Mohon tunggu...
Vesta Permata Sari
Vesta Permata Sari Mohon Tunggu... -

Hanya seorang mahasiswa UI, yang belajar mandiri. Ingin menjadi seorang pakar psikologi. dengan berkarya aku bisa mewujudkan hobi menulisku

Selanjutnya

Tutup

Drama

Tanda Tanya (?)

11 September 2012   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:36 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam 08.46 aku menginjakkan kaki di gedung tempat Mr. Lim berkantor. Di depan lift, Andrew, yang kemudian kuketahui sebagai salah seorang staf Mr. Lim, sudah menungguku untuk diantar ke ruang rapat. Sesampai di ruang rapat yang berkarpet motif kembang berwarna dominan coklat itu, ketemui beberapa orang staf jajaran di bawah Mr. Lim. Mr. Lim sendiri belum menampakkan batang hidungnya. Setelah saling berkenalan, kubuka tasku untuk mengambil flash disc yang berisi materi presentasiku. Aku termasuk orang yang malas membawa-bawa lap top, apalagi bepergian keluar negeri. Bagiku waktu yang ada mendingan untuk membaca atau mengamati apa saja dari pada sibuk dengan alat yang hampir tidak bisa lepas menggelayutiku tiap hari. Rasanya seperti terlepas dari beban menggendong bayi, bepergian tanpa benda itu. Kurogoh saku tas sebelah luar, kuaduk-aduk isinya. Tak kutemukan perangkat keras kecil itu. Kurogoh saku bagian dalam tas. Tak ada juga. Sekali lagi kusingkap-singkap seisi tas, dan kutemukan flash disc tapi yang berkapasitas 128 MB, yang berisi file-file pribadi yang tak ada hubungannya dengan kantor, bukan yang 256 MB yang sedang aku cari. Kuraba-raba seluruh kantong baju dan celanaku. Nihil juga. Aku agak panik, bukan lantaran flash disc itu berisi file-file yang menurut versi kawan-kawan di kantor tergolong confidential, terlebih lantaran aku harus menggunakannya untuk presentasi sekarang juga. Bagiku file-file itu sama sekali bukan rahasia. File itu berisi profil airlines yang akan kami gaet. Kalau pun ada yang mendekati rahasia, itu adalah cost structure, yang berisi poin-poin mengenai pelayanan apa saja yang akan kita jual beserta perincian harganya. Aku masih berani mengatakan ini bukan rahasia karena bisa dipelajari di buku, ada kursusnya. Ini masih umum, belum spesifik untuk airlines tertentu dengan harga yang sudah fix. Terus terang aku bertambah gugup apa lagi kulihat Mr. Lim, Direktur Pemasaran Airport Services Singapura, perusahaan yang memiliki hampir separuh saham di perusahaanku, terlihat sudah datang dan sedang menghampiriku. Berulang kali aku menyalahkan diri sendiri. Benda itu pasti tertinggal di hotel. Tadi pagi benda itu baru saja kukeluarkan dari safety box dan kutaruh di atas meja dekat teve dan dekat voucher sarapan. Voucher kubawa, benda itu kutinggalkan. Dengan segala rasa gusar yang susah kuampuni, aku memohon kepada semua yang hadir untuk merelakan aku barang sejenak mengakses internet dan berkomunikasi dengan stafku di kantor untuk segera mencari file-file di komputerku dan mengirimkannya melalui e-mail. Kecanggihan teknologi memang dapat mempermudah urusan. Yang belum kudapatkan apakah teknologi sanggup menentramkan hati yang gundah, seperti misalnya dapat mengurangi barang sedikit stressku menunggu e-mail stafku itu? Materi presentasi memang sudah kudapatkan, namun mood telah tergores dan masih membekas. Di depan semua yang hadir, aku langsung memulai tanpa basa-basi meminta ma'af atas kebodohanku yang tentunya sudah mereka ketahui semua. * * * Sore hari aku kembali ke kamar hotel. Aku tak sabar untuk menemukan benda sial itu. Rasanya ingin kubanting saja. Pintu kubuka. Lampu kunyalakan. Benda itu aku cari-cari. Di atas meja, di laci, di safety box, di almari, di koper. Tidak ada juga. Apakah benda itu sebenarnya kubawa ke kantor Mr. Lim tadi pagi, lantas tertinggal di sana? Duh bagaimana ini? Apa aku sudah pikun? Aku segera ingat gadis misterius itu -atau sebenarnya sedari kemarin kelebat gadis itu terus menggelayut di benak ini?-. Rasanya hanya dia yang tadi pagi masuk ke kamar ini, kecuali room boy tentunya. Kegusaranku, sekali lagi bukan lantaran benda itu penuh kerahasiaan, hanya terasa aneh saja. Pikunkah aku? Ada jinkah di sini? Sambil berkacau-kacau ria aku buka bajuku sambil melihat keluar dinding kaca yang gordennya masih lebar terbuka. Kulihat gedung-gedung menjulang di kejauhan. Ada hotel, flat, Mal Rafless City, jembatan penyeberangan, mobil-mobil yang tampak kecil seperti mainan keponakanku. Dari yang jauh mataku kusurutkan ke pemandangan yang lebih dekat hingga beberapa puluh meter dariku : kolam renang. Ini memang gayaku. Kalau sedang menganalisa masalah kecenderungan clients yang terus meminta potongan harga, aku juga memulai dengan gambaran umum dulu sebelum kasus-kasus yang lebih spesifik. Yah, ini hanya sekedar gaya saja : ada yang suka deduktif ada yang suka induktif. Melihat pemandangan kolam renang itu, jantungku kembali ingin terloncat untuk kedua kalinya dalam hari ini. Gadis mulus itu sedang asyik berjemur dengan handuk ditutupkan di atas kedua matanya. Seakan dia mempersilakan setiap orang untuk menelusuri tiap lekuk tubuhnya, tanpa malu-malu. Toh dia tidak tahu siapa saja yang melototinya. Aku bertanya-tanya, apakah pekerjaan yang akan dilamarnya itu bernama renang. Tadi pagi renang, sekarang renang, mungkin nanti malam, besok dan seterusnya. Ketika dia bangkit dan kuduga sedang berkemas menuju kamar, aku bersiap-siap untuk keluar kamar juga. Aku berusaha agar tidak terkesan ada kesengajaan. Aku harus beracting bagaimana? Kurasa yang paling pas beracting sebagai orang yang sedang panik mencari sesuatu -dan memang sedang demikian bukan?- Pintu kubuka. Mondar mandir sejenak. Sebentar-sebentar kuraba kantong baju dan celana. Gadis mulus yang rambutnya masih agak basah itu datang dengan pakaian seperti tadi pagi : jas handuk. Seperti ikan yang sedang menyambar umpan pancingan, dia segera bertanya, "Rupanya Anda sedang mencari sesuatu?" "E...e... iya. Aku sedang mencari memory stick. Tadi pagi tertinggal, tapi sekarang kok nggak ada." "Jatuh di jalan barang kali. Sorry, aku jadi nggak enak nich. Soalnya kan tadi pagi aku masuk ke kamar Anda." "Aku tidak menuduhmu demikian," kataku sambil menahan pandangan ke tubuhnya, yang sebenarnya aku sudah tahu apa warna pakaiannya. "Terimakasih. Apa yang bisa aku bantu? Orang yang sedang panik biasanya tidak fokus. Pernah melihat tukang kayu yang mondar-mandir mencari pensil yang sebenarnya terselip di atas telinganya? Semakin panik, semakin tidak fokuslah seseorang," tiba-tiba gadis itu menceramahiku. Aku termakan omongannya. Apakah benda itu menempel di tubuhku, seperti biasanya yang selalu kukalungkan di leherku? Rasanya tidak. "Maksudku, bolehkah aku membantu mencarikannya?" "Mencarikannya? Di mana?" "Boleh aku masuk?" Ini permintaan kedua kalinya dalam satu hari ini saja. "Ya, ya. Kau masih ingat kan peraturannya?" "Kalau kau masuk, aku keluar. Kalau kau sudah keluar, aku masuk." "Persis." Tapi kini aku yang ragu dan ingin melanggar peraturan itu. Kalau kubiarkan dia masuk sendiri, adakah jaminan tidak ada barang lain yang akan menghilang? Atau ada keinginan terselubung aku ingin mendekatinya? "Kalau Anda ragu, kita cari bersama saja," katanya seakan tahu isi tempurung kepalaku saja. "Boleh, tapi biarkan pintu ini tetap terbuka." "Ha ha ternyata Anda orang yang sopan. Aku semakin aman di dekat Anda," celotehnya. Kusadari ternyata pandai juga gadis mulus ini. Kami akhirnya masuk kamar bersama. Dia mencari benda itu. Aku juga mencarinya. "Anda mencari di dalam tas dan almari. Aku mencari yang di luar saja," katanya mantap. Lho, kok jadi dia yang mengaturku? Lima menit kemudian, dia berteriak mengagetkanku, "Yes! Aku dapatkan benda yang kau cari. Tertindih tempat sampah di bawah meja." Aku hampir tak percaya, tapi itu kenyataannya. Beberapa saat kemudian, gadis itu keluar. Aku berterima kasih kepadanya. Aku relakan dia keluar tanpa kutanyakan apa-apa lebih jauh mengenai keberadaannya dan kebetulan-kebetulan yang terjadi selama dua hari ini. Ketika aku sedang menimang-nimang benda sial yang baru kutemukan itu, yang hendak kusimpan bersama flash disk pribadiku, aku baru sadar kalau benda pribadi yang tadi terbawa ke kantor dan barusan kuletakkan di atas meja, kini raib. Bersamaan dengan itu, suara ponsel mengalunkan lagu pertanda ada pesan singkat yang masuk. Itu bukan nada ponselku. Benar, itu ponsel gadis misterius yang tertinggal di atas tempat tidur. Kulihat dan kuraih benda itu. Hah! Aku terbelalak. Tertulis di sana nama Johnny Hady. Kubuka pesan itu. "Informasi yang kau kirim belum lengkap. Coba cari file lainnya." Johnny Hady adalah bekas kawan sekantorku yang dipecat Perusahaan karena membuat anggaran jamuan Golf untuk para clients secara fiktif. Dana yang diterimanya tiga ratus juta, padahal dia dan tamu-tamunya hanya mabuk semalam suntuk dan main perempuan, yang menghabiskan tidak lebih dari dua puluh lima juta. Kini dia bergabung dengan perusahaan kompetitor. Belum sempat aku memikirkan langkah apa yang akan aku ambil, kudengar suara bel pintu berdenting. Itu pasti bukan room boy, karena di pegangan pintu telah kupasang "Don't Disturb". "Ilustrasi Sumber"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun