Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dikotomi Hisab-Rukyah Hilal Usai Melalui Bukti Astrofotografi

23 Mei 2020   01:55 Diperbarui: 23 Mei 2020   01:54 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot YouTube: Kabul Indrawan

"Hilal telah tampak!", pekikku setelah sekitar 20 menit lamanya memantau hilal. Saat itu (2009) aku menggunakan teleskop di Gedung Shelter Masjid Nurul Huda Parupuk Tabing, Sumatera Barat. Meskipun tupoksiku hanya meliput Rukyatul Hilal dan melakukan reportase untuk disiarkan di channel YouTube Kanwil Kemenag.

Dahulu, aku kecewa karena hampir tiap tahun sering terjadi perbedaan tanggal penentuan 1 Ramadan/1 Syawal. Sampai pernyataan Wapres Yusuf Kalla, era Presiden SBY  mengejutkanku. Menurut JK, umat Islam harus menyetujui satu kriteria untuk menentukan kalender Islam, khususnya untuk penentuan tanggal 1 Syawal (Idulfitri), agar tidak ada lagi perbedaan waktu.

Dahulu perbedaan kriteria tersebut menjadi sumber perdebatan klasik. Tapi perbedaan waktu menurut Yusuf Kalla tersebut lain kasus, karena sudah jadi keniscayaan, tidak bisa ditiadakan  fakta alam secara geografis. Setiap tempat memiliki waktu tersendiri. Misalnya di Indonesia saat ini, bila waktunya malam tapi di Amerika dan di  Arab Saudi  pasti waktunya siang. 

Permasalahannya, dulu di Indonesia bisa terjadi perbedaan 1 Ramadan/1 Syawal dalam kelurahan yang sama di tempat tinggalku, di kota yang sama dan di negara yang sama. Sehingga baru-baru ini aku mempertanyakan soal itu kepada suamiku mengapa hal tersebut bisa terjadi.

"Selain karena ada pemikiran yang beragam, juga karena ada pendikotomian cara menghitung penanggalan", tukasnya.

Dua cara yang dulu didikotomikan oleh para ormas Islam terbesar di Indonesia, yaitu cara Rukyah dan Hisab.

"Mana yang benar menurut mas?", tanyaku.

Menurutnya benar dan salah harus menurut Al-Quran. Kalau menurut selera masing-masing justru disitu masalahnya. Bahkan Hadits pun harus sesuai Al-Quran.

"Pasti menurut Al-Quran, cara Hisab yang benar karena istilah Hisab ada dalam Al-Quran dan cara Rukyah itu kuno. Dengan hisab, gerhana saja dapat diprediksi sampai ke detiknya, iya kan mas?", Tebakku dengan yakin.

Jawabanku menurutnya sekilas terkesan cerdas, tapi gegabah. Karena bukan hanya istilah Hisab saja yang ada dalam Al-Quran. Istilah Rukyah juga ada dalam Al-Quran. Artinya, baik Rukyah maupun Hisab adalah cara yang sah dari Allah dan dipraktikkan oleh Rasulullah.

Persoalannya justru ketika manusia mendikotomikan keduanya dan memilih hanya salah satu saja, kemudian menyalahkan cara lainnya. 

Caranya sederhana ternyata. Pertama dengan cara Rukyah kita pantau, kalau hilal terlihat, berarti 29 hari hisabnya. Kalau tak terlihat, maka hisabnya cukup genapkan 30 hari. Artinya Hisab-Rukyah dipakai baik Hilal telah tampak ataupun belum.

Suamiku juga menyandarkannya pada kitab Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa kewajiban shaum (puasa) Ramadhan harus dilakukan dengan cara melihat hilal (Ru'yatul hilaal); begitu juga halnya Idulfitri, ditentukan dengan melihat hilal (bulan sabit tipis). Bila pada awal atau akhir bulan hilal tertutup awan, maka genapkan bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari.

"Itu kan Hadits yang dijadikan landasan NU, Sedangkan Muhammadiyah menjadikan QS Yunus:5 sebagai landasan. Lebih tinggi Al-Quran dong dari pada Hadits, mas". Pungkasku.

Menariknya, ia tak membantah Al-Quran lebih tinggi dari hadits, tapi ia menegaskan bahwa QS Yunus:5 itu justru sesuai hadits di atas. Bahwa Allah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dapat kita pantau dengan mata kita. 

Bahkan Matahari beredar dan  Bulan bergerak dari satu manzilah (garis dan posisi edar; orbit) ke manzilah lain, dapat kita pantau dengan mata kita. Dua kenyataan alam itu Allah jelaskan untuk kita bisa mengetahui jumlah ('adad) atau perhitungan (hisab) tahun. Tentu saja, kita bisa mengetahui jumlah/perhitungan, karena bantuan penglihatan mata kita.

Muhammadiyah pernah mengklaim bahwa ayat itu satu-satunya dalil bagi penanggalan dengan teknik hisab. Padahal melakukan penghitungan pun tidak bisa dipisahkan dengan penglihatan mata kita . 

Bagaimana mungkin kita bisa menghitung sesuatu yang tidak kita lihat bersama?. Sebaliknya, bagaimana mungkin kita bisa melihat jumlah tanpa metode penghitungan/hisab?. Jadi, Keduanya inheren.

Mengandalkan penglihatan mata saja, tidak bisa. karena bisa saja gelap karena mendung tebal atau karena gerhana Matahari, padahal masih siang. Oleh karena itu tinjuan astronomis (hisab) juga perlu untuk membuktikan bulan berputar mengitari bumi sekali dalam sebulan. 

Surat Al-Anam: 96 juga menegaskan fungsi matahari dan bulan menjadi penanda bagi manusia untuk menentukan waktu dan perhitungan waktu. 

"Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui."

Berdasarkan itu pula, Badan meteotologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bisa memberikan data tanda waktu dalam penentuan awal hijriah, awal bulan Ramadan. Untuk itu BMKG dapat menyampaikan informasi hilal saat matahari terbenam, pada hari Sabtu, 23 Mei 2020. Sebagai penentu awal bulan Syawal 1441.

Seperti yang dikatakan Rasulullah, bila pengamatan (rukyah) gagal, karena bulan tertutup awan, maka genapkanlah jumlah hari (khususnya di sini bulan Sya'ban dan Ramadhan, untuk menentukan tanggal 1 Ramdhan dan 1 Syawal) menjadi 30 hari.

Hal ini mengajarkan kepada kita bahwa tampaknya hilal dengan mata telanjang kita itu mrnggunakan hisab 29 hari. Kalau hilal tidak tampak juga tak masalah. Tinggal genapkan saja jumlah hari menjadi hisab 30 hari. 

"Mengapa Harus Digenapkan Hisab  30 Hari Puasa Ramadannya?", tanyaku

Menurut suamiku karena kita menggunakan penanggalan bulan (lunar calendar). Rasulullah menegaskan jumlah harinya antara 29 dan 30 saja. Semua bulan mempunyai kemungkinan yang sama, yaitu bisa 29 dan bisa 30 hari. Rasulullah, buktinya semasa hidupnya, beliau sempat berpuasa sebanyak 9 kali. Menurut analisis astronomi, yang dilakukan Dr. T. Djamaluddin, ketika itu enam kali Ramadhan jumlah harinya 29, dan tiga kali Ramadhan jumlah harinya 30. (Almanak Alam Islami).

Dulu aku tak tahu fungsi kalender masehi dan kalender hijriah. Dalam kalender Masehi, misalnya, jumlah hari dalam bulan-bulan tertentu itu selalu sama, yaitu 30 dan 31 hari; kecuali bulan Februari, yang kadang 28 hari di tahun-tahun biasa, dan 29 hari di tahun kabisat, yaitu 4 tahun sekali.  Ternyata kalender Masehi berdasar peredaran bumi mengelilingi matahari (solar calendar).

Ternyata  tiada yang lebih unggul antara kalender masehi dan hijriah. Keduanya dimungkinkan dan dibenarkan oleh Allah demi kepentingan tertentu. Kalender matahari, cocok untuk pemastian musim. Dr. T. Djamaluddin, peneliti Bidang Matahari dan Lingkungan Antariksa dari Lapan, Bandung, mengatakan bahwa kegiatan yang berkaitan dengan musim, seperti pertanian, pelayaran, perikanan, dan migrasi, cocoknya menggunakan kalender matahari. 

Tapi, ingat! Kata beliau, kalender matahari tidak bisa menentukan pergantian hari dengan cermat. Padahal, kepastian hari itu diperlukan dalam kegiatan ritual agama. Kepastian itu hanya bisa didapat melalui kalender bulan! (Majalah Percikan Iman no. 3 tahun II, Maret 2001, Dzulhijjah 1421).

Screenshot YouTube: Outer Space
Screenshot YouTube: Outer Space

Artinya, kepastian itu didapat melalui faktor hilal, alias bulan sabit tipis, yang bisa dilihat dari bumi walau dengan mata telanjang. Dan hilal pula yang memastikah jumlah hari dalam sebulan adalah 29 atau 30. Faktor inilah yang membuat teknik hisab ansich menjadi relatif, alias tidak mutlak.

Maksud  hisab ansich itu dalam istilah sekarang adalah perhitungan astronomi, yaitu ilmu tentang benda-benda langit (bintang-bintang, planet-planet, dan sebagainya). 

Kubaca majalah,  Dr. T. Djamaluddin berkata: "Berdasarkan pengalaman ratusan tahun, keteraturan periodisitas fase-fase bulan diketahui dengan baik. Lahirlah ilmu hisab untuk mengetahui posisi bulan dan matahari. Akurasinya terus ditingkatkan, hingga ketepatan sampai detik dapat dicapai. Ketepatan penentuan waktu gerhana matahari, yang hakikatnya ijtimak yang teramati, sampai detik-detiknya merupakan bukti yang tak terbantahkan." (Majalah Percikan Iman).

"Bukankah dahulu juga sudah menggunakan pengamatan dengan mata telanjang yang Allah ciptakan ini?", gumamku.

Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa apa yang disebut teknik hisab itu sebenarnya inheren dengan rukyah. Jadi, boleh dikatakan bahwa hisab bukan pengganti, karena dianggap lebih akurat. 

Kenyataannya, jauh sebelum umat Islam mengenal teknologi canggih, Rasulullah mengajarkan cara sederhana dan praktis itu. Alatnya cuma mata kita dan perhitungan 29 atau 30 itu. Dan bila mata kita terhambat oleh faktor cuaca, kita juga melakukan hisab untuk menggenapkan hitungan hari dari 29 menjadi 30. Baik hitungan 29 atau 30 kan hisab juga namanya. Baik Hilal tampak maupun tak tampak, kan rukyah juga dipakai.

Kembali ke soal hisab ansich yang keliru sebenarnya adalah hisab yang menghasilkan sebuah 'buku' penanggalan alias kalender. Melalui sebuah kalender, kita bisa melihat sejak jauh-jauh hari kapan tanggal 1 Ramadhan atau tanggal 1 Syawal. 

"Tapi, ingat! Catatan pada kalender itu selalu punya dua kemungkinan, yaitu ditetapkan atau digagalkan oleh faktor hilal", tandas suamiku.

Apakah Mata Manusia Tidak Bisa meleset?.

Tentu saja jika itu dilakukan oleh satu atau dua orang. Tapi, dengan bantuan  tim yang terdiri dari para ahli dan amanah, yang diposisikan di berbagai tempat strategis, maka kecermatan rukyah  itu bisa terjamin. Teknologi itu netral.

Jadi, ada dua ayat.  ayat-ayat qauliyyah, alias firman. Itulah ayat-ayat Kitabullah. Kedua, ayat-ayat kauniyyah alias segala sesuatu yang dijadikan Allah. Itulah yang tampak. Ulama sering berkata Allah 'berkomunikasi' kepada kita melalui kedua ayat itu.

Dalam konteks ini, Hilal atau Bulan Sabit adalah salah satu ayat kauniyyah, yang dengannya Allah berpesan kepada kita tentang penentuan bilangan bulan dalam setiap bulan Qamariyah (Hijriyah). Muncul atau tidaknya hilal di depan mata kita, itulah yang memastikan apakah jumlah hari dalam sebulan 29 hari atau 30 hari. 

Maka seharusnya tidak ada peluang untuk perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tidak menutup kemungkinan terjadi karena faktor kebodohan dan atau keangkuhan, yang dilandasi gengsi dan atau kepentingan proyek?.

Beruntung Ramadan/Syawal sejak 2014 tidak terjadi lagi perbedaan. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, telah 'islah' menggunakan teknik pembuktian Astrofotografi. Yaitu sebuah jenis khusus dari fotografi yang memerlukan gambar pencatatan objek astronomi dan daerah besar di langit malam. Tentu saja Astrofotografi itu sebagai alat bantu optik memerlukan penglihatan dan perhitungan.

Polemik dikotomi Hisab-Rukyah telah usai, setelah Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah menghadiri Workshop Festival Astrofotografi di Jatim Expo (JX) Surabaya, Sabtu (26/4/2014).  Begitulah Allah membuktikan fiksi Kebenaran Ramadan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun