Lalu kuinventarisir semua masalah yang menimpaku sebagai Pranata Humas. Kupetakan dan kurangkai satu persatu sampai jelas akar masalahnya. Tentu berkat bantuan berbagai referensi yang kubaca, benang kusut itu terurai. Ternyata bukan hanya aku saja yang merasakan nasib sepertiku, setelah beberapa teman pelaku Humas curhat kepadaku.
Dengan diagnosis jitu kutulis dalam bukuku, aku mulai merasakan kelegaan. Nafasku plong. Irama jantungku teratur. Mataku berbinar-binar. Senyumku juga mengembang. Beban itu lepas terbang. Ternyata masalahnya tidak seruwet yang kubayangkan, jika sudah dipetakan. Ya, masalahnya selama ini aku tidak menuangkan beban pikiran itu ke dalam sebuah tulisan secara rutin. Inilah caraku menyirami rohani sebenarnya.
Sebaliknya, selama ini kubiarkan saja prasangka itu menimbun, membusuk, berulat hingga meracuniku. Tanpa dialektika, timbunan masalah di hatiku bercampur aduk dengan agenda-agenda baru setiap harinya. Hingga beban pikiran itu mengganggu konsentrasiku. Tidak jelas lagi mana perasaan dan mana fakta serta mana dalil-dalil aksioma yang sah dan meyakinkanku. Aku. Ya, aku terombang-ambing.
Beruntung aku masih ingat dalil: "Sesungguhnya yang menyertai kesulitan itu adalah kemudahan". Nah, buku "Revolusi Humas" buah karyaku, adalah kemudahan bagiku saat kesulitan hebat kurasakan. Kesulitan dalam berhubungan dengan pendengki, penghasut dan pecundang adalah paling berat bagiku dibandingkan regulasi yang belum sempurna. Mungkin itulah kenapa Allah tetapkan surat An-Naas sebagai surat terakhir dalam kitabNya. Ternyata aku pun harus meminta perlindungan Allah dari kejahatan provokasi ke dada manusia.
Bagaimana tidak, bukuku itu terinspirasi dari ayat-ayat Al-Quran disertai oleh referensi pakar Humas dan Sejarah dunia. Menariknya lagi, di buku itu kutuliskan bahwa Humas tidak sesempit yang dipikirkan orang seumumnya.Â
Karena setiap orang butuh dan bisa menjadi Humas bagi keyakinannya tanpa harus menggadaikan nuraninya. Tapi tidak setiap orang sungguh-sungguh mau menjadi Humas (Public Relation) sejati.
Menurutku, setiap muslim harus mampu menjadi Humas yang tangguh. Maka setiap muslim harus mampu menjadi Humas yang relijius  tapi juga humanis. Bahkan harus berani mengatakan yang benar itu adalah benar walau jiwa dan raga jadi taruhannya. Diintimidasi atau dizalimi itu adalah harganya.
Maka buku itu bukan sekadar layak dibaca tapi wajib. Mengapa?. Karena kita tidak tahu apa saja anomali-anomali praktisi humas selama ini, bila kita tidak menyimak ayat-ayat-Nya. Tujuan buku in juga agar dunia Humas tidak dipandang sebelah mata, maka butuh Revolusi Humas secara damai dan mencerahkan.
Harapanku, buku ini bisa dijadikan dasar merevolusi Humas, khususnya bagi praktisi Humas Muslim yang ingin berkiprah menjadikan humas kompeten, berbudaya dan beradab.Â
Hanya dengan demikian bisa diharapkan praktisi Humas bisa dipandang dan dihargai sebagai rohnya sebuah lembaga maupun perusahaan. Hanya dengan  itu pula, humas bisa bangkit dan berjaya mencapai tujuan-tujuan hakiki-Nya. Hasanah di dunia (masa kini) mengakibatkan hasanah di akhirat (masa depan).
Buku ini juga bukan sekadar buku Humas biasa. Karena didalamnya mengandung seni dakwah yang notabene sebagai siraman rohani. Menariknya, setiap kata demi kata mengacu pada acuan yang sudah standard tapi dari berbagai angel. Bahkan setiap opini demi opini juga mengacu pada rujukan standar dari berbagai sudut. Kita bisa membedakan dan memilih mana yang objektif dan mana yang sekadar subjektif.