. Nanti, jika urusanku sudah selesai aku akan kembali lagi bersama kalian.”

Kayah tergugu di tempat tidurnya. Ia tahu, seperti merasa bahwa Marjan tak akan pernah kembali setelah subuh yang dingin itu. Nyatanya, sepekan kemudian, di tengah malam buta pintu rumahnya diketuk sekelompok orang berjubah. Salah seorang dari mereka yang terlihat sebagai pemimpinnya menyerahkan sebuah buntalan kecil.

“Maaf, Bu. Ini amanat dari ketua, pemimpin kami. Suami Ibu sudah menghadap kepada-Nya sebagai orang suci. Beliau dengan gigih dan berani memertahankan dirinya dari fitnah dunia. Kami semua turut berduka.”

Kayah menerima buntalan kecil itu dengan lutut gemetar. Ia bergeming meratapi sepasang sandal, patahan tongkat dan jubah hitam yang berlumuran darah suaminya. Ia ingin mengatakan sesuatu yang meledak-ledak kepada para tamunya, tapi tak bisa. Bahkan ketika mereka mengucapkan pamit dengan takzim di hadapannya, Kayah tetap bergeming, kedua sudut matanya digenangi air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun