Ketika melihat gambar tersebut, apa yang muncul dalam pikiran? Saya menanyakan pertanyaan tersebut pada diri saya, lalu memberikan jawaban sebagai berikut:
Apel ini menggambarkan manusia, karena apel merupakan benda mati dan tidak dapat bercermin. Apel yang dipantulkan menunjukkan kesempurnaan dan keutuhan, dan apel yang bercermin melambangkan kekurangan atau ketidaksempurnaan.
 Pertanyaan selanjutnya, makna seperti apa yang muncul ketika melihat gambar tersebut?
Muncul beberapa interpretasi yang muncul dalam pikiran saya:
- Apel tersebut menunjukkan bahwa seperti apapun kekurangan yang dimiliki, manusia merupakan individu yang utuh.
- Manusia menutupi kekurangan yang ada dengan menunjukkan kesempurnaan dirinya.
Premis pertama menunjukkan optimisme, sedangkan premis kedua menunjukkan hipokrisi. Saya tidak mengatakan bahwa kedua kalimat saya benar atau akurat. Â Pasti terdapat pendapat lain, tergantung pada pengalaman dan proses yang dijalani oleh setiap orang (Samovar, 2017). Bisa jadi gambar tersebut tidak memiliki makna apa-apa di mata seseorang. Bisa jadi gambar tersebut memiliki makna yang dalam di mata seseorang.
Saya berpikir bagaimana asumsi-asumsi tersebut dapat terbentuk dan berusaha memetakan pemikiran saya.
Ketika melihat gambar tersebut, teringat kembali memori ketika saya menjalani pembelajaran di SMA. Refleksi merupakan hal yang dilakukan sebagai rutinitas sehingga saya terbiasa merenung dan memberi makna pada hal yang saya alami.Â
Ketika melihat gambar apel tersebut, saya teringat pada proses refleksi saya. Apel tersebut tampak seperti berkaca, melihat kelebihan dirinya dalam pantulan / refleksi, padahal kenyataannya tidak sempurna.
Seringkali saya memiliki pemikiran bahwa kekurangan dan kelebihan manusia merupakan indikator manusia yang utuh. Maka kecenderungan saya untuk berpikir demikian semakin jelas.
Setelah memikirkan kembali jawaban saya, kemudian muncul pemikiran kedua. Bagaimana jika hal tersebut menggambarkan manusia yang menyembunyikan kekurangannya?Â
Bagaimana jika sosok yang dipantulkan adalah harapan atau ekspektasi mengenai dirinya sendiri? Asumsi ini muncul dari realita yang saya alami sehari-hari melalui media sosial.Â
Dalam media sosial, tidak sedikit orang yang menunjukkan kesempurnaan dan kebahagiaan hidupnya. Pengguna media sosial (termasuk saya sendiri) seakan berpura-pura dan menyaingkan kisah hidup untuk mendapatkan perhatian atau atensi orang lain.Â
Seiring berjalannya waktu, kesedihan dan kesulitan menjadi sebuah denial dalam media sosial. Dari sinilah saya berasumsi bahwa gambar tersebut menunjukkan sisi hipokrisi.
Proses yang saya jalani tersebut menimbulkan persepsi dan kepercayaan saya terhadap sesuatu. Hal ini berlaku pada kehidupan manusia sehari-hari. Segala tindakan, pola pikir, dan gagasan yang dimiliki individu adalah hasil dari pengalaman dan kepercayaan yang tertanam. Tentunya kedua hal tadi merupakan sebagian kecil dari indikator pemikiran seseorang.
Saya mengambil pembiasan sebagai gambaran bagaimana manusia membentuk persepsi. Contohnya seperti melihat kolam renang dari permukaannya. Ketika dilihat, kolam renang tampak dangkal, bisa saja orang yang ingin melompat berpikir bahwa kolam renang tersebut dangkal.Â
Walaupun begitu, keberadaan konsep pembiasan memberikan orang tersebut pertimbangan untuk melompat ke kolam. Apabila dihubungkan, pembiasan menjadi fungsi dari refleksi dan memperkaya refleksi. Ruang bias dalam persepsi menjadi celah bagi refleksi untuk memberikan alternatif dalam berpikir.
DAFTAR PUSTAKA
Samovar, L.A., Porter, R.E., McDaniel, E.R., & Roy, C.S. (2017). Communication Between Cultures, Ninth Edition. Boston: Â Cengage Learning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H