Mohon tunggu...
Veronica Maureen
Veronica Maureen Mohon Tunggu... Penulis - Communication Science Student

I am a communication student who loves to write and tell inspirational stories. Interested in environmental issues and sustainable living.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

A Story of Wounds: Mengoyak Budaya Patriarki

10 Mei 2019   19:58 Diperbarui: 10 Mei 2019   20:25 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Saya dan tim mau menyampaikan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah juga cacat dalam kemanusiaan." -- Jessie Monika (Penulis Naskah)

Sebuah pertunjukan seni dapat menjadi sarana penyampaian pesan. Dan teater hadir sebagai media penyadaran akan isu-isu kemanusiaan yang masih menantikan jawaban atas keadilan. Masih banyak di antara kita yang masih diam dalam ketakutan, menghindar dari kenyataan yang pahit dibawah naungan 'pernikahan' yang hanya meninggalkan luka.

Meskipun sempat takut untuk memainkan peran utama sebagai Nina dalam "A Story of Wounds" ini, Emily Abigail akhirnya memutuskan menerima tawaran ini. Ia melihat ini sebagai kesempatan untuk dapat ikut menyampaikan pesan mengenai realita yang banyak terjadi di masyarakat. Seperti dilansir dari CNN Indonesia berdasarkan data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), pada tahun 2017 terdapat total 2979 kasus kekerasan seksual dan KDRT yang terjadi.

"Ingin menyampaikan, bahwa memang ada realita pahit dan menyakitkan seperti dalam cerita yang aku mainkan ini. Supaya banyak yang semakin sadar, perempuan-perempuan lain seperti Nina dalam naskah ini juga berani berbicara dan meminta pertolongan," ujar gadis kelahiran Surabaya ini.

Sabtu, (23/02/2019) lalu, tim Petra Little Theatre menyuguhkan sebuah drama musikal dari naskah berjudul "A Story of Wounds" yang mengangkat kisah tentang seorang perempuan yang mengalami kekerasan seksual dari suaminya sendiri. Ketakutannya untuk bercerita tentang apa yang ia alami kemudian ia lawan melalui keberaniannya menyampaikan kisahnya melalui lukisan-lukisan yang ia buat. Pementasan penggalangan dana yang berlangsung di Amphiteatre Gedung Q Universitas Kristen (UK) Petra ini dihadiri lebih dari 250 penonton.

"Naskah ini saya tulis berdasarkan kisah nyata. Waktu itu saya mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai seorang korban yang menceritakan kisah pernikahannya, dimana suaminya yang tidak ia sangka akan melakukan kekerasan terhadap dirinya," jelas Jessie Monika, penulis naskah. Jessie melihat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia tidak mendapatkan porsi yang adil dalam keadilan dan perjuangan Hak Asasi Kemanusiaan di Indonesia. Budaya Patriarki yang kuat mengambil andil besar dalam pandangan masyarakat terhadap marital rape -- pemerkosaan dalam pernikahan. "Itu dianggap sebagai hal yang wajar terjadi, dan sekali lagi, perempuan yang menjadi korban dan dianggap menjadi penyebab hal tersebut. Dan lagi, karena adanya hubungan suami-isteri hal tersebut 'memperbolehkan' laki-laki untuk melakukan apapun terhadap isterinya," tambah perempuan asal Pekalongan ini.

Tentunya keberlangsungan pementasan tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan dari tim produksi, Jessica Azaela, selaku Stage Manager, menjelaskan lebih lanjut terkait proses produksi persiapan pementasan di Surabaya ini yang juga akan kembali dipentaskan di Yogyakarta di bulan Maret mendatang.

"Proses pertama ialah jelas melakukan pembacaan naskah, berikut diikuti dengan proses revisi dan audisi. Setelah proses pendalam materi oleh aktor, baru lanjut pada tahap latihan oleh seluruh aktor," jelas Jessica.

Tidak hanya persiapan untuk naskah dan pemilihan aktor, Jessica memaparkan secara singkat proses kerja tim artistik akan mempersiapkan konsep untuk set panggung, properti, sound, pencahayaan, kostum dan tata rias. Setelah seluruh aspek tersebut melalui proses revisi dari artistic director, maka proses tim artistik dapat dilanjutkan untuk dieksekusi.

"Kami mau menyampaikan pesan bahwa ada orang yang ingin membantu, ketika memang para korban memutuskan untuk bercerita dan meminta pertolongan. Apalagi jangan sampai korban merasa itu terjadi karena kesalahan mereka. Bukan. Kami ingin membawa pesan itu," tutup Emily ketika ditanya pesan yang ia bawa dalam perannya.

"A Story of Wounds" pertama kali dimainkan pada 21-24 November 2018 lalu untuk menyambut Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tanggal 25 November di Studio Petra Little Theatre disaksikan lebih dari 240 penonton.

Naskah ini akan kembali dipentaskan di Kota Pelajar, Yogyakarta, pada 23 Maret 2019 mendatang. Berlokasi di Auditorium Driyakara, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Pementasan ini adalah bukti bentuk upaya sesedikitnya para penggiat seni dalam menyuarakan kemanusiaan. Kekerasan terhadap perempuan dalam budaya patriarki seringkali mengekang perempuan untuk bersuara atas kekerasan yang ia alami. "A Story of Wounds" adalah sebuah harapan sederhana, yaitu membawa pesan berharga ini ke penonton yang lebih luas. Sesederhananya menciptakan kesadaran akan isu yang telah berlarut-larut di masyarakat kita ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun