[caption id="attachment_142692" align="alignleft" width="300" caption="Sempadan Pantai Menyalahi Aturan - AKA/Parameswara"][/caption] Pembangunan sarana wisata di Bali tak jarang mengorbankan lingkungan. Salah satunya pembangunan villa dan restoran di sempadan pantai. Meski menguntungkan dari segi komersial, yang membuat sarana wisata mendapat poin plus dari sisi view-nya, pelanggaran sempadan pantai ini membuat tingkat abrasi pantai meningkat.
“Air laut memang sering naik menggenangi warung saya, bahkan sampai ke jalan. Tapi pedagang di sini sudah biasa, jadi tidak ada rasa takut lagi,” tutur Ketut Bambang, salah satu pedagang makanan di Pantai Lebih. Ia dan warga Lebih lainnya telah mengetahui pantai Lebih telah terabrasi sejak dulu. Tetapi warga merasa aman-aman saja membangun warung di tepi pantai, meski sudah banyak bangunan yang tergerus air laut. Sebutlah wantilan desa dan balawista milik pemerintah yang kini sudah jauh tenggelam di dasar laut akibat pengikisan pantai ke arah utara sejauh kurang lebih 500 meter. Areal persawahan pun tak luput dari kikisan ombak.
“Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan para warga yang mendirikan warung di tepi Pantai Lebih, ranah ekonomi mereka memang di sana. Lagi pula para pemilik warung telah diberi tanggung jawab untuk menjaga kebersihan areal sekitar warung mereka, dan mereka mampu melaksanakannya,”papar Dek Gus, salah seorang relawan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali. Menurutnya, yang perlu diperhatikan adalah maraknya pembangunan villa dan hotel di sempadan pantai. Sarana wisata tersebut jelas memerlukan ruang lebih luas, sehingga “memakan” sempadan pantai lebih banyak.
Pembangunan sarana wisata di Pantai Lebih belum seramai Pantai Kuta atau Pantai Sanur. Hanya ada satu villa yang dibangun di tepi pantai, itu pun dibangun tanpa mengantongi ijin dari pihak desa adat. Pemiliknya adalah warga asing keturunan Belanda, namun villa itu dibangun atas nama seorang warga lokal. Pihak desa adat yang diwakili oleh sekretaris desa menyatakan tidak memiliki wewenang untuk melarang pembangunan villa yang jelas-jelas melanggar sempadan pantai tersebut, karena pihak yang membangun telah mengantongi sertifikat tanah. Hanya saja, pihak nelayan Lebih merasa dirugikan, sebab areal tempat mereka menambatkan perahu menjadi berkurang.
“Sempadan pantai sebenarnya berguna untuk memberikan ruang bagi dinamika pantai. Menurut aturan sempadan pantai seharusnya 100 meter dari bibir pantai, namun pada prakteknya banyak dilanggar. Akibatnya dinamika pantai terhambat dan terjadilah abrasi,”tutur Iwan Dewantama, salah seorang aktivis LSM Lingkungan Bali. Hal senada juga diungkapkan R. Suyarto dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Universitas Udayana (PPLH Unud).
“Warga Desa Lebih banyak yang menjual tanah pantai ke investor. Mereka berpikir sederhana saja, daripada tanah yang mereka miliki sedikit demi sedikit habis terabrasi memang lebih baik mereka jual ke investor yang tertarik,” ungkap Sekretaris Desa merangkap Perbekel Desa Lebih, Nyoman Widiarsa. Ketika ditanya mengenai peran pemerintah dalam menghimbau warga, Nyoman Widiarsa hanya tersenyum kecut sembari menyatakan kekecewaannya.
”Jarang sekali ada pihak pemerintah, pusat maupun daerah, yang mau terjun langsung ke lapangan menghimbau warga tentang bahaya abrasi dan tindakan antisipasi yang harus dilakukan.” Secara umum warga tahu tentang abrasi, tapi mereka tak terlalu serius menanggapinya sebab mereka memang tidak tinggal langsung di tepi pantai. Mengenai warga yang bandel mendirikan kedai di pinggir pantai, pihak desa mengaku sudah kewalahan menanganinya sebab mereka merasa memiliki hak atas pantai. Ia hanya berharap pemerintah bisa mengeluarkan peraturan yang menguntungkan orang banyak. Tidak hanya berpihak pada investor.
“Fenomena investor di pesisir Bali bisa dianalogikan seperti orang yang makan bubur panas. Tentunya bagian pinggir disantap terlebih dahulu, hingga habis sampai bagian tengahnya. Seperti itulah eksploitasi lahan Pulau Bali, investor memulai pembangunan dari bagian pesisir hingga akhirnya semua tanah di Bali habis terpakai,”ujar Dek Gus yang juga menjadi staf Divisi Program Walhi Bali. Menurutnya satu-satunya solusi yaitu menegakkan aturan sempadan pantai setegas-tegasnya. Selama ini pemerintah lebih peduli pada pendapatan dari sarana-sarana wisata tersebut daripada dampak jangka panjangnya pada lingkungan.
Miris memang. Sementara pantai terkikis ombak, sempadan yang tersisa pun ikut termakan sarana wisata. Soal izin seolah hanya kerikil kecil bagi para investor. Aturan mengenai batas sempadan pantai di Bali amat penuh dengan toleransi. Terbuka dengan bermacam permakluman. Hanya untuk rupiah pemerintah rela menggadaikan pantai. Akankah kita baru sadar setelah sempadan pantai habis terabrasi, atau hati kita mau tergerak untuk bertindak dari sekarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H