Mohon tunggu...
Adolf Sinaga
Adolf Sinaga Mohon Tunggu... wiraswasta -

Katanya sih ADHD dan INTP.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Gue Cerdas, Makanya Gue Nontonnya Stand Up Comedy

10 Februari 2012   20:34 Diperbarui: 12 April 2016   17:58 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Kacilik

Tahun 96’, ketika sedang jalan-jalan bersama keluarga menyusuri pantai timur Amerika Serikat mentok di Baltimore, saya dan keluarga menginap di Quality Inn di outskirt-nya D.C.. Kebetulan di hotel tersebut ada kafe yang menyajikan hiburan Stand Up Comedy. Waktu itu saya sama sekali, barbablas, engga mengerti ini orang-orang di panggung ngemeng opo. Toh, para tamu kayak-kayaknya lumayan menikmati. Beberapa tahun kemudian setelah saya SMA baru ngerti dan sedikit nikmatin konsep dan ujud rupa dari Stand Up Comedy, berkat Ray Romano dan Chris Rock.

 

Beberapa minggu yang lalu saya sempat mengunduh video Stand Up Comedy-nya Pandji Pragiwaksono di suatu acara di kafe kemang dari Youtube. Penampilan Pandji dibuka dengan pernyataan bahwa dia sangat senang melihat banyaknya penonton yang mau datang untuk menonton suatu acara komedi yang disebut-sebut hanya bisa dinikmati oleh orang yang cerdas.

Tunggu..tunggu. Hanya bisa dinikmati oleh orang cerdas? Setelah mendengar ini langsung timbul niat untuk mematikan video ini. Karena saya ingat kejadian ketika saya masih SMP di Washington di atas. Boro-boro menikmati, ngerti juga kagak. Dan juga, walau tidak bodoh tapi saya bukan orang cerdas. Namun, mengingat eman-eman benwit yang sudah terguras demi mengunduh video ini, saya tetap meneruskan menonton.

Setelah menonton dari hulu sampai hilir, yang melintas di otak saya kala itu adalah “kayak-kayaknya ga perlu cerdas dan jenius deh untuk ketawa doank,” karena dari awal sampai akhir tidak ada yang tidak saya mengerti akan apa yang disampaikan oleh Pandji. Lebih-lebih, sering sebelum Pandji menyelesaikan leluconnya saya kerap sudah tahu apa yang akan disampaikan, dan tertawa sebelum punch line-nya keluar.

Tapi yang dibilang Pandji itu benar adanya. Bahwa banyak orang diluar sana yang menganggap Stand Up Comedy itu ekslusif milik orang-orang cerdas yang tidak level menonton “lawakan stereofoam”. Anggapan orang-orang ini kalau dari pengalaman pribadi saya anggap ngaco belo.

Sampai beberapa bulan yang lampau saya sering melongo kalau menonton Opera Van Java. Melongo bukan karena kagum tapi karena betul-betul berusaha untuk mengerti esensi dari lawakannya. Iri sekali rasanya kalau mendengar gaung ngakak penonton di studio Trans7, cekikiknya teman kontrakan dan hebohnya rumah seberang. Saya kan juga mau terhibur, mau melepas penat, mau hahahihi layaknya tiada hari esok. Berbarengan ketika kompetisi Stand Up Comedy di Kompas TV dimulai, di saat itu jugalah seingat saya di mana saya bisa betul-betul mulai menikmati OVJ. Proses ini agak panjang, karena saya sudah mencoba (dan akhirnya sempat menyerah) ketika OVJ baru tayang di tv.

Nah loh, salah donk anggapan orang-orang selama ini. Saya yang tidak cerdas ini bisa menelan habis Stand Up Comedy tapi malah terbata-bata untuk menikmati lawakan stereofoam. Padahal sebelumnya ketika SMP saya sempat garuk-garuk kepala ketika menonton Stand Up Comedy secara langsung di negeri asalnya. Malahan ketika itu saya menikmati betul salah satu varian lawak stereofoam (cukup ah dengan istilah ini,kita sebut saja slapstick) yang justru diusung oleh personil juri Stand Up Comedy Kompas TV. Sampai sekarang cukup mengingat judul-judul film seperti Pencet Sana, Pencet sini atau Atas Boleh, Bawah Boleh saja, dapat menarik bagian bibir luar saya ke atas. Ekspresi yang sama ketika mengingat innuendo comedy ala Voltaire ke Gereja Katolik.

Masak untuk tertawa saja harus dikotak-kotakan yang mana cerdas dan yang tidak. Tertawa tidak ada korelasi langsungnya dengan kecerdasan, bahkan dulu ada tetangga saya yang sering tertawa sendiri karena hal-hal yang tidak lucu (usut punya usut sih memang ada kelainan jiwa). Hell, saya saja sebagai generasi Tom & Jerry malah tertawa melihat teman yang belepotan karena jatuh ke got (tragedy orang lain komedi bagi kita). Lagipula sampai sekarang saya belum bisa membedakan yang mana tertawa orang cerdas yang mana tertawanya orang bodoh. Namanya juga komedi, ngga usah terlalu sensitive dan serius-serius amat, dan terutama tidak usah sok cerdas.

Hidup ini juga sudah komedi termasyur dan terlucu dari segala komedi yang pernah ada. Sebuah karya oleh pembanyol abadi terakbar. Dan menurut saya tertawa yang paling puas adalah ketika menertawakan diri sendiri.

 

Catatan tambahan:

 

Mulai bulan Januari ini Stand Up Comedy pun tampil di kota saya, Purwokerto. Setiap Jumat di Cheers Café. Sayangnya di kota yang budaya ngapak-ngapak-nya sangat mendunia ini, Stand Up Comedy tersebut malah disampaikan dengan gaya Jakarta (walaupun gaya Jakarta juga hasil nyontoh). Padahal setau saya dari puluhan tahun lalu Stand Up Comedy ala Banyumasan sudah biasa nongol di tengah-tengah suatu acara hiburan.

 

 

 

edit:

 

ternyata sudah ada tulisan tentang Stand Up Comedy di Purwokerto disini http://hiburan.kompasiana.com/humor/2012/01/13/stand-up-ngapak-ngapak-comedy-di-purwokerto/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun