Mohon tunggu...
Verry Aria Firmansyah
Verry Aria Firmansyah Mohon Tunggu... Peternak - Owner & Director di Kencana Farm, Kencana Aqiqah, Kencana Quail Farm, Dunia Domba Indonesia

Seorang insan yang awal lulus kuliah Sarjana ingin turut serta mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ayah 3 orang putra dan 2 orang puteri. Alumni Planologi ITB. Menyenangi dunia usaha, ternak domba, kambing, kelinci, marmut, puyuh dan lele, hobi diskusi dan aktivitas pemberdayaan. Usaha kecil-kecilan, peternakan domba, kambing, puyuh, ayam dan mengelola beberapa unit usaha wakaf produktif. http://puyuh-bogor.blogspot.co.id/ https://www.linkedin.com/in/verry-aria-firmansyah-0379a236/ https://www.kencanaaqiqah.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Mengevaluasi Karyawan Merupakan Ghibah?

23 Juni 2015   09:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka.” [18]

Dan Allah Subhana wa Ta’ala berfirman.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan.” [An-Nisaa :135]

Dan dusta adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.

“Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus.”

Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta’ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, “Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya),” karena “Al-Akh” tersebut sebagai mu’min, dan “Al-Akh” yang mu’min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia.” (Wallahul Musta’an.)________Foot Note[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526[2]. Ibid, no. 1539[3]. Ibid, no. 1541[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36[7]. Ibid, Juz 3, hal.46[8] “Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama’Al-Islami” hal.58[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358[10]. Majmu’Fatawa juz 28 hal.225[11]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah.”[12]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab Al-I’tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati.”[13]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5).”[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229[15]. H.R.Muslim[16]. Pentakhrij Majmu’atul Fatawa berkata, “H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was Shilah (2564/33-34) dan H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143).”[17]. Dari ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi cambuk bagi kita semua selaku penuntut ilmu untuk serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat menimbang dan menilai ijtihad-ijtihad para ulama dalam masalah tertentu yang seringkali mereka berbeda pendapat di dalamnya, lalu kita berusaha mentarjihnya berdasarkan ilmu yang benar bukan berdasarkan hawa nafsu. Di antara buku-buku yang dinasehatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah kepada para penuntut ilmu untuk mempelajarinya berkenaan dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah bagi dien yang mulia ini adalah :1. I’lamul Muwaqi’in oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah2. Irsyadul fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah3. Tahshilul ma’mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah(Nasehat mengenai masalah ini dapat didengar dari kaset beliau yang berjudul “Tidak Berta’ashub”)[18]. H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu’atul Fatawa, juz 14 hal. 399)_______________________[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya’ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]__________________________Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan di dalam kitab Tafsir beliau, “Ghibah itu haram berdasarkan kesepakatan (kaum muslimin). Dan tidak dikecualikan darinya satu bentuk ghibah pun kecuali apabila terdapat maslahat yang lebih dominan sebagaimana dalam konteks jarh dan ta’dil (celaan dan pujian yang ditujukan kepada periwayat hadits dan semacamnya -pent) serta demi memberikan nasihat. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang lelaki bejat yang meminta izin untuk bertemu dengan beliau. Beliau bersabda, “Ijinkan dia masuk. Dia adalah sejelek-jelek kerabat bagi saudara-saudaranya.” Dan juga sebagaimana perkataan beliau kepada Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm melamar dirinya. Rasul bersabda, “Adapun Mu’awiyah, maka dia seorang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dan demikianlah dibolehkan pula (ghibah) untuk kepentingan yang serupa dengan itu. Kemudian selain untuk keperluan semacam itu maka hukumnya adalah sangat diharamkan.” (Nashihati lin Nisaa’, hal. 27-28)———–Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kejelekan Muawiyah dan Abu jahm, perhatikan! hal ini dmaksudkan demi kemaslahatan yang lebih besar pada diri fathimah binti qais radhiyallahu ‘anhum. Imam Nawawi menjelaskan bahwa ghibah dibolehkan karena adanya tujuan yang dibenarkan oleh syariat yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini. Ghibah yang dibolehkan ini ada enam sebab: 1. Mengadukan kezaliman orang kepada hakim, raja atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan kemampuan untuk menolongnya. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan menganiaya saya dengan cara demikian.” 2. Meminta bantuan orang demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Seperti dengan mengatakan: “Si Fulan telah melakukan demikian maka cegahlah dia dari perbuatan itu!” atau ungkapan semisalnya. Tujuan dibalik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran, kalau dia tidak bermaksud demikian maka hukumnya tetap haram. 3 Meminta fatwa. Seperti dengan mengatakan kepada seorang mufti (ahli fatwa): “Ayahku menganiayaku.” atau “Saudaraku telah menzalimiku.” Atau “Suamiku telah menzalimiku.” Meskipun tindakan yang lebih baik dan berhati-hati ialah dengan mengatakan: “Bagaimana pendapat anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?” 4 Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka. Seperti mencela para periwayat hadits dan saksi, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, bahkan hukumnya wajib karena kebutuhan umat terhadapnya. 5 Menyebutkan kejelekan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa atau bid’ahnya, seperti orang yang meminum khamr di depan khalayak, merampas harta secara paksa dan sebagainya, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya. 6 Untuk memperkenalkan jati diri orang. Seperti contohnya apabila ada orang yang lebih populer dengan julukan Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashamm (yang tuli), Al-A’ma (yang buta) dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama (lihat Riyadhush Shalihin, dicetak bersama Syarah Syaikh Utsaimin, 4/98-99. penerbit Darul Bashirah) Imam Nawawi menyebutkan dalil-dalil yang mendasari pengecualian ini, yaitu:1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang meminta izin bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda:

ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوْ ابْنُ الْعَشِيرَةِ

“Ijinkanlah dia, sejelek-jelek kerabat bagi saudaranya.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Nawawi berkata: Al-Bukhari berhujjah dengan hadits ini untuk menyatakan bolehnya mengghibahi para penebar kerusakan dan keragu-raguan aqidah. 2. Dari ‘Aisyah pula, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَظُنُّ فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا قَالَ اللَّيْثُ كَانَا رَجُلَيْنِ مِنْ الْمُنَافِقِين

“Aku kira si Fulan dan si Fulan tidak mengerti tentang agama kita barang sedikitpun.” (HR. Bukhari)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun