Mohon tunggu...
verza
verza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa Universitas Nasional yang baru ingin meranjak ke semester5

Selanjutnya

Tutup

Politik

Peran ASEAN Dalam Menangani Konflik Etnis Rohingnya di Myanmar

1 Agustus 2023   15:41 Diperbarui: 1 Agustus 2023   15:54 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rohingya adalah salah satu dari banyak etnis minoritas di Myanmar. Rohingya, yang berjumlah sekitar satu juta jiwa di Myanmar pada awal 2017, merupakan salah satu dari sekian banyak etnis minoritas di negara tersebut. Muslim Rohingya mewakili persentase terbesar Muslim di Myanmar, dengan mayoritas tinggal di negara bagian Rakhine. 

Mereka memiliki bahasa dan budaya sendiri dan mengatakan bahwa mereka adalah keturunan pedagang Arab dan kelompok lain yang telah berada di wilayah tersebut secara turun-temurun. Tetapi pemerintah Myanmar, sebuah negara mayoritas Buddha, menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan bahkan mengecualikan mereka dari sensus tahun 2014, menolak untuk mengakui mereka sebagai manusia. Etnis Myanmar kemudian terbelah menjadi mayoritas dan minoritas, salah satu etnis minoritasnya yaitu Rohingya. Etnis tersebut sangat kurang mendapat perhatian dan perlindungan dari negara (Myanmar) bahkan bisa dikatakan etnis Rohingnya ini tersisihkan yang menjadinya terjadinya diskriminasi disana. 

Resepsi dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya, yang didalamnya terdapat penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan. Etnis Rohingya juga menjadi sasaran kerja paksa, ditahan tanpa pengadilan, dan diserang secara fisik. Mereka menggambarkan insiden di mana tentara secara sistematis membunuh dan memperkosa penduduk desa sebelum membakar rumah mereka. Secara keseluruhan, pasukan keamanan membunuh ribuan orang dan membakar hampir 400 desa.

Awal mula konflik ini yaitu sejak pemerintahan Junta Militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1962 dan di sini lah dimulainya diskriminasi etnis minoritas. sejak jenderal Ne Win menjadi presiden, pemerintahan Myanmar berubah menjadi otoriter. Etnis Rohingya pada saat itu dijadikan ancaman lalu dilancarkan lah operasi khusus untuk mengontrol etnis Rohingya pada tahun 1978 (Triono, 2014: 2) hal ini membuat etnis Rohingya berpindah ke Bangladesh. Adanya kebijakan Burmanisasi pada tahun 1982 atau yang disebut Burma Citizenship Law membuat keberadaan etnis rohingya di Myanmar semakin terancam yaitu Rohingya tidak mendapat hak kewarganegaraan, hak atas tanah, pekerjaan dan Pendidikan yang layak, akses mereka untuk mencari pekerjaan dan mencari tempat tinggal pun dibatasi dan harus melakukan "penyogokan" terhadap pemerintah. (Mitzy, 2014: 154)

Masa pemerintahan Ne Win pun terus berlanjut sampai akhirnya tahun 2012 diskriminasi yang terjadi semakin parah, pemberitaan media internasional mulai membuka fakta-fakta terjadinya konflik yang ada di Rohingya. maka dari itu ASEAN pun akhirnya melirik kasus ini, karena Myanmar merupakan bagian dari ASEAN. ASEAN turut ikut membantu dalam menangani kasus ini, beberapa bantuan diberikan, tetapi ASEAN memakai prinsip non-intervensi yang membuat ASEAN tidak bisa berkontribusi banyak terhadap kasus ini.

Perekonomian Myanmar mengalami resesi sejak kudeta militer yang gagal pada Februari 2021 Kudeta yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Min Aung Hlaing memicu konflik yang meluas, kerusuhan, dan kecaman internasional. Salah satu masalah terbesar dalam perekonomian Myanmar adalah devaluasi mata uang kyat. Kyat kehilangan sekitar setengah dari nilainya. 

Devaluasi ini akan mendorong inflasi menjadi 16% pada tahun 2022, membuat warga lebih mahal untuk membeli barang dan jasa. Akibatnya, daya beli berkurang secara signifikan dan banyak warga yang kesulitan untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok sekalipun. Program Pangan Dunia memperkirahkan bahwa 14,4 juta orang, lebih dari 25 persen populasi, rawan pangan. Sejak kudeta, banyak profesional muda dan pekerja terampil yang tersisa telah ditangkap dan dibunuh. Ini telah menciptakan kekurangan pekerja terampil di Myanmar, yang semakin menghambat pertumbuhan ekonomi.

ASEAN telah membahas krisis tersebut di berbagai forum sejak Agustus 2017, tetapi sebagian besar mengabaikan ancaman pemerintah Myanmar terhadap 600.000 Rohingya yang tersisa di Negara Bagian Rakhine. Ia juga gagal mendukung upaya untuk menyelidiki kejahatan kekejaman militer dan menuntut pertanggungjawaban. ASEAN seharusnya dapat berperan aktif dalam penyelesaian konflik tersebut sehingga tercapainya kedamaian. Namun hingga saat ini peran ASEAN dalam menanggapi isu diskriminasi etnis Rohingya di Myanmar masih lah sangat masif. Hal ini dipengaruhi oleh prinsip yang dianutnya sebagai organisasi internasional yang tidak akan mengintervensi negara anggotanya (Non-intervensi). 

Dalam perspektif non-intervensi sendiri menyatakan bahwasanya sesama negara berdaulat untuk tidak saling mengintervensi satu sama lain. Hal ini telah menjadi code of conduct dalam hubungan antar negara sejak perjanjian Westphalia. Kedaulatan dan independensi adalah batasan bagi bangsa lain untuk tidak ikut campur terhadap urusan domestik negara lain.  Oleh karena itu ASEAN yang terpaku dalam prinsip Non-Intervensi nya, menyebabkan masih belum adanya tindakan tegas yang ditujukan kepada Myanmar mengenai isi diskriminasi etnis Rohingya oleh ASEAN sebagai organisasi internasional di wilayah Asia Tenggara.

ASEAN telah mengembangkan modus operandi yang dikenal dengan ASEAN Way. Prinsip non-interferensi adalah salah satu prinsip yang dianut Dalam menghadapi konflik ASEAN, termasuk konflik etnis Rohingya-pemerintah Myanmar. 

Peran ASEAN pada dasarnya terbatas pada fungsi penasehat Non-interference mewajibkan ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri dialami oleh negara. Namun sebagai organisasi internasional, upaya ASEAN mencakup peran resolusi konflik dan beberapa kepala negara ASEAN sepakat untuk mendorong penyelesaian konflik dan diakhirinya konflik antara etnis Buddha dan Muslim (Triono, 2014:9-10).41 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun