Garis-garis wajahnya begitu tegas, menunjukkan pekerjaan keras yang ia lakukan sehari-hari. Berangkat pagi dan juga menyiapkan seluruh kebutuhan keluarga. Mencuci pakaian, menyetrika seragam dan membuatkan sarapan sebelum anak berangkat sekolah. Sosok ibu yang senantiasa mengusahakan kebahagiaan dan kesejahteraan anaknya, mencoba mencari peruntungan di pagi hari itu. Jalanan masih gelap. Rasa lelah tidak ia rasakan lagi, selama anaknya dapat bersekolah, merasakan bangku pendidikan dan sehat. Kurasa itu alasan paling utama kekuatan sosok ibu yang tertidur di bak motor. Mungkin tak banyak yang ia harap, namun anaklah yang menjadi utama dalam perjuangannya setiap harinya.
Motor bak itu melaju semakin cepat dan menghilang. Lalu pandanganku tertuju pada seorang perempuan yang menanti di bawah remang lampu jalan. Ia memakai jaket dan juga memeluk erat tas yang ia bawa. Tatapannya menyiratkan sebuah penantian, seorang buruh pabrik yang menanti transportasi umum. Berangkat subuh, ketika hari masih gelap meninggalkan rumah kontrakan satu petaknya. Perasaan was-was juga menyelimuti penantiannya, siapa sangka bukan? Kejahatan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja.
Perempuan yang menunggu di pinggir jalan itu sendiri. Tak mengharapkan seorang kawan, cukup transportasi dapat lewat dan menghantarkan ia sampai di pabrik tempat ia bekerja. Ia mungkin mengeluhkan pekerjaan berat yang ia lakoni setiap harinya, tapi keadaan dan kebutuhan juga mendesaknya tetap menjalankannya. Ia hanya bertahan untuk kehidupan, bukan semata-mata berbakti kepada pekerjaannya. Mana bisa ia mengeluh?
Aku juga mulai mulai menyesali dan mengeluhkan keputusanku untuk sepakat berangkat subuh dan tiba pukul 05.00 di lokasi. Aku bahkan memikirkan skenario lainnya, bahwa bisa saja aku berpura-pura ketiduran dan langsung saja berkumpul di lokasi terdekat sehingga aku tidak perlu berangkat sepagi itu. Toh, kegiatannya juga masih akan dimulai nanti. Sekali lagi, aku mulai menyesali keputusanku harus berangkat pagi-pagi ke lokasi kegiatan.
Namun aku juga tertampar kenyataan-kenyataan yang barusan aku lihat, pegawai mini market 24 jam yang menanti dalam kebosanan, tukang sapu jalan yang mengharap sesuap nasi. Dan juga, ibu di atas bak motor sekaligus sosok perempuan buruh pabrik itu telah memulai hari mereka. Mereka tidak memiliki waktu untuk mengeluhkan keadaan, selain menerima dan dengan kekuatan mereka melaksanakan tugas kehidupan. Sedangkan aku sendiri di sini, diboncengi pak sopir transportasi online yang kubayar dengan uang orangtuaku dan aku mengeluhkannya.
Seorang pengendara motor lewat dengan begitu cepatnya. Aku lalu tertegun akan skenario -- skenario yang aku buat ketika jalanan masih gelap itu. Ketika para koruptor yang mengambil hak-hak rakyat masih tertidur pulas. Ketika para pelaku kejahatan kemanusiaan bebas berkeliaran dan hidup berkecukupan. Sedang mereka yang lainnya menerjang angin dingin, mengejar harapan.
Catatan tambahan : Cerpen ini saya buat dalam rangka partisipasi dalam Bulan Bahasa yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 2017 lalu.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H