Mohon tunggu...
Veronica Maureen
Veronica Maureen Mohon Tunggu... Penulis - Communication Science Student

I am a communication student who loves to write and tell inspirational stories. Interested in environmental issues and sustainable living.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Peringatan Hari Bumi di Tengah Covid-19

23 April 2020   16:35 Diperbarui: 23 April 2020   16:35 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertama kali peringatan Hari Bumi atau Earth Day dibuat untuk peringatan atas kepedulian terhadap isu-isu lingkungan. Telah 50 tahun sejak pertama kali Peringatan Hari Bumi dibuat. 

Namun, kerusakan lingkungan dan isu-isu lingkungan lain masih masif terjadi dalam skala nasional hingga global. Kali ini peringatan Hari Bumi kita peringati dalam 2 krisis besar, yaitu pandemi COVID-19 dan tentu krisis perubahan iklim.

Hari Bumi dan Perubahan Iklim

Perubahan iklim tentu menjadi titik berat dalam berbagai upaya perbaikan lingkungan. Dilansir dari Mongabay.com, Hananto (2015) mengungkapkan bahwa bumi telah mengalami perubahan yang besar, dengan waktu yang begitu cepat. 

Ungkapan itu merupakan kesimpulan dari laporan Sate of the Climate in 2014 yang dipublikasikan secara resmi oleh State of the Climate report from National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan American Meteorogical Society. 

Es mencari di kutub-kutub bumi, permukaan air laut meningkat, suhu rata-rata meningkat setiap tahunnya tidak terelakkan lagi. Belum lagi ekosistem yang terganggu dalam berbagai belahan dunia menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang cepat ini.

Sebagai contoh, dilansir dari website kehati, lebih dari 90% karang di Great Barrier Reef Australia telah mati akibat bleaching. Terumbu karang memiliki toleransi yang rendah terhadap kenaikan suhu air laut. 

Proses bleaching terjadi karena kenaikan suhu air ini menyebabkan penurunan pigmen klorofil pada jaringan tubuhnya dan menyebabkan mereka mati dengan menyisakan tubuh yang berwarna putih dari zat kapur. 

Hari Bumi ditengah COVID-19

Permasalahan lingkungan tidak semata-mata menjadi lenyap karena situasi 'normal' yang dijalani oleh mayoritas masyarakat dunia dengan gerakan #dirumahsaja #stayhome. 

Banyak berita-berita bohong yang menyebutkan beberapa hewan muncul dikarenakan polusi menurun, dengan sederet fakta lain. Kenyataannya adalah manusia 'terpaksa' untuk mengentikan aktivitasnya - lengkap dengan seluruh kegiatan industri dan gaya hidup yang tidak berkelanjutan alias tidak memihak pada keberlangsungan dan kelestarian alam. 

Langit di Jakarta bisa lebih biru, tingkat polusi udara juga menurun. Namun bukan berarti permasalahan selesai. 

Tingginya tingkat populasi penduduk juga mengarah langsung pada kebutuhan konsumsi yang tinggi, belum lagi dengan adanya konsumerisme saat ini yang memudahkan kegiatan berbelanja dengan #dirumahsaja. Tingginya aktivitas jual-beli secara online secara tidak didasari juga memiliki dampak negatif yang besar terhadap kerusakan lingkungan. 

Plastik. Kebutuhan akan jasa pengiriman barang terus meningkat dengan adanya berbagai e-commerce dan sederet iming-iming 'promo' mereka. Ditambah dengan larangan untuk keluar rumah ditengah kondisi saat ini. 

Dalam setiap pengiriman barang salah satu material utama untuk melindungi barang ialah dengan plastik. Setelah barang tiba, lalu apa? Penanganan dan pengelolaan sampah di Indonesia belum maksimal sama sekali. Regulasi terkait pengolahan sampah masih belum ajeg, ditambah cakupan wilayahnya yang tidak merata. 

Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah kota, aku merasakan ini saat yang tepat bagi masyarakat untuk bisa merenungkan. Di Surabaya sendiri misalnya. 

Warga membayar iuran untuk pengangkutan sampah - namun tidak banyak yang peduli kemana sampah-sampah itu akan pergi? Yang jelas tidak lagi mengotori dan memnyumbang bau tidak sedap di rumah. 

Lain lagi dengan pengalaman saya tinggal di sebuah desa di Mojokerto. Tidak ada pengumpulan dan pengelolaan sampah yang diawasi oleh pemerintah. Alasannya kenapa? Wilayah terlalu jauh untuk ditempuh dan memakan waktu yang lama, tentu juga akan membengkak dalam segi biaya. 

Apa yang dapat kita lakukan?

Manusia memiliki kemampuan untuk memperlambat laju perubahan iklim, bahkan menghentikannya. Namun, ini bukan perkara yang mudah dan harus didukung oleh seluruh masyarakat dunia, tanpa terkecuali. 

Yang dapat dilakukan pertama ialah kesadaran akan urgensi dan kebutuhan kita untuk mengubah gaya hidup yang tidak berkelanjutan, atau dalam pengertian yang lebih mudah gaya hidup yang berpihak terhadap keberlangsungan 

Berikut aku berikan beberapa contoh sederhana mengenai kebiasaan yang dapat diterapkan sehari-hari:

1. Pahami bahwa bumi bukan hanya untuk manusia. Bumi tercipta dengan segala macam ekosistem yang terbentuk didalamnya. Hal ini bukanlah perkara yang sederhana. Keseimbangan bumi juga bergantung pada ekosistem didalam, yang berarti keberlangsungan makhluk hidup selain manusia.

2. Perbanyak konsumi sayuran. Selain baik bagi kesehatan, dilansir dari VOA Indonesia,  mengurangi konsumsi daging dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu mengurangi perubahan iklim.

3. Gunakan tas belanja sendiri. TOLAK dan upayakan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. 

4. Beli bahan-bahan lokal. Berbelanja produk lokal juga mengurangi emisi gas rumah kaca. Bagaimana bisa? Upaya yang dilakukan untuk sebuah rpduk dapat tiba dari luar negeri membutuhkan biaya dan juga transportasi. Selain itu, membeli produk dalam negeri juga meningkatkan kemampuan ekonomi negara. 

5. Gunakan transportasi umum. Dalam pengalaman magangku di Jakarta transportasi umum sangat membantuku dalam mobilitas. Meski, tidak dapat kupungkiri terkadang masih kurang mengakomodir kebutuhan  yang sangat tinggi. Di Surabaya sendiri tranportasi umum seperti bus masih belum dapat digunakan secara maksimal karena rute dan cakupan masih relatif sedikit. 

6. Tanam makananmu sendiri! Minimnya lahan di perkotaan bukan lagi menjadi masalah dalam menanam tanaman. Sistem hidroponik makin marak saat ini. Bahkan banyak dari teman-temanku sendiri sudah menerapkannya dan makan dari hasil kebunnya sendiri!

7. Beli produk yang ekolabel atau yang tidak menggunakan kemasan  seperti dalam toko-toko zero waste. 

8. Ketika bepergian, membawa botol minum dan peralatan makan sendiri.

Semoga beberapa tips ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aku sendiri masih berupaya keras untuk tidak meninggalkan jejak dalam aktivitasku. Memang susah, namun hal-hal kecil ini selalu dapat kita terapkan dan upayakan!

Selamat Hari Bumi, terima kasih untuk Ibu Bumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun