Mohon tunggu...
Verry Aria Firmansyah
Verry Aria Firmansyah Mohon Tunggu... Peternak - Owner & Director di Kencana Farm, Kencana Aqiqah, Kencana Quail Farm, Dunia Domba Indonesia

Seorang insan yang awal lulus kuliah Sarjana ingin turut serta mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Ayah 3 orang putra dan 2 orang puteri. Alumni Planologi ITB. Menyenangi dunia usaha, ternak domba, kambing, kelinci, marmut, puyuh dan lele, hobi diskusi dan aktivitas pemberdayaan. Usaha kecil-kecilan, peternakan domba, kambing, puyuh, ayam dan mengelola beberapa unit usaha wakaf produktif. http://puyuh-bogor.blogspot.co.id/ https://www.linkedin.com/in/verry-aria-firmansyah-0379a236/ https://www.kencanaaqiqah.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dalil Peretak Rumah Tangga

12 Juni 2015   17:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Tahukah kamu ada suatu dalil yang jika seorang wanita/istri meyakini atau memahaminya dengan ditelan mentah-mentah, maka dapat menghancurkan rumah tangganya, akan hilang sakinah, mawaddah, warahmah (kedamaian, ketentraman, ciinta dan kasih sayang) dalam keluarganya, dan dapat membuat retak keharmonisan dalam rumah tangga. Serta ada kemungkinan juga ke ambang perceraian.

Hal ini saya bahas melihat tingginya angka perceraian di negeri ini. Dan herannya bahkan orang Islam yang rajin mengaji pun kadang tak luput dari perceraian.

Hadits atau dalil yang saya maksud ialah mengenai, "bahwa kewajiban seorang istri hanyalah melayani suaminya untuk urusan syahwat atau berhubungan badan suami istri saja"

Sehingga tugasnya untuk mengurus dan mendidik anak, memaintance urusan rumah tangga seperti mencuci, masak, menyiapkan minum untuk suami, dll adalah bukan urusannya sebagai seorang istri melainkan kewajiban suaminya.

"pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab suami"  bisa dilakukan sendiri oleh suami ataupun dengan menggaji pekerja rumah tangga.

Yah itulah dalil yang jika ditelan bulat-bulat oleh seorang wanita atau istri maka dapat menghancurkan rumah tangganya, akan hilang sakinah, mawaddah, warahmah (kedamaian, ketentraman, ciinta dan kasih sayang) dalam keluarganya, dan dapat membuat retak keharmonisan dalam rumah tangga. Serta ada kemungkinan juga ke ambang perceraian. Saya pribadi sering mendengar dalil-dalil semacam ini disampaikan oleh orang-orang berlabel Ustadz baik di radio, buku maupun majelis ta'lim. Sungguh mengerikan jika kata-kata tersebut ditelan mentah-mentah.

Bisa dibayangkan jika wanita menelan dalil tersebut maka ketika suami pulang ke rumah setelah sangat lelah bekerja seharian di kantor, maka jangan harap sepulang dari rumah istrinya akan melayaninya, membuatkan secangkir kopi untuknya, menyiapkan air hangat untuk suaminya mandi, menyiapkan suaminya makan malam, bahkan memijit tubuh suaminya yang kelelahan bekerja seharian.

Hal tersebut tinggallah impian. Yang ada, sepulang kerja istri akan banyak menuntut. Suami diwajibkan menyiapkan atau membelikan makan malam, melayani istri jika istri membutuhkan sesuatu, mengurus anak-anak dari yang harus dimandikan, digantikan pampers, merapihkan mainan anak. Hingga mengepel dan menyapu lantai jika si anak mengotori lantai. Belum sampai disitu kebutuhan rumah tangga dari sembako, membeli pampers, beras, dsb harus dibelanjakan oleh suami.

Jika sang suami pulang karena capek langsung selonjoran atau ketiduran maka sang istri akan marah, mengomel dan memarahi sang suami.

Maka, kesabaran yang dapat memelihara agar rumah tangga tersebut tidak mengalami keretakan.

Namun, rumah tangga akan hambar jika hal ini dibiarkan.

Dalam syariat Islam sebenarnya istri tidak boleh seperti ini. Karena istri memiliki kewajiban dalam mengurus rumah tangga juga. Mari kita bahas sejenak.

Dalam haditsnya, Rasulullah menjelaskan tentang tanggung jawab kepemimpinan. “Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya. Khadam itu pemimpin bagi harta majikannya, bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya,” (HR Bukhari).

Abdul Halim Abu Syuqqoh dalam Tahrirul Mar’ah mengomentari kalimat “Wanita itu pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab tentang kepemimpinannya”. Menurutnya, bukan berarti wanita harus melaksanakan sendiri semua tugas rumah tangganya, mulai dari menyiapkan makanan, mencuci, menyetrika hingga membersihkan rumah. Tapi yang dimaksud adalah, semua itu merupakan tanggung jawab (pengawasannya), namun bisa dilaksanakan orang lain seperti pekerja rumah tangga (pembantu), anak-anak, kerabat atau dibantu suaminya sendiri. Maka semua itu bergantung pada kemampuan nafkah dan finansial suami, juga kesempatan dan kemampuan istri untuk melaksanakannya dengan tidak mengabaikan tugas utama yang lainnya, yaitu merawat anak-anak dan mendidiknya dengan baik.

Sementara fuqaha yang lain berpendapat, melayani suami dan melakukan pekerjaan rumah merupakan kewajiban istri. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang perempuan telah mengerjakan shalat fardhu lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kehormatannya dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.”

Maka seorang istri, ketika diperintahkan suaminya untuk mencuci dan memasak, ia harus menaatinya. Karena melayani suami dengan memasakkan makanan dan mencuci pakaiannya merupakan bagian dari ketaatan pada suami. Nabi saw dan para sahabat Nabi menyuruh istri-istrinya membuatkan roti, memasak, membersihkan tempat tidur, menghidangkan makanan, dan sebagainya. Tidak seorang pun dari mereka yang menolak pekerjaan tersebut.

Terlepas dari dua pandangan yang berbeda tersebut, pada prinsipnya, hubungan suami istri dalam Islam dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang, saling percaya, saling tolong menolong dalam suka dan duka. Seluruh urusan dalam rumah tangga berlandaskan saling ridha dan musyawarah. Masing-masing pihak ikhlas menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya. Mereka harus saling menasihati, saling membantu untuk menunaikan tanggung jawab kehidupan suami istri serta pemeliharaan anak-anak dan pendidikan mereka dalam setiap situasi dan kondisi. Rumah tangga tidak akan harmonis jika hubungan yang dibangun atas penuntutan hak, bersifat hitam putih, kaku dan saklek.

Semoga Allah memberkahi istri-istri yang menghabiskan hari-harinya untuk mendidik anak dan memelihara rumah tangganya dengan mengharapkan ridha Allah semata. Dan semoga Allah memberkahi suami-suami yang menghabiskan masa hidupnya dalam berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, anak-anaknya, dan tulus membantu istrinya dalam mengerjakan tugas-tugas rumahnya. Semoga Allah meridhai rumah tangga yang dibangun atas azas wata’awanu ‘alal birri wat taqwa, saling menolong dalam perbuatan kebaikan dan ketakwaan. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun