Namun semuanya sia-sia. Aku hanya pasrah dalam dekapan ibu ketika suaraku hampir tak tersisa. Di saat itu, aku bisa melihat mata ibu berkaca-kaca. Bahkan aku bisa merasakan air matanya yang jatuh berbaur dengan air mataku di pipiku, di tubuhku. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba ibu tersedu-sedu.
"Nak, maafkan ibu, ya?"
Aku tak bisa menjawabnya. Bagaimana mungkin, seseorang yang telah berbuat jahat, bisa meminta maaf begitu saja. Aku ingin ibu mengembalikan kupu-kupuku.
"Lagi pula, semua kupu-kupu akan lebih cantik jika berada di taman. Bukan di kamar ini tempatnya. Nanti kamu akan tahu, kenapa ibu memintamu melepaskan kupu-kupu itu."
Aku tidak tahu apa yang dikatakan ibu. Bagiku, seekor kupu-kupu akan tetap tampak cantik di mana saja. Apalagi jika aku bisa memilikinya.
"Mulai sekarang biarlah kupu-kupu itu terbang bebas, mencari rumahnya sendiri. Kamu tahu, Nak," kata ibu semakin terisak. "Kita juga harus segera meninggalkan kota ini. Mulai besok, ibu akan bekerja di tempat lain."
Aku semakin tidak mengerti kenapa ibu harus pindah dan bekerja di tempat lain. Apakah di tempat lain aku masih bisa melihat kupu-kupu seperti di padang rumput itu?
"Di tempat yang baru nanti, kamu akan melihat lebih banyak kupu-kupu. Kupu-kupu yang lebih cantik."
Aku tidak tahu, apa ibu mengatakan yang sebenarnya atau hanya sedang membujukku. Yang aku tahu, dua hari setelah itu kami benar-benar meninggalkan rumah itu. Kami dibantu oleh seorang laki-laki yang dulu sering menjemput ibu.
"Kemarilah, biar ibu beri tahu," bisik ibu sebelum kami meninggalkan rumah itu. "Mulai sekarang, kamu boleh memanggilnya ayah."
Aku tahu, laki-laki itu adalah laki-laki yang membawa ular ke kamar ibu waktu itu. ()