Mohon tunggu...
Vethria Rahmi
Vethria Rahmi Mohon Tunggu... Penulis - Pranata Humas Ahli Muda Kanwil Kemenag Riau

Thalabul Ilmi yang tak berhenti belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Redupnya Budaya Euforia, Munajat Ramadan 2020 Bersinar

27 April 2020   23:02 Diperbarui: 27 April 2020   23:30 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Budaya euforia untuk Ramadan tahun 2020/1441 tidak seperti biasanya. Dahulu euforia Ramadan terpancar dalam penyambutan bulan Ramadan. Melalui tradisi di berbagai daerah. Misalnya, tradisi dugderan di Semarang, tradisi megibung di Bali, tradisi jalur pacu di Riau, tradisi balimau di Sumbar, dan sebagainya. Tapi euforia penyambutan Ramadan itu kini redup. 

Ramadan di tahun-tahun lalu, biasanya euforia pelaksanaan kaifiyat shalat Isya, Tarawih dan Witir berjamaah di masjid, selalu dibanjiri jemaah. Tapi kini, saat umumnya masjid ditutup, suasananya seperti mati suri. Hanya segelintir masjid saja yang nekat mengadakan shalat berjemaah. Sungguh tak terlihat lagi di sekitar tempat tinggalku, ceramah Ramadan di masjid, tadarus di masjid, berbagi takjil berbuka puasa di masjid. Covid-19 ternyata mampu merubah euforia itu secara drastis. Aku jadi semakin melek informasi dan berbagi karya tulis seraya bermunajat.

Melek Informasi|dokpri
Melek Informasi|dokpri

Dari sudut pandang mata lebah yang berusaha mencari nectar di setiap bunga-bunga indah, kucontoh. Dari  mata lalat yang selalu mencari sisi kotoran, kuhindari. Pasti ada harapan baik dibalik penyebaran Covid-19 yang dianggap sebagai musuh bersama. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa. Walaupun Kementerian Agama pun terpaksa mengeluarkan surat edaran terkait Panduan Ibadah Ramadan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 H. 

"Kak, soal mati itu kan sudah ditetapkan oleh Allah ajalnya, untuk apa kita takut mati sehingga harus menutup masjid?" ungkap Toni. Seorang mekanik dengan raut polos dengan nada kecewa. Kebetulan ia sedang melakukan servis berkala pada sepeda motorku. Pertanyaannya merangsangku menjawab lewat tulisan ini.

Rupanya ada saja yang belum menyadari perlunya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 dengan meningkatkan social distancing dan PSBB secara konsisten. Panduan Ibadah dan Idul Fitri 2020 perlu disosialisasikan.

Hikmah adanya polemik penutupan masjid di Ramadan kali ini sebagai salah satu contoh, bahwa harapan pribadi manusia bersifat relatif. Harapan pribadi itu bisa benar, tapi juga bisa keliru. Adapun subjektifisme manusia bersifat belum menentu. Apalagi diciptakan preferensi manusia secara berbeda-beda. Hal itu dizinkan, tapi Allah tidak rida harapan pribadi manusia menjadi dasar hidup untuk manusia. Karena sesungguhnya harapan pribadi itu dalam Al-Qur'an, notabenenya sebagai nafsun yang harus manusia itu kendalikan. 

Agar harapan pribadi bisa menentu dasarnya menjadi nafsul Muthmainnah, manusia membutuhkan harapan dari Allah (Al-Qur'an), khususnya saat Ramadan. Al-Quran itu harapan dari Rab (shalawatun min rabbihim). Maka siapa tidak tahu (isi) Al-Qur'an, niscaya tiada Iman (QS 42:52). Tiada Iman berarti tiada harapan.

Terlebih-lebih dalam QS 2:183, jelas dinyatakan. Berbicara bulan Ramadan adalah berbicara bulan turunnya Al-Qur'an. Bisa berarti Ramadan sebagai bulan pembinaan atas harapan Allah. Harapan Allah dalam konteks internalisasi nilai-nilai Al-Qur'an. Diharapkan (cita mulia) turun dari lauhul mahfudz ke dalam dada orang beriman. Lalu mengalir dalam tindakan akurat. Itulah kenapa kita perlu tadarus tidak sekadar belajar melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an. Tapi memikirkan, menyimak, mentadabur hikmah dibalik ayat-ayat Allah. Sebagaimana pernah dilakukan Nabi

dokpri
dokpri
Nabi pernah mencari hikmah  secara intensif di dalam goa Hira saja saat krisis moral mewabah. Harapanku, kini di rumah saja kufungsikan bagai goa Hira dalam rangka internalisasi nilai-nilai Al-Qur'an saat Ramadan dan berbagi informasi melalui Samber 2020 Hari 1. Semoga kita bertransformasi dari kepompong menjadi kupu-kupu.

Hanya pada dada orang yang teramat merindukan dan bermunajat kebenaran Allah, Al-Qur'an dapat menjadi hidayah dan bermanfaat. Semoga Hari esok lebih baik dari hari ini. Munajat bisa dilakukan dimana saja, tergantung kondisi. Bahkan tidak harus secara fisik konvensional. Menggunakan media cyber space  dan cybernetics sebagai alternatif pun sah saja, asal isi Al-Qur'an bisa menjadi isi hati kaum beriman.

Mudah-mudahan kita terhindar dari sifat khilafiyah yang suka mempersoalkan hal-hal teknis, kaifiyat atau ritual/simbolik ibadah semata. Seperti, yang mengharuskan Shalat di dalam bangunan masjid, tadarus seolah harus di dalam bangunan masjid, mendengar tausyiah seolah harus di dalam bangunan masjid, berbuka puasa seolah harus di dalam bangunan masjid dan sebagainya. Bukankah Islam itu pada dasarnya sangat menawarkan alternatif teknis?. Tiada memaksakan satu pola bagi yang tak sependapat. Pelaksanaan syariat Islam dalam ruang dan waktu harus kondisional, Selama tidak menyalahi Al-Qur'an.

Dalam Al-Qur'an, hakekatnya masjid itu bukan mengacu pada ritual di dalam bangunan fisik. tapi mengacu pada ruang dan waktu sujud dalam setiap sisi suprastrukstur kesadaran di muka bumi ini. Itulah kenapa secara harfiah, masjidun artinya waktu/tempat sujud. Sedangkan secara semantik, bermakna ruang dan waktu untuk tunduk patuh.

Melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi segala larangan Allah, tidak perlu didangkalkan hanya di dalam bangunan masjid, bukan?. Bisa saja di seluruh permukaan bumi Allah ini, asal tidak di kuburan dan kamar mandi. Sebagaimana dinukil dari hadits: "Seluruh permukaan bumi ini adalah masjid, kecuali kuburan dan kamar mandi" (dari Abu Sa'id Al-Khudriy, r.a).

Dengan demikian, meskipun infrastruktur masjid ditutup di seluruh dunia saat ini, hal itu tidak perlu dipersoalkan, khususnya saat wabah Corona merebak. Karena sejatinya untuk bersujud, untuk tunduk patuh menurut aturan Allah, justru hakekatnya di bumi Allah ini lebih luas dari pada di dalam bangunan masjid. 

Jadi, harapanku sederhana. Aku tidak berharap ujian Allah dihilangkan. Aku hanya ingin diberi kekuatan argumentatif. Agar kita, umat Islam bisa teguh bertahan menyikapi ujian di bulan Ramadan. Aku meyakini bersama kesulitan adalah kemudahan. Dalam kondisi sesulit ini, justru menjadi kesempatan muhasabah diri atas perintah Allah yang terlupakan dan larangan Allah yang sengaja dilanggar. Sebagai insan, kita termasuk yang lupa dirikah?. Itulah kenapa diperintah-Nya saling mengingatkan, saling menasehati berdasarkan Al-Haqq(u). Itulah syarat mutlak memenangkan ujian ini, berdasarkan surat Al-'Ashr. 

Mari kita mengisi hari-hari Ramadan dengan berbagi informasi menarik dan inspiratif. Misalnya seperti event yang diadakan kompasiana setiap Ramadan, dapat dicontoh dan didukung sebagai wadah menebar kebaikan lewat tulisan. Karena selalu menghadirkan microsite THR (Tebar Hikmah Ramadan). Melalui program Samber THR (Satu Ramadan Bercerita) di kompasiana, sontak saja aku merasa terpanggil. Apalagi ini sudah santapanku sebagai Pranata Humas Kanwil Kementerian Agama Riau.

Melalui tulisan ini, aku bersimpati pada saudara-saudaraku yang sedang kalut dan mulai terguncang ekonominya atau stabilitas sistem keuangannya. Yakinlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Konsisten dan teguh bertahan dalam situasi dan kondisi genting bagaimanapun. Tetaplah berpegang teguh pada dinullah dalam berkreasi. Jangan putus asa. Jangan memecah-belah aturan Allah yang sudah terbangun secara utuh. Terpecah-belahnya aturan Islam dalam tradisi kita, dapat menyebabkan umat jadi terbecah belah.

Saat sulit beginilah Al-Qur'an benar-benar bernilai menerangkan menurut petunjuk tersebut lagi berfungsi sebagai pembanding (QS 2:185). Mana yang Allah ridai dan mana yang Allah murkai. Yang Allah ridai tentu mereka yang menjadikan aturan-Nya sebagai poros kehidupan dan mempersatudamaikan umat, sebagaimana hakekat surat Al-Ikhlash.

Meskipun demikian, Allah paling toleran dengan segala aturannya. Buktinya ia selalu mengizinkan harapan pribadi manusia yang bersifat utopis, mitos dan dogmatis. Sekalipun itu bisa menyesatkan manusia. 

Apa yang ia izinkan dan apa yang ia ridai, adalah dua hal yang berbeda. Misalnya, mulai dari harapan pribadi Nabi Adam yang diizinkan saat menyalahgunakan larangan Allah (Syazaratu Az-Zaqum). Meskipun akhirnya ia sesali dan bertaubat menuju rida Allah. Selain itu, harapan Iblis meminta izin Allah untuk menipudaya manusia pun Allah kabulkan selamanya. Bahkan Firaun, juga berharap menjadi tuhan tertinggi, diizinkan berkuasa di zamannya walau akhirnya dibinabasakan karena keangkuhannya sudah melalmpaui batas. Tidak itu saja, Namrud untuk menguasai dunia atau globalisasi, lagi-lagi Allah izinkan pada waktu itu bersikap kejam dan otoriter, sampai di ujung sakratul mautnya ia dibiarkan diserang ribuan sejenis nyamuk. Begitu juga pasukan gajah Abrahah yang ingin menghancurkan kakbah pun jadi berantakan, setelah Allah utus sejenis burung Ababil.

Terlepas apakah Covid-19 ini by design atau by accident?. Tidak salah kita pikirkan setiap hakekat peristiwa berdasarkan Al-Qur'an. Agar memperoleh penilaian yang jitu. Dari penilaian yang jitu, lahir keputusan yang jitu. Yang pasti, tidak ada yang Allah ciptakan berdasarkan kebatilan. Faktanya kerusakan di darat dan di laut bahkan di udara memang benar merupakan akibat dari ulah manusia itu sendiri. Sehingga manusia itu sendiri yang menanggung akibat perbuatannya. Termasuk menimpa kita yang membiarkan geladak kapal hidup ini dirusak?.

Tiada peristiwa yang luput dari sorotan (petunjuk) Allah dalam Al-Qur'an. Bahkan sehelai daun yang jatuh saja, atas ketentuan Ilmu Allah (Al-An'aam: 59). Apalagi jatuhnya ratusan ribu korban nyawa di seluruh dunia akibat Covid-19. Tak terkecuali penyebab kematian terbesar di dunia setiap harinya yang disebabkan penyakit kardiovaskular dan diabetes. Begitulah  hakekat Allah biarkan ujian seleksi alamiah berlangsung. Dengan depopulasi global, Allah mengujicoba siapakah gerangan diantara manusia yang menjadikan tindakan jitu sebagai tujuan (QS 67:2).    


Tindakan Jitu di Bulan Ramadan 2020

dokpri
dokpri
Ramadan sebagai syahr Al-Qur'an (bulan turunnya Al-Qur'an), maka tindakan jitunya yaitu internalisasi spirit Al-Qur'an digalakkan dengan mempelajari kosa kata al-Qur'an dan variasi bentuk kata dan akar katanya serta maknanya. Inilah hakekat lailatul Al-Qur'an atau lailatul Qadr. Ya Al-Quran itu sebagai al-Qadr. Dalam arti Al-Quran itu sebagai satu kadar (ketentuan) atau rancangan nilai-nilai hidup yang telah ditentukan Allah untuk manusia. 

Apa ketentuannya?. Siapa yang benar-benar bersyukur dan bersabar pasti akan memenangkan perjuangan melawan nafsu selama Ramadan. Sebaliknya siapa yang mengingkari dan gegabah dalam hidup pasti akan celaka. Begitulah hukum kausalitas pasti dari (kadar) Allah.

Kemudian bisa dilanjutkan memahami konteks dibalik teks Al-Qur'an. Melalui penelusuran data sejarah yang valid sesuai Al-Qur'an bisa diharapkan kita menemukan benang merah prinsip perulangan sejarah. Jangan mengikuti sesuatu tanpa ilmu (Al-Qur'an). Karena tindakan asal mengikuti itu akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36)

Dengan ilmu yang sah dan meyakinkan, berharap  Shiyam Ramadan sebagai latihan ketabahan Iman. Latihan menahan lapar dan haus serta emosi. Evaluasi apakah dengan latihan Shiyam itu, Iman kita masih membara dan sabar untuk berjuang hadapi setiap hambatan?. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun