Malam harinya aku tertidur dengan perasaan gelisah. Mengkhawatirkan akan hari esok dengan tanggung jawab baru. Kusiapkan tas ransel yang biasa kupakai. Aku mulai menata barang bawaan untuk esok hari, apa-apa saja yang harus kubawa? Aku memasukkan buku catatan yang hampir habis, sebuah bolpoin dan pakaian ganti. Perasaanku malam itu sungguh bersemangat, ya wajar saja pengalaman pertama. Aku berusaha terlelap, melipat tangan, menutup mata memanjatkan doa. Aku terlelap.
Aku terbangun keesokan harinya dengan mata masih mengantuk. Juga perasaan lega karena aku mendengar jam weker yang aku pasang tadi malam. Untung saja, bantinku. Aku duduk di ujung tempat tidur, sembari mengumpulkan kesadaran dan melipat tangan, mengucap syukur. Kulangkahkan kakiku membuka pintur kamar. Kurasakan udara pagi yang dingin menyeruak masuk begitu segar. Dingin rasanya pagi itu, langit masih gelap.
Aku bersiap, memilih pakaian yang akan kukenakan. Memastikan sekali lagi barang-barang yang akan kubawa. Jangan sampai ada yang tertinggal, kataku pada diriku sendiri. Kurasa semua sudah siap, aku memesan transportasi online. Kukira aku akan segera memulai perjalananku pagi itu. Cukup lama juga aku menantikan kedatangannya. "Saya mohon jangan dibatalkan ya pak, saya akan menunggu," ujarku memohon kepada pak sopir pagi itu. Perjalanan pagi ini jauh dan kurasa jalanan masih akan sepi, kuharap aku tiba tepat waktu.
Sembari menanyakan tujuan, si sopir memberikan helm untuk aku kenakan. Aku juga sudah siap dengan jaket tebalku, untuk melindungiku dari udara pagi yang masih dingin. Aku duduk diboncengan si sopir dan deru mesin motor terdengar, aku pun memulai perjalananku di pagi itu. Malam sebelumnya, kulihat diaplikasi penunjuk jalan bahwa perjalanan akan memakan waktu 40 menit, sejauh 21 kilometer. Perjalanan yang cukup jauh memang, dan daerah tersebut jarang kudatangi. Baru sekali saja kau pernah ke lokasi yang dituju itu, kupercayakan perjalanan pada si sopir. Dipasangnyalah aplikasi penunjuk jalan oleh si sopir, menemani perjalanan kami pagi itu. Menatap langit, harapanku adalah dapat sampai di lokasi dengan selamat. Itu cukup.
Langit masih gelap dan deretan lampu jalan masih menyala. Kurasakan hembusan angin menerpa wajahku, kapan terakhir kali aku melakukan perjalanan se pagi ini? Jalanan masih sepi pengendara, jadi udara segarlah yang kuhirup, bukan asap-asap kendaraan yang berhenti di lampu lalu lintas. Tidak kudengar juga suara-suara klakson dan makian-makian seperti siang hari, ketika matahari mulai menunjukkan terangnya. Sepanjang perjalanan, kudengar suara masjid dikejauhan juga kicauan burung di pohon-pohon yang rindang. Dan langit masih gelap.
Kehidupan masih samar-samar pagi itu. Toko-toko masih tertutup, kecuali deretan mini market 24 jam yang juga sepi pengunjung. Apakah pegawai-pegawai itu menjaga kasir sambil tertidur? atau mereka menanti datangnya pelanggan sambil menahan rasa bosan? Lalu ketika mereka dikalahkan oleh rasa bosan dan kantuk, pimpinan mereka pun datang dan menegur mereka dengan kata-kata kasar. Sungguh tidak menyenangkan pikirku, harus menunggu apa yang tidak pasti dan kau tak boleh kalah dengan keadaan karena begitulah seharusnya.
Ah, bisa juga mereka bersenda gurau satu sama lain atau menonton televisi yang kadang terpasang di bagian dalamnya. Membagikan kisah percintaan satu sama lain dan bertukar pikiran  mengenai berita-berita di televisi. Dan ketika mereka mulai lelah, mereka kembali dalam diam. Tidak menutup kemungkinan juga mereka sedang melakukan pekerjaan mereka yang lainnya. Menghitung uang, menata barang-barang dan membersihkan landai dengan semangat baru pagi itu. Siapa tau? Aku terlarut dalam skenario pertamaku pagi itu, mengenai pegawai di mini market yang kulihat sepi pengunjungnya.
Perjalanan masih berlanjut, dan aku tahu ini tidak akan memakan waktu yang sebentar. Aku mulai bosan dan rasa kantuk kembali menyerangku bersama dengan udara pagi yang menampar kulit wajahku. Mencoba menghilangkan rasa kantuk, masih kupandangi dengan saksama suasana jalanan pagi itu, dengan penglihatan seadanya karena jalanan masih gelap.
Terdengar suara lidi menyentuh tanah, membersihkan jalanan dari dedaunan yang jatuh dan sampah yang dibuang sembarangan. Tukang sapu jalan beradu dalam gelap menyelesaikan pekerjaan mereka demi sesuap nasi. Mereka mengenakan seragam oranye bertuliskan DINAS KEBERSIHAN KOTA SURABAYA, sedang ada juga yang lainnya mengenakan kaus-kaus berlengan pendek. Seolah mereka tidak menghiraukan hawa dingin di pagi hari yang masih gelap itu. Mereka bangun lebih pagi, dan tidur larut malam. Mengajari anak-anak mereka pelajaran dan sopan santun, berharap anaknya tidak bernasib sama.
Mereka memakan sarapan seadanya, bahkan mungkin hanya segelas air putih untuk membasahi kerongkongan mereka. Rasa kantuk menjadi teman setiap harinya dengan peluh yang membasahi dahi mereka. Yah, demi sesuap nasi hari itu. Yang penting hari ini makan, urusan besok itu lain lagi. Mereka selalu mencukupkan diri dan tak lupa untuk memanjatkan syukur.
Masih aku memandangi jalanan dan tak lama, lewat sebuah motor bak yang mendahului aku dan si sopir. Kulihat seorang ibu bersandar pada karung-karung berisi sayuran dan tertidur di bak motor bagian belakang. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan, tak menghiraukan goncangan sepanjang perjalanan. Ia tertidur begitu pulasnya. Baju kebesaran yang ia gunakan sudah cukup mengatasi dinginnya pagi itu, ia tak meminta lebih selain sejenak waktu untuk menutup mata. Apa yang ibu itu mimpikan?
Garis-garis wajahnya begitu tegas, menunjukkan pekerjaan keras yang ia lakukan sehari-hari. Berangkat pagi dan juga menyiapkan seluruh kebutuhan keluarga. Mencuci pakaian, menyetrika seragam dan membuatkan sarapan sebelum anak berangkat sekolah. Sosok ibu yang senantiasa mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan anaknya, mencoba mencari peruntungan di pagi hari itu. Jalanan masih gelap. Rasa lelah tidak ia rasakan lagi, selama anaknya dapat bersekolah, merasakan bangku pendidikan dan sehat. Kurasa itu alasan paling utama kekuatan sosok ibu yang tertidur di bak motor. Mungkin tak banyak yang ia harap, namun anaklah yang menjadi utama dalam perjuangannya setiap harinya.
Motor bak itu melaju semakin cepat dan menghilang. Lalu pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang menanti di bawah remang lampu jalan. Ia memakai jaket dan juga memeluk erat tas yang ia bawa. Tatapannya menyiratkan sebuah penantian, seorang buruh pabrik yang menanti transportasi umum. Berangkat subuh, ketika hari masih gelap meninggalkan rumah kontrakan satu petaknya. Perasaan was-was juga menyelimuti penantiannya, siapa sangka bukan? Kejahatan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.
Perempuan yang menunggu di pinggir jalan itu sendiri. Tak mengharapkan seorang kawan, cukup transportasi dapat lewat dan menghantarkan ia sampai di pabrik tempat ia bekerja. Ia mungkin mengeluhkan pekerjaan berat yang ia lakoni setiap harinya, tapi keadaan dan kebutuhan juga mendesaknya tetap menjalankannya. Ia hanya bertahan untuk kehidupan, bukan semata-mata berbakti kepada pekerjaannya. Mana bisa ia mengeluh?
Aku juga mulai mulai menyesali dan mengeluhkan keputusanku untuk sepakat berangkat subuh dan tiba pukul 05.00 di lokasi. Aku bahkan memikirkan skenario lainnya, bahwa bisa saja aku berpura-pura ketiduran dan langsung saja berkumpul di lokasi terdekat sehingga aku tidak perlu berangkat sepagi itu. Toh, kegiatannya juga masih akan dimulai nanti. Sekali lagi, aku mulai menyesali keputusanku harus berangkat pagi-pagi ke lokasi kegiatan.
Namun aku juga tertampar kenyataan-kenyataan yang barusan aku lihat, pegawai mini market 24 jam yang menanti dalam kebosanan, tukang sapu jalan yang mengharap sesuap nasi. Dan juga, ibu di atas bak motor sekaligus sosok perempuan buruh pabrik itu telah memulai hari mereka. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengeluhkan keadaan, selain menerima dan dengan kekuatan mereka melaksanakan tugas kehidupan. Sedangkan aku sendiri di sini, diboncengi pak sopir transportasi online yang kubayar dengan uang orangtuaku dan aku mengeluhkannya.
Seorang pengendara motor lewat dengan begitu cepatnya. Aku lalu tertegun akan skenario -- skenario yang aku buat ketika jalanan masih gelap itu. Ketika para koruptor yang mengambil hak-hak rakyat masih tertidur pulas. Ketika para pelaku kejahatan kemanusiaan bebas berkeliaran dan hidup berkecukupan. Sedang mereka yang lainnya menerjang angin dingin, mengejar harapan.
Catatan tambahan : Cerpen ini saya buat dalam rangka partisipasi dalam Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 2017 lalu.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H