Mohon tunggu...
Evi Ertiana
Evi Ertiana Mohon Tunggu... -

Pemimpi yang mengharapkan hadirnya 'Sunshine' di hidupnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secangkir Perubahan

29 Juni 2016   04:36 Diperbarui: 29 Juni 2016   04:46 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Jadi itu yang membuatmu enam tahun lupa pulang. Apa kamu sudah punya banyak karyawan? Jadi hari ini kamu bisa pulang ke rumah?”

“Tidak, Hera sengaja untuk pulang saja.”

“Ayah kira kamu sudah lupa rumah ini. Jaga baik-baik kedai kopimu itu, ayah tidak mau modal besar itu terbuang sia-sia. Lihat ayahmu sudah tidak kerja lagi, jangan pernah main-main dalam berusaha, Hera. Kamu harus tahu partner kerja kamu gimana, jangan mudah percaya dengan orang lain. Bahkan orang yang kamu kenal baik itu belum tentu baik. Minum dulu kopinya, walaupun kopinya tidak seenak kopi di kedaimu tapi minumlah.”

            Aku menyruput kopi buatan ayah, meskipun hanya kopi hitam berteman gula tapi ini jauh lebih nikmat dari Tanzania Peaberry Coffe, kopi terenak di dunia yang dijanjikan olehnya. Ayah meninggalkanku di meja makan sendiri karena harus mengantarkan cucunya sekolah. Aku duduk termangu dengan secangkir kopi yang tinggal tersisa ampasnya. Ku aduk-aduk ampas kopi hitam itu, sambil ku resapi kata-kata Ayah. ‘Bahkan orang yang kamu kenal baik itu belum tentu baik.’  Kejadian beberapa tahun lalu tergambar jelas di pikiranku, semuanya indah tapi sekarang aku hanya seperti endapan kopi yang tak pernah disentuh. Buat apa lima tahun lebih itu kita lalui bersama dengan janji manis di setiap seduan kopi yang menghangatkan suasana kalau pada akhirnya, aku harus duduk di bangku tamu menyaksikan kau tersenyum bahagia dengan wanita lain. Mungkin aku bisa lupa denganmu tapi aku tak bisa lupa dengan satu hal yang kau bilang kekuatan hidupmu. Kopi, bukan sekadar rasa manis pahitnya yang ku ingat bahkan teori-teori sulit yang dulu kau ajarkan sekarang dengan mudahnya ku mengingat, wajahmu dan kenangan kita yang ingin ku hapus justru selalu mengalir bersama aroma kopi dan setiap ku mendengar kata kopi. Bagaimana aku bisa menghapuskannya? Sedangkan kopi seperti sudah menjadi bagian dari hidupku.

            “Hera kamu kenapa?” pertanyaan Ibu mengejutkanku.

Ku hapus air mataku, “Tidak apa, Hera nggak nyangka aja bisa kembali ke rumah ini lagi. Semuanya sudah beda ya bu? Ibu pasti tidak pernah kesepian di rumah ini.”

“Rumah ini memang tidak pernah sepi, tapi setiap hari Ibu selalu merasa ada yang kurang. Kamu mau lama kan di sini?” aku tak tahu harus menjawab apa.

“Jangan kira ayahmu tidak merindukanmu, bahkan dia yang paling cerewet tanya tentang kamu sama Danu. Tinggallah disini sampai lebaran. Kalau kau mau, Ibu punya calon buat kamu, jangan pikirkan dia lagi, dia sudah melukai hati Ibu dan anak Ibu. Lupakan dia.”

Aku ternganga mendengarnya. “Kakakmu sudah cerita semuanya. Tapi Ayahmu tidak akan pernah tahu kalau bukan kamu yang kasih tahu.”

            Setelah meyakinkan dan menenangkan hatiku, Ibu meninggalkanku sendirian. Aku kembali teringat dengan Kak Danu, Kakak pertamaku. Di kota metropolitan itu hanya dia saudaraku, semenjak aku kecewa dengan keputusan Ayah yang tidak mengizinkan kuliah aku menutup diri dengan orangtuaku dan saudaraku sendiri. Aku tidak tahu jika Kak Danu selalu memberitahu kabarku pada Ibu. Yang aku tahu hanya sebatas modal usahaku yang berujung kekecewaan itu setengahnya dari Ayah. Ku kira mereka tidak peduli lagi denganku tapi aku salah. Ternyata kepedulian orang luar itu tidak sebanding dengan kepedulian keluarga.

            Namanya Ammar, sudah lima tahun dia menjadi kekasihku dan orang yang peduli dengan hidupku. Aku yakin dia pilihan terakhirku, kita memiliki mimpi yang sama. Berawal dari kebiasaan minum kopi, kita ingin membuka kedai kopi. Tentu modal besar diperlukan, demi kopi, demi belahan jiwaku dan demi hidupku. Ku percayakan semuanya pada dia. Tapi beberapa bulan dari target, kedai kopi itu tidak ada. Ammar menghilang bersama uang jutaan rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun