Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, merupakan salah satu fakultas yang paling banyak membuka program studi di Universitas Indonesia. FIB UI Â menyediakan sekurang-kurangnya 15 program studi bagi para calon pendaftar, 11 di antaranya merupakan program studi sastra dan 4 lainnya merupakan program studi non sastra. Maka tidak heran jika pada penerimaan mahasiswa baru di Universitas Indonesia, FIB selalu menjadi fakultas yang paling ramai oleh sorak-sorai para mahasiswanya.Â
Dalam kegembiraan para mahasiswa baru FIB UI selalu terlintas dalam benak para mahasiswanya mengenai image buruk yang acap kali disematkan kebanyakan orang ketika melihat FIB yang mayoritas mempelajari "Sastra," seolah-olah seseorang yang tengah mempelajari sastra adalah orang yang tidak berguna---sebuah kesalahan fatal yang diulang oleh orang-orang awam saat melihat seorang mahasiswa mempelajari sastra.
Pada beberapa kesempatan lain dalam bincang-bincang program studi bersama teman-teman mahasiswa di berbagai fakultas di UI, kebanyakan mereka menilai lebih buruk tentang "Sastra Indonesia" daripada sastra asing. Kerap terdengar ejekan pada kami---mahasiswa program studi sastra Indonesia seperti "mau jadi apa orang lulusan sastra Indonesia", "orang Indonesia kok masuk sastra Indonesia, aneh." dan lain sebagainya. Padahal jika belajar di program studi sastra Indonesia tidak sesederhana orang-orang katakan. Program studi sastra Indonesia memang belajar bahasa Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa dalam prodi sastra Indonesia UI ada sebanyak empat peminatan yang menjadi topik utama pembelajarannya, yaitu ilmu linguistik, ilmu sastra, tradisi lisan, dan ilmu filologi. Dari keempat peminatan tersebut dua di antaranya masih asing ditelinga. Sebut saja ilmu filologi, tidak banyak orang mengetahui tentang studi ini dan menjadikannya masuk ke dalam deretan studi yang sepi peminat.
Apa itu ilmu filologi?
"Definisi ilmu filologi itu adalah ilmu yang mempelajari teks yang ada di dalam naskah kuno. Filologi memang ilmu kuno, tetapi up to date, yang paling dasar itu kan kita tahu, Istilah Philos dan Logos jadi, Philos itu cinta kemudian Logos itu ilmu pengetahuan. Jadi, dasarnya ilmu filologi adalah cinta ilmu pengetahuan." ujar Ibu Mamlahatun, pada kanal Youtube Laboratorium Filologi FIB UI, 2022.
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, filologi dapat dikategorikan sebagai ilmu yang mempelajari kesusastraan masa lampau yang dapat dibuktikan dari media pembelajarannya, yaitu naskah-naskah kuno nusantara hasil peninggalan para pegiat intelektual Indonesia zaman dulu. Keberagaman suku, bangsa, ras, dan agama menghasilkan naskah-naskah kuno yang beragam dimulai dari aksara, bahasa, dan isi kisah yang ditulis di dalamnya menjadikan disiplin ilmu ini menarik untuk dipelajari. Naskah-naskah kuno peninggalan masa lampau ini dapat menjadi acuan dalam segala bidang ilmu lainnya karena banyak memuat cerita-cerita dari masa lalu, cara pengobatan, ramuan-ramuan obat-obatan, ilmu agama, buku pendidikan, dan beberapa naskah kuno juga memuat sejarah kerajaan masa lampau yang ada di Indonesia.
Studi ilmu filologi yang akrab dengan naskah-naskah kuno peninggalan masa lampau yang usang dengan aksara dari berbagai daerah di Indonesia ini memunculkan pertanyaan baru tentang siapa yang mau mempelajarinya?
Di era modern dengan teknologi yang semakin mutakhir banyak anak muda tidak lagi memedulikan keberadaan manuskrip-manuskrip peninggalan masa lampau, terlebih di sekolah-sekolah tidak diajarkan tentang ilmu filologi ini. Selain itu, kesulitan dalam memahami aksara-aksara zaman dulu yang mulai sekarang ditinggalkan penuturnya pun menjadikan posisi ilmu filologi mengalami kemunduran yang signifikan. Bayak alasan diungkapkan beberapa pihak tentang studi ilmu filologi sebagai penguat alasan yang dianggap masuk akal, seperti disiplin yang kurang menarik, kurang trendi, tidak modern, dan ketinggalan zaman. Banyak alasan diajukan untuk memperkuat stigmatisasi ini. Di antaranya ialah objek kajian filologi---teks-teks klasik---tidak menggairahkan untuk digumuli. Bentuk fisiknya yang tidak sezaman tidak dapat menyingkirkan kesan bahwa filologi tidak menarik. Kedua, isi teksnya yang mengungkapkan pergulatan intelektual masa lalu menjadikan filologi kurang trendi karena sebagian besar orang, termasuk para intelektual, berpikir bahwa tidak ada lagi manfaatnya membangkitkan sesuatu yang sudah mati. Ketiga, hasil kajiannya yang pada umumnya setia pada metanaratif kritik teks yang sangat mementingkan suntingan naskah dan kritik teks menjadikan para pengkaji filologi terjebak pada dogma-dogma tekstologis (Sudibyo, 2007). Kemunduran yang nyata adanya menjadikan studi ilmu filologi diambang kepunahan. Namun, kemunduran tersebut dapat dicegah, setidaknya lewat beberapa universitas-universitas membuka program studi ilmu filologi, contohnya di Universitas Indonesia.
Filologi UI dan tersedianya laboratorium filologi, merupakan salah satu bentuk dukungan dari Universitas Indonesia dalam kemajuan studi ilmu filologi di Indonesia. Melalui Program studi sastra Indonesia dan sastra Jawa FIB UI, Â para dosen mengajarkan studi ilmu filologi pada mahasiswanya. Memang pada dasarnya ilmu filologi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena aksara dan bahasa yang digunakan merupakan bahasa daerah, menjadikan studi ini sepi peminat bahkan sampai tidak lagi membuka peminatan studi filologi di jenjang S-1 di dalam sastra Indonesia. Walaupun demikian, mahasiswa program S-1 sastra Indonesia tetap mempelajari ilmu filologi selama tiga semester sebagai mata kuliah wajib jurusan, artinya para mahasiswa ini diperkenalkan mengenai keseluruhan ilmu filologi dengan harapan ada beberapa mahasiswa yang tertarik bergelut dengan ilmu filologi.
Karir cemerlang bagi mahasiswa filologi