Mohon tunggu...
Abdi Galih Firmansyah
Abdi Galih Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang

Menebar benih kebaikan, menyemai bunga peradaban, panen kebahagiaan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Syubhah Wal Musyabbahah

3 Oktober 2022   13:48 Diperbarui: 3 Oktober 2022   13:50 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tentang apa yang kutulis, apapun itu aku berharap suatu kedamaian menyertai kita semua. Bermacam kata pun akan sirna mencari pemaknaan di atas kepala, Batu yang keras mengguncangkan air surga yang mengalir wanginya, aroma nya di setiap sore dan malam. Rasa itu pun sering datang dikala hujan turun. Aku bersama diriku yang lain menganggap kesemuanya itu hanyalah butiran pasir yang berhamburan dalam lingkaran keabadian. 

Sungguh mencelakakan orang orang yang membawa batu dalam ketekunan yang berlebihan. Bahkan, hari hari pun menjadi gelisah, orang lain menjadi curiga, beragam naluri kebencian ditularkan, hingga satu teman merasa tertusuk oleh belati dalam waktu yang berminggu-minggu berganti bulan ke bulan.

Aku memanjatkan do'a kepada sang agung dari hasudnya orang yang hasud. Mimpi mimpi berdatangan dari arah mata angin dan air. Semburan api memang tak lama, tapi menyesalkan jiwa hingga menularkan dosa. Ya Tuhan, salatku, hidup dan matiku, ku persembahkan untukmu, ku serahkan semuanya. Aku pasrah yaa Allaah. Manusia ini manusia itu tetaplah manusia, kebencian ini kebencian itu tetaplah kebencian. 

Warna pelangi sudah tak seindah masa kecilku dulu. Burung camar tak lagi kulihat putihnya. Sawahku yang segar menjelang pagi, canda tawa temanku dan lemparan bletho'an, aku merindukan semuanya: orang orang desa yang sederhana dalam ilmu dan akhlak meninggi derajatnya di atas langit dan mengagetkan manusia manusia yang lain.


Tak bisa lagi aku melanggengkan seraut senyum. Ketika kejatuhan orang orang dekat menyiratkan pasir tepat di pelupuk mataku. Membuat orang orang dalam diriku marah tak tau arah. Orang orang suci yang berdiam dalam masjid dalam hadirnya hati dan khusyu'nya jiwa dalam balutan fisik yang syar'i menemukan ketenangan di atas rerimbunan pohon melihat banyak fenomena. 

Mereka melihat perkelahian antar teman sejawat dan mereka pun tersenyum, mereka melihat mahasiswa yang memutari kampus jatuh dalam kepayahan dan terus memutari lagi hingga payah yang amat dan begitupun seterusnya, mereka menangis. Aku pun teringat orang itu, antara diriku yang lain ataukah dia. Hal itu tidaklah wajar bagi manusia modern era ini. 

Orang orang suci tak pernah berhenti lantunan wirid dan qur'an dalam bibirnya hingga merasuk di qalbu dan memancarlah cahaya tuhan di sekujur tubuh mereka. Merinding rasanya... aku harap setiap muslim merasakan kenikmatan itu walau sejenak saja.


Kemarin aku mendengar berita duka dari temanku, seorang pustaka jalanan. Ia mendeklarasikan kegagalan dalam pekat malam, aku pun mendengarnya:


Ekonomi jatuh, fisik kurus serta pernikahan yang tertunda. Maafkan aku ibu, belum bisa menjadi seperti yang kau mau

Iba, empati, simpati, tolong menolong, kontribusi, kedamaian, kecerahan, kesabaran, kejujuran. Dan lambaikan tanganmu, mari merangkul untuk mengabdi dan mengabadi

Malang, 02-10-2022


Biarkan kata kata keluar mencari makna nya sendiri
Biarkan makna keluar dan kata kata itu pun datang



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun