Mohon tunggu...
veve
veve Mohon Tunggu... Freelancer - ghfkgfggh

fhdshdjfkghkjhk

Selanjutnya

Tutup

Book

Hidup Inggil yang Anti Sosial dan Hidup Ping yang Susah Dimengerti

4 Desember 2023   09:24 Diperbarui: 7 Desember 2023   10:01 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui novel Rapijali 1, kita bisa melihat bagaimana sang penulis Dee Lestari ingin menyampaikan bahwa pentingnya orang lain dan Tuhan dalam hidup manusia. Novel ini memberikan pernyataan tentang kehidupan seseorang yang selalu menghadapi berbagai kesusahan dan rintangan tetapi ia tidak pernah menyerah karena ia percaya akan rencana Tuhan bagi hidupnya. Melalui novel ini juga, penulis menyampaikan juga bahwa pentingnya juga kita bersosialisasi karena kita tidak bisa melakukan segala sesuatu dengan cara sendirian. Kita bisa melihat hal itu dari penggambaran yang diberikan penulis pada saat Ping yang merasa kehilangan kakeknya dan saat Ping yang berjuang untuk masuk band tetapi ia tidak pernah menyerah. Kita juga bisa melihat saat Inggil tidak mau memiliki teman sebangku karena ia tidak mau di ganggu. Tapi pada akhirnya Inggil mau dan bersosialisasi dengan Ping dan orang lain.

Dari cerita novel ini, kita bisa belajar bahwa Kita sebagai manusia telah diciptakan Allah untuk bersosialisasi dan bekerja sama. Karena kita tidak dapat melakukan segala sesuatu secara sendirian. Selain membutuhkan manusia lain, kita juga membutuhkan Tuhan dalam hidup kita karena Tuhan punya rencana bagi kehidupan kita .Konflik yang terjadi dalam cerita ini seakan mengingatkan kita walaupun sering kali kita menghadapi berbagai kesusahan dan rintangan dalam hidup kita harus ingat bahwa Tuhan selalu bersama kita, pada akhirnya selalu ada hal yang lebih baik yang akan terjadi.

Pada awal bab 11 Inggil menunjukkan dan mengekspresikan keluhannya mengenai murid baru yang duduk di sebelahnya. Inggil sangat bersikeras bahwa sebuah janji sekolah sudah tidak ditepati. Inggil mengeluh pada wali kelas barunya mengenai permintaannya yang selalu dipatuhi oleh guru-guru yang telah mengajarnya. Inggil mengeluh pada Bu Didi bahwa dulu, guru lamanya Pak Musa telah berjanji padanya bahwa Inggil tidak akan diganggu agar dapat memaksimalkan potensinya. "Tidak ada teman sebangku. Itu janji Pak Musa dulu, sejak aku dikelas 11-Ambon," (Lestari, Rapijali, 2021)Inggil tidak akan diganggu dengan teman sebangku. Bacaan ini menunjukkan frustrasinya dengan adanya teman sebangku yang akan mengganggunya, hal ini menunjukkan sifat Inggil yang tidak ingin bersosialisasi.

Inggil merupakan orang yang memiliki sifat penyendiri. Teman pertamanya pun adalah anak baru tersebut yang menjadi teman bangkunya, yaitu Ping. Salah satu contoh antisosial yaitu selalu ingin sendiri (Adinda, 2021). Oleh karena itu, Inggil yang selalu ingin sendiri merupakan salah satu bukti bahwa Inggil adalah orang yang antisosial.

"...'Teman sebangku aku.' Inggil melanjutkan pelan, seperti berat mengakui.  'Kamu... punya teman sebangku?'..." (Lestari, Rapijali, 2021). Dapat dilihat pada Bab 12 yang berjudul teman pertama, Inggil tidak memiliki teman sebangku selama cukup lama, hingga bapaknya Inggil sendiri kaget mendengar bahwa Inggil memiliki teman sebangku. Inggil sendiri merasa berat hati dalam mengakui hal itu kepada bapaknya. Pada hari Ping berkunjung pada rumah Inggil, Ping pun belajar banyak mengenai pribadi Inggil. Ping belajar bahwa mereka memiliki sebuah kegemaran yang sama, yaitu musik. Mereka pun bercerita lebih dalam lagi untuk mengenal satu sama lain. Inggil pun belajar mengenai hidup Ping yang sungguh-sungguh melelahkan hingga Inggil sendiri merasa kepalanya pening. Inggil belajar mengenai bagaimana dan mengapa Ping pindah ke Jakarta dan ke Pradip Bangsa. Ping pun belajar mengenai kebencian Inggil terhadap Pradip Bangsa. Inggil ternyata tidak membenci Pradip Bangsa, namun Ping pun belajar mengenai kesusahan-kesusahan yang telah dihadapi oleh Inggil. Bagaimana bapak Inggil ditipu, dan bagaimana karena seorang satpam dari Pradip Bangsa telah membantunya

melanjutkan sekolahnya.

Kita sendiri dapat melihat bahwa dari kehidupan Inggil, dia telah mengalami banyak hal dan banyak kesusahan. Tetapi kesusahan-kesusahan itu yang membantu dia untuk bertumbuh di Pradip Bangsa.  Terutama dari kehidupan Ping kita pun dapat melihat bahwa walaupun Ping harus melalui semua hal yang mungkin terlihat membingungkan, pada akhirnya Ping dapat lebih berkembang di Jakarta. Mungkin di awal Ping kurang mengenai apa tujuan dia pergi di Jakarta, tujuannya bersekolah di Pradip Bangsa, ataupun tujuannya masuk dan bergabung dalam band sekolah, tetapi pada akhirnya Ping dapat mengalami pengalaman baru dan Ping pun dapat berkembang lewat semua hal itu. Hal-hal ini pun tidak dapat terjadi jika Ping sendiri tidak ke Jakarta atau jika Yuda tetap hidup dan mereka tinggal di Batu Karas.

Hal ini terjadi karena Inggil sejak awal Inggil sudah dijanjikan oleh Pak Musa untuk tidak memiliki teman sebangku.  karena Inggil ingin dia dapat fokus dalam belajar agar dapat mempertahankan nilainya. Sebab dia merasa kalau dia memiliki teman sebangku ia akan di ganggu sehingga tidak bisa fokus. Namun pada akhirnya Inggil dapat menerima bahwa ia memiliki teman sebangku yaitu Ping.

Ping mengalami banyak cobaan, mulai dari dia kehilangan kakeknya yang dari dulu menemani dia sehingga Ping sekarang hidup sebatang kara. "Bagi Ping, perjalanan itu bagai menempuh jarak antara dua planet." (Lestari, Rapijali, 2021).  Namun ia tidak menyerah ia melanjutkan hidupnya di Jakarta. Di Jakarta ia bersekolah di Pradip Bangsa setelah beberapa lama ia bersekolah ia tertarik untuk ikut band yang ada dia sekolah itu. Ia berusaha untuk dapat masuk di band, usaha yang dia lakukan tidak sia-sia dia dapat masuk di band itu.

Oleh sebab itu, suasana yang dialami Inggil ia merasa terkhianat karena mereka telah melanggar janji mereka. namun dengan itu Inggil dapat bersosialisasi dengan teman sebangkunya. Suasana yang di alami oleh Ping ia merasa sangat sedih saat ia kehilangan kakeknya sehingga dia harus hidup sebatang kara. Tetapi Ping juga merasa senang karena ia bisa masuk dalam band Pradip Bangsa.

Kesimpulan yang dapat didapatkan adalah bahwa kita sebagai manusia perlu untuk bersosialisasi. Kita, manusia tidak dapat melakukan segala sesuatu secara sendirian. Kita membutuhkan manusia lain dalam hidup kita, agar dapat membantu dan bekerja sama. Selain membutuhkan manusia, kita pun membutuhkan Tuhan untuk membimbing dan membantu kita dengan hal-hal yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia. Sebagai orang Kristen kita pun harus selalu ingat akan rencana Tuhan untuk hidup kita, bahwa rencana Tuhan selalu bekerja walau kita merasakan hal-hal buruknya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun