Seperti ada yang merajalela di dalam tubuhku. Dadaku menggembung, tubuhku menghangat. Sejak itu anak laki- laki mengerling. Lalu ada darah diantara pahaku, saat aku memanjat jambu air kemerahan.
Sebulan kemudian para pinisepuh berkumpul. Aku yakin mereka akan membicarakan aku, meskipun aku tidak boleh ikut perundingan mereka. Urusan orang tua, begitu kata ibuku. Padahal urusan orang tua lainnya seperti pembagian warisan, pengumpulan dana untuk membantu paman yang sakit atau peringatan meninggalnya kakekku saja, aku boleh ikut. Ada satu tamu yang bukan keluargaku. Seorang laki-laki tua, mungkin hampir seumur ayah, hanya lebih jelek, dan bertambah menggelikan dengan kalung emasnya.
Aku dibelikan baju baru, hanya aku. Adikku dan kakak laki-lakiku tidak dibelikan. Untuk pertama kalinya aku merasa seperti angsa putih yang mendongak anggun, dengan paruhnya yang berwarna jeruk segar. Baru kali ini, aku merasa menjadi pusat perhatian semua orang lagi sejak adik perempuanku lahir. Semua orang memberi selamat karena aku sudah jadi gadis cantik. Aku didandani, kata ibu karena banyak tamu. Adik saja tidak dandan, hampir tadi dia menangis karena iri dengan baju baruku. Seorang bibi segera menggendongnya keluar, mengajaknya jalan dengan motor, membelikan permen dan kerupuk sehingga dia berhenti menangis. Kalau adikku sudah naik motor di depan, ia sudah lupa segalanya, dan akan tertawa-tawa karena rambutnya yang tersibak angin.
Aku disuruh duduk saja di teras, menyambut orang-orang yang datang untuk memujiku, sampai aku merasa, seluruh perhatian ini akan menjadi mimpi paling buruk.
Dari sore sampai malam, aku melihat Bang Ardan berseteru dengan bapak untuk membelaku. Bang Ardan sudah kerja, dan sekarang ia sedang sekolah malam dengan penghasilannya. Sumber adu mulut itu, tentu saja diriku. Bang Ardan bahkan menuduh bapak sudah gila. Mereka tidak pernah baku marah sekencang itu. Pada pertengkaran ketiga, bapak mengusirnya dari rumah.
Aku berlari mengejar dan memeluknya. Bang Ardan balas memelukku. Aku mengisakkan aku ikut abang saja. Abangku hanya diam merah padam hingga keluar air matanya. Ayahku datang dan menarikku dari tangisnya yang hampir pecah. Aku melolong di tanah, melihatnya membalikkan badan, tak mampu melihatku. Bapak menyeretku sampai ke kamar dan mengunci pintu. Ibuku hanya melihat, tak berkata apa-apa untuk membelaku bahkan tidak bergerak untuk mencegah penggeretanku.
Aku tidak pernah melihat pernikahan bahagia di desa ini. Apakah memang sudah seharusnya pernikahan itu terjadi anatara anak perempuan yang baru pertama berdarah dengan laki-laki tua yang kadang sudah beruban. Bapakku sendiri sudah dianggap tetua di desa, sementara ibuku masih hitam semua rambutnya.
Anak perempuan yang tertua yang menikah adalah yang lulus SMP. Itupun karena orang tuanya mengganggap pelamar-pelamar sebelumnya tidak cukup kaya, pak gurunya sendiri misalnya. Jadi biarkan dia sekolah apalagi anaknya pintar. Tentu saja semua pelamar menjanjikan calon istrinya yang masih anak-anak, akan terus sekolah, tapi mana ada janji dengan bukti di desa ini.
Tidak ada pernikahan bahagia karena hampir semua anak perempuan tidak ada yang tersenyum di pernikahan mereka. Lebih-lebih lagi setelah pernikahan, meskipun mereka punya semua yang tidak bisa mereka punya sebelumnya. Pernikahan itu seperti kematian. Make up setebal apapun tidak bisa menutupi kemurungan. Dan sekarang giliranku dihukum mati.
Semakin memikirkannya semakin aku tidak mau mati. Aku akan kelihatan melamun dari luar padahal aku panik di dalam kepalaku. Aku duduk di pintu, sore-sore ingin diculik mahkluk halus, karena katanya mereka biasa menculik anak-anak yang melamun sore-sore. Dondong, kucing kuning kotor mendekatiku. Kabarnya Dondong selalu mendekati orang-orang yang mau mati. Beberapa nenek-nenek, dan bayinya Pini yang prematur itu mati dengan Dondong menemani di bawah tempat tidurnya. Dondong rupanya merasa juga kalau aku mau mati, ia duduk tenang disebelahku. Aku tidak menyentuhnya, bergidik juga, jangan-jangan ia memang datang karena besok aku mati.
Tak lama kemudian, Tombok berlari-lari kecil, begitu anjing kampung peliharaan bersama anak-anak, berhenti di depan tiang jemuran di depan rumah, lalu mengencinginya. Berhenti sebentar, Tombok menggaruk kupingnya. Berjalan sedikit, seperti bertujuan mengganggu ayam-ayam, lalu memasang posisi berak. Pada keadaan biasa aku mengusirnya, kali ini aku malah memperhatikan, bagaimana berak itu keluar dari Tombok. Aku membelai Dondong, aku menemukan ide untuk keluar dari kematian.
Rumah sibuk berbenah. Kabarnya, Robiman, laki-laki tua yang akan jadi algojoku itu, orang lain menyebutnya sebagai calon suamiku, adalah agen surat di kota. Pekerjaannya membantu, begitu istilahnya, pada orang-orang yang butuh surat, surat apa saja, yang resmi atau tidak resmi, dari KTP sampai Ijazah, dari surat motor sampai surat nikah. Dengan bisnisnya itu, ia akan mampu mendatangkan organ tunggal dan penyanyi dangdut kabupaten untuk pernikahan kami. Orang tua mana yang tidak bangga. Pak Lurah sampai Pak Polsek diundang, aku sendiri berharap tidak diundang, seperti Bang Ardan yang kata Bibi tidak mau pulang.
Aku menyuruh adikku untuk mencari kacang jarak di ladang, dengan imbalan dua kue manis bagianku. Dengan gesit ia berlari, dan tak lama kemudian telapak tangganya ada di depanku penuh dengan kacang jarak. Aku gembira dan langsung memberikan tiga roti bagianku. Aku menyimpan kacang jarak untuk nanti sore, di saku tas penganten kecilku yang kuning mengkilap. Senyumku saat membayangkan rencanaku, ditangkap ibuku sebagai tanda bahagia.
Diarak ke depan penghulu, aku membayangkan makan. Aku akan makan semuanya, tanpa minum, supaya perutku benar-benar penuh. Tak ada seorang pun yang menyaksikan pernikahan ini sebagai keanehan, aku yang masih kecil, disandingkan dengan laki-laki tua peyot itu. Bagaimana tamu-tamu itu bisa membayangkan aku akan tidur satu ranjang dengannya, sementara tidur dengan si botak, sepupu laki-lakiku saja, mereka sudah berpikir macam-macam.
Aku hampir saja tidak mengucapkan bersedia karena menangis. Aku ingin pingsan tapi tidak bisa pingsan. Satu persatu mereka menyalami dan menciumku, seperti memberi selamat orang mati. Untungnya acara makan yang kutunggu tiba. Aku makan sebanyak-banyaknya. Sepertinya ini makanan terbanyak yang bisa kutelan selama hidupku. Nasi, opor ayam, sambal goreng daging, tahu, tempe, sayur urap dengan kelapa muda, perkedel kentang, kacang bawang, emping, pepaya, semangka, dan kue penganten bertingkat tiga dari kota.
Sore setelah organ tunggal dan dangdut selesai. Aku dibawa kekamar penganten. Algojo itu datang dan mengganti bajunya. Aku berkata, “boleh lihat jam tangannya ?” Ia pun menyeringai, mencopotnya dan memberikannya padaku, “Ini jam paling mahal.” Katanya sambil mengelus daguku. Ia pun pergi meninggalkanku di kamar. Aku segera mengunci kamar, membuka tas pengantinku dan menelan semua kacang jarak yang kusimpan.
Setengah jam kemudian, perutku mulai bergejolak. Laki-laki itu datang mengetuk, “Bukakan pintu untuk abah dong”. Aku menjawab, “Mau istirahat dulu, biar nanti seger.” Aku seperti melihatnya menyeringai di balik pintu dan ia pun pergi. Perutku semakin meronta-ronta. Yang kuharapkan terjadi, aku pun muntah. Kacang jarak kalau dimakan akan bikin muntah dan mencret. Aku mengepaskan muntahan itu di bantal pengantin. Kepalaku juga mulai berputar, Aku mencari barang milik laki-laki itu dan menemukan koper pakaiannya. Aku pun membukanya dan pas akupun muntah disana. Cairan hijau kekuningan berbau itu pun membanjiri baju-bajunya. Semangka yang kutelan cepat-cepat juga terlihat kemerahan, meski tak lagi berbau wangi semangka.
Aku berpegangan di tempat tidur dengan lemas, belum selesai rasanya aku bernafas aku ingin mencret. Aku pun membuka celana, mengeluarkan surat-surat dari koper laki-laki itu dan berak disana. Aku menutup muka dengan selendang karena tak tahan sendiri dengan bau berak campur muntah yang kuperbuat. Semakin lemas, dengan mata berkunang-kunang aku mengambil jam tangan yang dibanggakannya itu meletakkannya di lantai dan memencretkan berakku tepat disana. Lalu aku beranjak ke bawah jendela, satu-satunya tempat yang belum kuberaki, dan mencoba tertidur disana dengan selendang di hidungku. Aku tidak lagi berdaya, laki-laki itu datang lagi, mengetuk keras, memanggilku dan akhirnya mendobrak pintu. Menyadari barang-barangnya yang berbau itu, ia pun menendang pantatku dan berteriak-teriak memanggilku setan, sementara dia sendiri seperti kerasukan setan.
Laki-laki itu berlari keluar dan. Tak pernah kembali. Aku membebaskan diri dari pernikahan, untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H