Mohon tunggu...
Veronica Um Kusrini
Veronica Um Kusrini Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Tertarik pada dunia pendidikan dan tulis menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hei, Si Mbeling!

26 Desember 2022   22:09 Diperbarui: 26 Desember 2022   22:38 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hei, Si Mbeling yang baik hati, selamat Natal ya!

Ngapuro!

#fiktif

"Bu'e ayo kita ke rumah Budhe Walijem, kita sama-sama meminta maaf sama Budhe Walijem, kita luruskan masalah ini biar rampung ndang padang. Terlebih mulai saat aku tidak akan aruh-aruh lagi sama sama Budhe Walijem dalam bentuk apapun, demi menjaga keutuhan rumah tangga kita, demi njaga atimu kui Bu'e dan juga menjaga nama baik dan martabat keluarga Budhe Walijem."

Demikian kalimat pertama yang ku ucapkan pada istriku, setelah beberapa hari kami bersitegang tentang Budhe Walijem, rondo seberang sawah. Aku masih tidak mengerti kenapa istriku bisa nesu-nesu gara-gara Budhe Waljinem. Wis jelas luih tuo, ora ayu, judes, kempot lan peot. Mukanya seringkali pucat dengan mata panda dan bibir kering seperti sedang menahan rasa sakit. Itulah yang aku ingat tentang Budhe Waljinem saat beberapa kali bertemu di acara sembayangan. 

Dia lebih banyak diam dibandingkan berbicara, namun sekali bicara, apa yang keluar dari mulutnya teratur mengalir dan saat itulah aku melihat ada kelembutan dan welas asih yang dalam. Di sela-sela percakapannya, senyum itu pun sesekali muncul dan ternyata senyum itu memang manis sekali. Senyuman itu seperti sebuah harta yang tidak semua orang bisa melihatnya. Dan aku pernah terkesima karenanya.

"Ayo Pak'e, malah mesam-mesem. Wis arep udan, katanya mau ke Budhe Waljinem. Nek sampean wani tenan ke sana untuk menyelesaikan ini semua, aku dukung. Ini untuk membuktikan yen sampean pancen ora ono opo-opo, yen pancen bener ming sampean anggep sedulur. Mosok sedulur kok sampai pesen-pesen Lik Jinah yen akon nginguk yen masuk angin utowo butuh kerokan, gek le omong gemramang nang ngarepku!" kata istriku.

Aku diam saja mendengar omelan panjang istriku. Omelan orang cemburu setara dengan Sang Sabda yang harus diakui kebenarannya. Kuambil jaket dan kunci motor di kamar. Sambil mencari jaket dan kunci motor yang ternyata tidak ada di sana, aku berpikir keras dengan situasi yang ada. Datang ke rumahnya dan meminta maaf adalah cara paling gentle yang bisa kulakukan memang untuk membuktikan kalau memang apa yang menjadi kecurigaan istriku ini tidak benar. 

Dan istriku sama sekali tidak tahu bahwa Budhe Waljinem lah yang membuat aku tetap berada di posisi yang benar ini. Istriku tidak tahu bahwa karena Budhe Waljinemlah aku masih di jalan yang benar, karena Budhe Waljinemlah apa yang semua istriku tuduhkan tidak terjadi. Coba kalau Budhe Walijem tidak keras dan tidak kereng padaku, hancur sudah aku ini luluh lantak. Setelah itu aku mikir kembali, tetapi saat ini Budhe Walijemlah yang menjadi sosok paling tertuduh dan terpojok. Statusnya yang rondo membuatnya tidak mampu membela diri dan melakukan banyak hal. Dia menjadi tampak sangat buruk karena perilakuku padanya. 

"Pak'e, ayo cepeeeeet. Gerimis iki. Udan. Genduk ora gelem ditinggal, arep melu, masuk angin nanti dia ....," teriak istriku dari luar.

Aku kaget sekaligus bingung karena kunci motor dan jaket belum juga kutemukan. Aku berjalan ke dapur mencoba menemukan dua benda itu. Sambil menuju ke dapur, aku masih bingung bagaimana nanti harus berbicara dengan Budhe Waljinem untuk semua kegaduhan yang terjadi ini. Ada rasa bersalah yang maha besar di lubuk hati yang paling dalam terhadapnya. Aku yang coba-coba mbeling, dia yang kena getahnya, sementara yang galaknya minta ampun malah ibune anak anak, perempuan yang telah kuajak bersumpah untuk sehidup semati.

"Pak'eeeeee, welahhh, pie to iki jan ...." teriaknya untuk kedua kali.

Aku berlari cepat ke depan dengan kunci motor dan jaket yang belum sempat kupakai. Aku belum berhasil menata hati dan mengolah semua yang ada di hati ini. Tak banyak yang bisa kuharap, selain Roh Kudus turun di hatiku. Ahh tak harus turun penuh, keserempet Roh Kudus pun juga sudah lebih baik mengingat kesalahan banyak ada padaku. 

Kubonceng istriku beserta Genduk. Di sepanjang jalan yanhg berbatu aku terus berharap. Roh Kudus, srempetlah aku! Berikan aku kekuatan dan keimanan untuk menyelesaikan semua akibat ulahku ini. Ngapuro'o aku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun