Baru-baru ini saya menemukan miskonsepsi mengenai ketenangan dan keheningan.
Tenang (menurut definisi yang saya pinjam dari KBBI), bermakna tidak gelisah: tidak rusuh; tidak kacau; tidak ribut; aman dan tenteram, sedangkan hening berarti diam; sunyi; sepi; lengang.
Saya membedah pikiran saya dalam perbandingan ini. Kedua kata yang sangat dekat, bahkan dapat dikaitkan dengan satu sama lain. Namun, ada hal yang menarik.
Hening adalah kontradiksi dari bising, ramai, dan ribut.
Tenang dapat dipadukan dengan bising, ramai, dan ribut.
Kita bisa merasakan tenang di tengah hingar bingar.
Kita bisa merasakan tenang di tengah kebisingan.
Kita bisa merasakan tenang di tengah kekacauan.
Dari situlah saya melihat bahwa ketenangan tidak hanya didapatkan dari kesunyian atau keheningan semata. Dengan menyadari bahwa kita memiliki kontrol atas kondisi pikiran (state of mind), kedua hal yang dianggap bertentangan dapat berjalan bersamaan.
Seringkali kita dihadapkan dengan kondisi yang membuat kita naif, melihat semuanya apa adanya. Hitam sebagai hitam, putih sebagai putih.
Saat keduanya bercampur dan menjadi abu-abu, kita tidak pernah melihat takaran seberapa banyak warna putih maupun warna hitam yang ada di dalamnya.
Kita pasti sering mendengar ucapan belasungkawa yang menyebutkan, “semoga diberikan ketenangan di sisi-Nya”.
Kenapa seseorang hanya didoakan ketenangan ketika sudah meninggal dunia? Bagaimana dengan saat ini? Dalam kehidupan ini? Tidakkah kita juga butuh ketenangan saat menghadapi berbagai situasi?
Ketika terjebak pada situasi yang runyam, menegangkan, dan riuh, kita mungkin terlalu sibuk untuk memutar sudut pandang. Padahal, ketenangan juga dapat hadir tidak hanya dalam keheningan.
Mungkin, selama ini ketenangan yang kita cari tersembunyi di antara kebisingan dunia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H