Proses pembelian bisa dilakukan secara online, namun pengirimannya dilakukan secara offline. Model lain dari produk dan layanan e-commerce yang ditransformasikan menjadi format digital (digital), umumnya berupa artikel, buku, lagu dan sebagainya dan dikirimkan ke perusahaan lain atau pengguna akhir. Model ini lebih sulit untuk refabrikasi dari mana ia pergi dan dimana disampaikan. Artinya, dibutuhkan cara untuk membangun lebih dari sekedar cara konvensional yang ada. Akibatnya, produk dan layanan yang didigitalisasi tidak hanya rawan penggelapan, tapi juga sulit menerapkan pajak apapun.
Dalam Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang PPh, dijelaskan mengenai pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang salah satunya mencakup adanya keberadaan fisik tempat usaha berupa tanah, gedung, peralatan, mesin, dan komputer, agen elektronik, atau peralatan yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik.Â
Dari definisi BUT di UU PPh tersebut, perusahaan e-commerce di luar Indonesia sulit untuk dikategorikan sebagai BUT, kecuali ada server yang terletak di Indonesia. Pasalnya, beberapa perusahaan e-commerce beserta seluruh asetnya tidak terletak di Indonesia dan tidak melaksanakan kegiatan yang secara fisik di Indonesia. Padahal bisa saja pendiri dan pemegang saham perusahaan e-commerce tersebut adalah orang Indonesia, dan notabene target konsumennya adalah orang Indonesia sendiri (Budilaksono, 2011).
Permasalahan lainnya yang muncul saat ini adalah Pemerintah belum maksimal memecahkan masalah anonimitas data pelaku e-commerce. Beberapa permasalahan yang dihadapi seperti sulitnya mengetahui pemilik sebenarnya dari situs e-commerce, sulitnya mengetahui lokasi sebenarnya dari pelaku yang banyak menggunakan domain dot com, mudahnya membuka dan menutup usaha melalui e-commerce, pelaku e-commerce di luar negeri yang tidak diwajibkan membuka kantor cabang atau perwakilan di Indonesia, keterbatasan dalam mendeteksi data transaksi e-commerce, mudahnya pelaku e-commerce menghapus informasi ataupun memberikan informasi yang dapat terjadi kesalahan dalam bertransaksi, metode pembayaran yang sebagian dilakukan secara tunai (cash on delivery), dan melalui banyak payment gateway yang berbeda-beda (Aprilia, 2014). Beberapa hal ini tentunya dapat menyebabkan sulit mengetahui nilai transaksi yang sebenarnya.
Beberapa negara telah memiliki regulasi perpajakan yang tegas terkait dengan transaksi e-commerce. Uni Eropa, misalnya, mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas setiap produk yang dapat diunduh, yang dikirimkan ke bisnis atau institusi pengguna akhir. Pengenaan pajak, di satu sisi, hal itu bisa berakibat melorotnya daya saing produk atau jasa serupa kepada pesaing luar negeri.Â
India dan Filipina tampaknya telah secara serius mempertimbangkan kebijakan pajak e-commerce di masa depan. India adalah salah satu kandidat raksasa teknologi informasi (TI) produk dan layanan yang mengekspor banyak e-commerce. Sebagian besar produk dan layanan seperti itu selama ini tidak dikenai pajak, sehingga negara rugi dalam hal penerimaan. Jika itu terjadi terus menerus, jelas negara akan kehilangan potensi pendapatan yang sangat signifikan di masa depan (Cockfield, 2006)
Banyak upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas pengawasan transaksi e-commerce seperti memberikan sistem administrasi pajak yang sederhana dan efisien, perluasan definisi BUT dalam peraturan perpajakan domestik dan internasional, melakukan kerjasama dengan institusi keuangan, meningkatkan sumber daya petugas DJP dan melakukan pengawasan terhadap perusahaan ISP di Indonesia. Pemerintah juga dapat mencontoh langkah-langkah negara lain dalam menangani kasus perpajakan e-commerce ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H