Mohon tunggu...
Via Mardiana
Via Mardiana Mohon Tunggu... Human Resources - Freelance Writer

Penulis Novel | Freelance Writer | Blogger | Traveller | Instagram : @viamardiana | Twitter: @viamardianaaaaa | Blog pribadi : www.viamardiana.com | Email : engineersukasastra@gmail.com atau mardianavia@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Buah Ransel dari Ibu, Awal Mula Tanda Persetujuan Ibu Terhadap Hobiku Mendaki Gunung

27 Desember 2017   13:07 Diperbarui: 27 Desember 2017   13:48 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu tahun 2011, ketika aku menjadi mahasiswa baru disebuah perguruan tinggi negeri di kota Bogor. Sebuah flyer bergambar seorang pria sedang melakukan pendakian gunung Rinjani di Lombok membuatku memutuskan untuk mendaftar organisasi Mahasiswa Pecinta Alam. Bagiku yang notabene anak rumahan, mendaftar di organisasi yang berhubungan dengan alam liar tampaknya agak meragukan. Tapi saat itu yang ada di dalam pikiranku bagaimana aku mendapatkan hal yang baru yang tidak pernah aku dapat sebelumnya.

            Formulir sudah diberikan ke sekertariat pendaftaran. Aku ingat dalam formulir tersebut ada sebuah pernyataan dimana jika terjadi apa-apa maka hal itu menjadi tanggung jawabku sendiri. Lalu, aku mencoba untuk menelpon Ibuku dengan tujuan untuk meminta izin yang sebenarnya saat itu diizinkan atau tidak aku sudah daftar. Seperti perkiraanku, Ibuku langsung menolaknya, organisasi Mahasiswa Pecinta Alam identik dengan pendakian gunung dan hal-hal ekstrim lainnya. Semakin keras penolakan Ibu terhadap keputusanku, semakin kuat pula tekadku untuk tetap mendaftar.

            Karena sudah mendaftar artinya aku harus memiliki peralatan-peralatan dalam setiap pendakian. Saat itu, aku tidak memiliki banyak uang untuk membeli tas ransel sehingga sering kali aku meminjam ketika akan melakukan pelatihan dasar. Begitu pun juga sepatu gunung yang tentunya berbeda dengan sepatu biasa. Aku pun meminjamnya kepada salah satu temanku.

            Setiap sabtu dan minggu diadakan pelatihan dasar untuk mahasiswa yang mendaftar. Jika tidak di kawasan kampus, maka pelatihan dilakukan di sekitar kaki gunung Salak. Saat itu, aku tidak terlalu bermasalah dengan izin, karena aku bisa mengatakan bahwa aku ada acara pada sabtu minggu dan handphoneku pun masih bisa dihubungi. Namun, diakhir pelatihan selama 3 bulan tersebut aku harus mengikuti pendidikan dasar selama 14 hari di gunung. Aku kebingungan untuk mencari alasan agar mendapat izin. Hingga ide pun muncul bahwa aku tidak mengatakan lokasi pendakiannya di Gunung tetapi di Taman Nasional.

            Pendidikan di gunung Salak pun dimulai, semua handphone dititipkan kepada para senior. Aku pun memberikan nomor telepon salah satu seniorku kepada Ibu. Selama 9 hari aku berada di dalam gunung dengan banyaknya materi yang diberikan, aku merasakan hal berbeda. Rasanya inilah hal baru yang sebenarnya aku idam-idamkan sejak dulu. Sebuah petualangan, kawan baru, lokasi penjelajahan baru dan juga sebuah keluarga baru. Tepat dihari ke 10, aku selesai pendidikan dan turun ke basecamp gunung Salak. Lalu, aku memutuskan untuk langsung menelpon Ibu.

            "Mah, mah, " kataku.

            Belum selesai aku bicara, Ibuku sudah terlebih dahulu menodongku dengan sebuah pertanyaan.

            "Abis naik gunung yah?" tanya Ibu.

            Aku hanya tertawa dan tidak tahu harus berkata apa karena sudah tertangkap basah. Padahal sebenarnya, waktu itu aku yang terlebih dahulu akan berkata jujur. Namanya juga Ibu, aku sama sekali tidak dimarahi.

            "Kamu sehat-sehat kan?" tanya Ibu.

            Semakin kesini aku sadar bahwa kekhawatiran seorang Ibu adalah bentuk kasih sayangnya. Sehingga setiap kali aku akan melakukan pendakian, maka aku akan meminta izin meskipun beliau sama sekali tidak menjawab iya atau tidak. Sebuah kalimat yang membuatku semakin sadar adalah ketika Ibu berkata,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun