masjid terasa begitu mati. Tak lagi ada suara riuh anak anak di masjid, ceramah agama para ustad. Walau suara kumandang adzan masih terdengar.
Virus corona (Covid-19) yang telah merangsek ke berbagai belahan bumi. Menjadikan aktivitas terbatas. Setiap sudutApapun nama dari kebijakan itu, inti utamanya harus tercapainya social distancing dan adanya isolasi kesehatan (hajar shahhy). Sehingga penyakit bisa dilokalisir dan dihambat penyebarannya.
Tak kenal usia, latar belakang, dan status sosial, bahkan agama menjadikan covid-19 musuh bersama. Semua berada dalam risiko yang sama. Ada yang  was was, takut bahkan stres kehilangan arah karena kondisi ekonomi yang semakin morat-marit.Â
Bahkan baru baru ini dalam sebuah berita online. Langsung viral kisah seorang ibu muda yang memilih bunuh diri karena sudah tak tahan menyaksikan kedua anaknya kelaparan.
Faktanya, tak hanya menyusup rongga tubuh orang yang sudah positif. Covid-19 juga mengintimidasi psikologi dengan menempatkan manusia seolah di dalam kandang. Pemandangan yang terasa kian asing ini, belakangan masif menjejali beranda media sosial.Â
Sepatutnya kita bertanya, terlebih di bulan seribu ampunan, dosa apakah yang tak terampunkan?. Kenapa menjadi kehilangan eksistensi. Mulai dari sekolah, pengajian, rapat perkantoran, pertandingan olahraga, konser musik, seminar, pelatihan, bahkan agenda suci peribadatan pun terkena imbasnya. Semua sektor terdampak. Segala aktivitas yang mengundang kerumunan manusia ditiadakan.
Yang rutin shalat berjamaah, resah karena corona menggerus kesyahduan beribadah mereka. Sungguh beruntung mereka yang disesak rindu untuk berjamaah. Paling tidak, sudah tercatat pahala apa-apa yang telah dirutinkannya.
Mereka yang belum terbiasa berjamaah juga bersedih, betapa selama ini kelalaian begitu congkak merajai jiwa. Â Fenomena ini sepatutnya menjadi pengingat bahwa ada lautan nikmat ilahi yang belum terjamahi.
Sedih boleh, namun jangan sampai menguasai logika. Supaya logika sehat kita tetap berjalan normal. Tidak terkecoh oleh permainan hawa nafsu. Sehingga memilih ngeyel melawan imbauan pemerintah, untuk ngotot berjemaah diluar rumah.
Dan aku membekam kerinduan untuk salat berjamaah dan iktikaf di dua masjid yang tiap tahun rutin kudatangi di kota ini.
Masih basah diingatan, pengalaman pertama tarawih di dua masjid itu sungguh mengesankan. Sejak  pertama kali aku menginjakkan kaki di tanah melayu ini pada tahun 2014. Hal pertama yang membuatku berdecak kagum adalah  melihat dua masjid cantik dan megah itu di Kota Pekanbaru.