Gadis berlesung pipi, begitu ingatanku. Untuk pertama kalinya dia tersenyum kepadaku di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat kerjaku. Awalnya senyum manisnya biasa saja untuk diri ini yang dikata mereka berhati batu. Tapi sepertinya, ada sebuah pesan yang ingin tuhan sampaikan kepadaku. Karena aku kembali dipertemukan dengan dia. Hari itu, aku buru-buru berkemas setelah selesai numpang wifi untuk nggame. Begitu beranjak, mataku terpesona dengan aura gadis berkerudung merah muda yang berjalan ke arahku. Dia tersenyum dan kembali ku temukan lesung pipinya, hatiku berderu seperti teralun nyanyian jatuh cinta untuk pemiliknya. Hatiku tak begitu yakin ketika ku tahu dia mahasiswa terbaik di universitas ternama dan orang tuanya adalah pengusaha sukses. Seperti bumi dan langit, aku tidak ingin menghancurkan keadaan.
“Apa hati ini tidak terlalu tinggi untuk bermimpi memilikinya? Kenapa pula aku harus jatuh cinta kepadanya?”
Jika ku ingat kembali, aku yang dulu memang tidak memiliki keyakinan sedikitpun untuk mengenalnya. Tapi tuhan memiliki banyak cara untuk menghadirkan cinta. Rasanya masih seperti mimpi saja, kita jadian setelah satu minggu ku sapa dia di toko buku sebelah tempat kerjaku. Dia anugerah terindah yang pernah ku miliki, mendengarnya juga menyukaiku sejak pertama bertemu itu sungguh menguatkan kepercayaan hati ini kepadanya bahwa dialah yang terbaik untukku. Kata teman-temanku, dia jelmaan bidadari surga dan aku rasa memang benar seperti itu.
“Kenapa ko ngalamun? Hari ini banyak orderan, kamu cape?” ucap dia membuyarkan lamunanku. Dia selalu peduli denganku padahal aku sendiri tidak begitu peduli dengan diriku ini.
“Tidak, aku hanya tak habis fikir kalau aku bisa memilikimu meskipun belum seutuhnya” aku tertawa kecil untuk menghindari dia marah, tapi dia hanya tersenyum.
“Ini tahun ketiga untuk kita, maaf aku belum bisa memberikan apa-apa mungkin kamu bosan dengan waktuku yang penuh dengan jadwal kerja...” dia segera memotong ucapanku.
“Kapan aku bilang bosan sama kamu, nggak kan? Kita bisa ketemu di hari minggu seperti ini saja itu sudah jauh lebih cukup. Jangan mikir yang nggak-nggak, aku itu sayang kamu karna allah jadi jangan sampai pada akhirnya aku harus membencimu dengan sikapmu yang selalu merendahkan diri seperti ini,”
Selama tiga tahun berpacaran dengan dia, diri ini belum pernah bertemu dengan orang tuanya. Rasanya seperti lelaki tak bermental saja jika harus bersembunyi terus menerus. Tapi setiap kali aku berniat datang ke rumahnya dia selalu mempunyai alasan untuk menggagalkan niatku. Kali ini aku rasa aku harus bisa melawan dia, apapun alasannya aku tak mau mendengarnya. Dia langsung pamit pulang, ketika aku memaksanya untuk mengizinkan aku menemui kedua orang tuanya. Aku hanya memandang kepergiannya, ini pertama kalinya dia meninggalkanku seperti ini. Apa keinginanku bertemu dengan orang tuanya itu salah?
Nyatanya cukup sulit, meyakinkan dirinya. Dua hari dia menghilang dan pagi ini dia minta maaf kepadaku. Kita kembali seperti biasa, akupun kembali merasa ada yang kurang. Disela jam istirahat, ku lihat catatan panggilan hanya ada nama dia dan mamaku. Dua wanita yang ku cintai. Aku harus berbuat apa, ketika dua wanita itu meminta hal yang berlawanan. Mama memintaku segera menikah sedangkan Vania kekasih hatiku selama tiga tahun tidak pernah menunjukan kata iya untuk mengiringi kehendak mamaku. Aku masih ingat jawaban yang keluar dari mulutnya ketika satu tahun lalu, ku ajak dia ke rumah.
“Vania masih ingin fokus belajar tante...” tapi ketika ditanya harus menunggu berapa tahun dia hanya tersenyum.
“Bro, kamu harus tegas dong. Mau sampai kapan pacaran terus, Oki aja udah mau punya anak. Kamu masih pacaran kaya anak SMA” itu ledekan teman-teman yang terus mengusik jiwaku.