Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Man Dolah

16 Desember 2024   07:37 Diperbarui: 16 Desember 2024   07:37 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Wa Ka, lan kaya mengkunu
Naumus ubati, utawi turu ing dalem wayah isuk
Yamna`ur rizqa, iku bisa nyegah ing rizki
Wa karatun naumi, lan utawi ngakehake ing turu
Traul fiqra, iku bisa ngewarisi kemelaratan
Wa faqrul `ilmi, lan fakir ilmu"


"Anak-anak, di sini Syekh Zarnuji mengingatkan kita bahwa tidur setelah subuh dapat mencegah rejeki. Kebanyakan tidur juga menyebabkan melarat dan membuat orang jadi fakir ilmu maka sudah benar kalian ngaji di sini ini. Hei Munif, kamu kok tidur saja. Memangnya kamu mau jadi melarat?"
"Mboten, kiai."
 "Ayo sana ambil wudu!"
"Nggih, kiai."
"Walah dalah, itu ilermu nif?!"
Tawa pun pecah melihat Munif yang gelagapan mengusap iler yang berjatuhan.
Pengajian Kitab Ta`lim oleh Kiai Badar bakda subuh dihadiri banyak anak muda Desa Ngasor. Kami sengaja tidur di langgar malam hari agar dapat mengikuti pengajian di pagi hari. Tradisi ini berlaku setiap Sabtu malam Minggu atas perintah orang tua kami masing-masing. Ngasor tak memiliki keistimewaan apapun selain pengajian Kiai Badar. Dapat dibilang, Kiai Badar lah satu-satunya guru agama di desa kami. Tak hanya guru agama, beliau sekaligus merangkap dokter, orang pintar, konsultan bisnis, dan banyak profesi lain yang bisa dipakai sesuai kebutuhan orang desa. Itulah mengapa kiai sangat berarti di sini.


Aku dan Mas Mansyur duduk di saf paling depan. Mendengarkan pengajian Kiai Badar adalah kesukaan kami selain main blanggur, yaitu mercon besar yang suaranya menggelegar di sawah. Terdengar di seluruh penjuru desa dan dipakai sebagai tanda waktu magrib tiba. Kiai Badar selalu menyelipkan humor di sela pengajiannya sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak desa. Bahkan yang kami cari sebetulnya adalah guyonannya itu. Pernah suatu saat, kiai mengatakan bahwa nasib kaya atau miskin dapat dilihat dari garis telapak tangan. Kalau garisnya lurus berarti dia kaya, kalau garisnya putus maka sebaliknya. Garis itu diibaratkan sebagai jalur kuda yang membawa emas. Menjulur dari urat nadi menuju pangkal jari. Ada yang garisnya nyambung sehingga kuda mereka bisa sampai dan emas mereka aman, karena itulah mereka kaya. Sedangkan yang putus di tengah, maka kuda tak bisa melanjutkan perjalanan. Akhirnya kuda itu berhenti dan berak di situ.
"Kalau tidak percaya, coba kalian cium." kata Pak Kiai.
Anak-anak tanpa sadar mau-mau saja mencium telapak tangannya. Kiai pun mentertawakan mereka.


Seusai ngaji, Aku, Munif dan Mas Mansyur jalan kaki ke ujung lor desa dengan kondisi tanah yang berlempung dan sedikit berkerikil. Di pinggir sawah, kami menikmati pemandangan berupa kawanan pipit yang saling berkejaran, pengantin baru yang memanjakan buah hati di pematang, dan padi yang bergoyang-goyang, serta siluet fajar yang berpendar.  Kami ditemani gaplek bikinan Mak Painah dan kopi hitam sedikit gula, serta yang tanpa gula untuk Mas Mansyur. Di depan warung, tepat di bawah pohon kersen, kami bertiga duduk di atas lincak menyaksikan bapak-ibu petani berlalu-lalang. Termasuk di antara mereka, ada Kiai Badar. Sawah di desa kami sangat luas. Hampir separuh desa adalah persawahan. Gunung Penanggungan tampak gagah dan jelas, karena udara di sini begitu asri. Semakin kami berjalan ke ujung lor, maka akan sampai di tempat peninggalan belanda berupa rel kereta yang sudah hancur. Letaknya sangat jauh dari sini, tetapi masa kecil kami sangat diwarani dengan petualangan menuju kesana, karena ada buah yang tak ada di desa, yaitu ciplukan, kesemek, dan jamblang. Setiap pulang dari sana, kami memetik banyak buah untuk dibagikan kepada sanak famili di rumah.
 "Aku penasaran dengan orang yang duduk di teras tadi."
"Siapa Mas?" tanyaku.
"Jadi, setiap pengajian Kiai Badar, ada lelaki tua gondrong berambut putih duduk di teras langgar mengawasi. Aku curiga dia intel yang memata-matai Kiai Badar. Kalian tahu kan kalau sekarang ini intel-intel suka membubarkan pengajian di beberapa tempat. Mereka khawatir kalau kiai melakukan propaganda yang berseberangan dengan pemerintah kepada masyarakat lewat pengajiannya."
"Kalau begitu kita sikat saja orang itu."
"Huss ngawur kamu. Kalaupun itu intel, tidak mungkin kita berbuat demikian. Bisa-bisa kita dipenjara. Memangnya ada, intel yang rambutnya putih? Apalagi kakek-kakek? Lagipula orang itu adalah Man Dolah, rumahnya di ujung kulon desa dekat kuburan. Kerjanya menggembala kambing. Siapa tahu dia datang ke langgar memang untuk mendengarkan pengajian." jawab Munif.
"Kalau begitu untuk pengajian selanjutnya, kita ajak saja Man Dolah masuk ke dalam. Siapa tahu dia sungkan, karena tua sendiri." ajakku.


Matahari mulai meninggi satu tombak. Orang jawa menyebutnya sak pengawe. Tanda sudah dibolehkannya menunaikan salat dhuha. Kami pun beranjak pulang.


Pengajian berikutnya digelar. Aku, Munif dan Mas Mansyur berganti duduk di saf paling belakang, agar nanti ketika Man Dolah datang, kami bisa mengajaknya masuk ke dalam. Selain itu, alasan yang lebih naif adalah agar Munif ketika tidur, tidak ketahuan kiai. Tak lama kemudian, terdengar suara jagang sepeda menancap ke tanah. Lamat-lamat suara bakiyak berjalan mendekati langgar. Itu pasti Man Dolah. Kami pun siap-siap. Namun, orang itu tak mau diajak masuk ke dalam. Ia lebih memilih bersandar di tembok sambil merokok. Setelah pengajian selesai, kami adukan kepada kiai.
"Sudah tak apa. Lain kali, kalau ketemu kalian sungkem dan minta doa." kata kiai.
Seperti minggu kemarin, kami bertiga langsung menuju warung Mak Painah. Saat kami sedang asyik membincangkan Man Dolah, perempuan paruh baya itu menyela.
"Man Dolah yang kalian omongkan itu, keturunan Kiai Sarman pembabat desa ini. Tidak banyak orang tahu kalau dia pernah mondok di Tulungagung. Seharusnya dia mengajarkan ilmu agamanya di desa, tapi entah kenapa lebih memilih jadi penggembala kambing."
"Apa mungkin dia temannya Kiai Badar? setahuku kiai mondoknya juga di Tulungagung." jawab Munif.
Sangat tak diduga, suara jagang sepeda tiba-tiba menancap lagi di tanah. Orang yang kami bicarakan telah datang di depan mata. Bercelana hitam dan berkaos putih, serta arit yang terikat di jok belakang ontel.
"Loh Man, baru saja sampeyan dirasani anak-anak tadi. Tumben kok kesini. Silakan mau minum apa? Sudah tak usahlah bayar. Buat sampeyan gratis." jawaban Mak Painah membuat kami kesal.
"Saya pesan teh hangat saja."
"Sampeyan mau kemana toh Man?."
"Mau cari rumput, Mak."
"Man, besok kalau datang ke pengajian, sampeyan langsung masuk saja, tak usah sungkan-sungkan. Kata anak ini (sambil menunjuk ke arah kami) sampeyan selalu duduk di teras langgar, tak mau masuk." perempuan tua ini semakin membuat kami kesal.
"Wah tidak bisa, saya minggu depan mau jalan-jalan. Mau ketemu orang penting."
"Kemana Man?"
"Tempatnya jauh, tapi pemandangannya indah, banyak sungai mengalir. Ada yang mau ikut?"
"Tidak, Man." jawab kami semua.
Man Dolah kemudian mengambil rokok dari saku celana dan duduk di atas lincak sendirian. Sedangkan kami di dalam. Sekian menit kemudian, ia beranjak masuk ke dalam dan membayar minum. Namun, Mak Painah menolaknya. Ia pun mengalah dan berjalan keluar. Saat duduk di atas sadel dan kaki siap menginjak pedal, Mas Mansyur mengingatkan.
"Ayo minta doa." kami pun segera keluar.
"Kenapa minta doa kepada saya, aneh-aneh saja kalian." jawabnya sambil tertawa.
"Ya sudah, tak doakan kalian semua hidupnya diridai Gusti Allah. Tak usah salaman. Ini aku titip uang, kasihkan ke Mak Painah ya, buat bayar teh hangat tadi." uang itu terbungkus kantong hitam, sehingga kami tak tahu nominalnya berapa, tapi rasanya lebih.
"Loh ini uangnya kelebihan toh!" bentak Mak Painah kepada kami.
***
Pagi ini suasana langgar lebih dingin daripada minggu kemarin. Setelah wiridan, kiai memulai pengajian. Dibukanya Kitab Ta'lim yang sudah siap di atas dampar yang usianya sama sejak didirikannya Langgar Sarman . Tak lupa kiai memakai kacamata dan dibukalah kitab itu.
"Bismillhi..."
Belum sempat kiai menyelesaikan basmalah, air mata sudah membasahi wajahnya.
"Inn Lillhi Wa Inn Ilaihi Rji'n, telah meninggal dunia, Bapak Abdullah warga Dusun Ngasor Rt. 29 Rw. 03 dikarenakan sakit dan akan dimakamkan di pemakaman sebelah barat." kabar duka menggema di desa.
Pengajian pun dihentikan. Kami semua diajak takziah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun