"Apa kamu tadi melihat seekor kupu-kupu?" tanya ibu kepada temannya.
"Aku melihatnya tadi, di padang rumput itu."
"Indah sekali sayapnya. Aku suka warnanya," kata ibu.
"Ah, apa indahnya. Kau ini ada-ada saja. Bukankah kita juga kupu-kupu?"
"Hmm. Kupu-kupu yang hampir patah sayapnya."
"Kupu-kupu yang terbang malam-malam. Ha ha ha..."
Ibu dan teman kerjanya pun tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Mungkinkah mereka sedang menertawakan kupu-kupu itu?
Jadi memang benar, di padang rumput itu ada seekor kupu-kupu yang cantik seperti yang dikatakan ibu dan teman kerjanya waktu itu. Dan kini, aku akan lebih berhati-hati. Aku tidak ingin kupu-kupu itu lepas lagi seperti tempo hari. Kali ini, aku menjaga gerak-gerikku sedemikian rupa. Nafasku sedikit tertahan, kakiku berjingkat-jingkat, perlahan-lahan mendekati sekuntum mawar liar di mana seekor kupu-kupu hinggap dengan cara yang paling mengesankanku. Sekejap berikutnya, hatiku riang tak terkira ketika jemari mungilku berhasil menangkap mahluk cantik itu; kupu-kupu bersayap ungu. Aku pun segera berlari-larian menuju rumah, tak sabar ingin mengajak kupu-kupu mungilku bermain bersama di kamarku.
***
Aku tidak tahu, kenapa orang-orang dewasa lebih mudah marah. Aku juga tidak tahu, kenapa ibu memarahiku gara-gara seekor kupu-kupu. Aku kira ibu akan suka melihatku bisa menangkap kupu-kupu. Hari itu, saat aku sedang bermain-main dengan kupu-kupu cantikku, ibu tiba-tiba masuk ke kamarku. Ibu mengatakan padaku bahwa ia sendiri yang akan membuang kupu-kupu itu jika aku tak mau melepaskannya. Tentu saja, aku tidak mau melepaskannya. Kau masih ingat, bagaimana caraku mendapatkannya, kan? Tidak mudah. Namun ibu tidak peduli hal itu.
Kau tahu, apa yang kupertahankan sia-sia saja, akhirnya. Dengan mudahnya ibu merampas kupu-kupu itu dari tanganku. Dengan kejamnya ibu melepaskan kupu-kupu itu dari kamarku. Ia membuka jendela dan menerbangkannya begitu saja. Aku yang tak sanggup meraih tangan ibu, hanya bisa meronta-ronta. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku begitu marah kepada ibu hingga aku memukul-mukul tubuh ibu yang berusaha meraih tanganku. Aku terus melolong-lolong sekeras-kerasnya, meneriaki ibu, mengatakan hal-hal yang buruk kepadanya; semoga ibu dimakan ular atau ditampar sayap kupu-kupu raksasa, biar tahu rasa.