Â
[caption caption="Saya ambil dari google images."][/caption]
Beberapa kali kalau lagi ngobrol sama Ibu, pasti cerita soal masa kecilnya. Ya, masa kecil waktu dia masih SD.
Banyak guyonan dan kata baru dalam istilah bahasa Jawa yang terkadang aku baru dengar.
Ibuku lahir dan besar di Kunden, Kelurahan Jetis Wetan, Kabupaten Klaten. Aku tahu beberapa teman SD-ku juga ada yang masih tinggal disana. Maklum, dari SD sampai kuliah, saya tinggal sama Ibu di rumah mbah di Kunden. Kembali ke cerita semasa kecil Ibu.
Ibu menggambarkan Dukuh Kunden sebagai wilayah yang sangat miskin. Belum ada listrik. Ibuku lahir pada 1961, jadi kalau dia kelas 2 SD kemungkinan saat itu sekitar tahun 1969-1970.
(Catatan: Kunden sekarang presentase rumah tangga miskin sudah berkurang drastis. Berdasarkan penghilatan saya terakhir pulang, sudah banyak yang punya mobil).
Kunden, dinamakan begitu karena banyak warganya bergantung hidup menjadi 'kundi' atau pembuat kerajinan gerabah. Bayangkan, harga gerabah kala itu sangat murah. Aku tidak tahu pastinya. Yang pasti, nenekku (Ibunya ibuku) tidak bisa hidup layak dengan pekerjaan itu. Kakekku (ayahnya ibuku) seorang pekerja seni. Bisa dikatakan seni yang sangat keren bahkan sampai sekarang. Dalang. Tapi kakek juga bisa main banyak alat musik, menari, dan kesenian Jawa lainnya. Tapi itu juga tidak cukup karena tiap hari beluk tentu ada yang 'nanggap' wayang. Apalagi, anak kakekku ada 7.
Hehehe
※Plek plek ser!!
Ibuku cerita kalau di sekolah dia dan teman-temannya yang berasal dari Kunden dibully. Yes, bullying sudah dari dulu memang.
Mereka dikatain 'Dasar plek plek ser!'
Ini istilah baru yang saya dengar dari cerita ibuku. Plek plek ser... haha
Plek plek ser adalah suara yang biasanya terdengar saat kundi membuat gerabah. Plek plek merupakan suara yang keluar saat tangan memukul tanah liat yang basah untuk membentuk gerabah. Sementera suara ser keluar saat kundi memutar gerabah yang sedang dibuat di atas piringan yang bisa berputar.
Tapi bagaimanapun, sekarang profesi kundi sudah semakin menipis. Bahkan di Dukuh Kunden yang namanya diambil dari kata kundi pun sudah jarang yang berprofesi sebagai kundi. Hanya bisa dihitung pakai jari tangan saja.
※Layar tancap
Cerita lainnya saat ibuku kelas 2 SD. Segerombolan anak kecil dari Kunden berjalan beriringan pada malam hari yang kala itu belum ada listrik.
Mereka menuju ke sebuah lapangan yang agak jauh dari tempat tinggal. Lapangan Beji, kelurahan sebelah. Biasanya kalau ada acara sunatan, mereka yang hidup kaya bisa sewa layar tancap untuk merayakan peristiwa sekali seumur hidup itu.
Tontonannya ya film-film Roma Irama. Hehe.
Ibuku cerita kalau anak-anak dari Kunden ke sana tanpa pernah membawa uang untuk membeli kacang atau es sambil nonton. Mereka semua memang tidak punya uang termasuk ibuku.
Aku tanya ke ibuku 'Kenapa gak bawa bekal cemilan dari rumah?'
Ternyata memang tidak ada makanan apapun. Huhu. Akhirnya mereka hanya mampu menelan ludah dan menahan kecutnya mulut. Tapi, untung ada fokus lainnya yang lebih penting. Ya, film itu sendiri.
Layar tancap itu sangat jarang ada, sekalinya ada tidak diadakan pada Sabtu malam. Jadi, anak-anak tetap harus pulang lebih awal karena besoknya harus sekolah.
Jam terbaik kala itu adalah ketika kakekku datang mencari ibuku di lapangan untuk dijemput pulang. Ibuku dijemput dengan sepeda, sementara teman-teman yang lain tetap harus berjalan kaki pulang. Tapi mereka semua tidak ada yang iri. Mereka pulang dengan senang.
※ Sandal Jepit dan Air Sumur
Ibuku sempat merasakan bangku sekolah hingga lulus dari SMP. Tapi kisah kali ini dia ceritakan saat masih SD.
Sekolahnya termasuk bagus tapi bau menyengat dari kotoran dan kencing tikus menganggu proses belajarnya. Entah, kenapa tidak dibersihkan.
Yang lebih miris lagi, ibuku tidak punya sepatu untuk sekolah. Dia harus bersekolah dengan bertelanjang kaki. Bayangkan!
Kenapa tidak pakai sandal jepit? Ternyata guru melarang penggunaan sandal jepit. Lebih baik tidak memakai alas kaki apapun karena tidak punya sepatu. Ibuku cerita kalau harus menghindari banyaknya kotoran ayam di halaman sekolah. Hehe.
Kasihan...
Ibuku harus menahan lapar di sekolah karena tidak sarapan dan tidak punya uang untuk jajan di sekolah. Tapi kadang ada teman baik yang menraktirnya di sekolah.
Tiap pulang sekolah, dia dan teman-temannya berjalan kaki menuju rumah. Sampai pada sumur salah satu temannya, mereka menimba dan meminum langsung air itu.
Kata ibuku, rasanya segar dan lega. Haus dan lapar langsung hilang.
Walaupun kadang teman-temannya bercanda dengan berlarian untuk mendengarkan suara air yang bergoncang di perut mereka. Ya, perut mereka hanya berisi air siang itu.
Sampai rumah, makan siang seadanya. Ibuku heran, semua anak-anak kakek nenekku tidak ada yang protes. Semuanya bersyukur hari itu bisa makan.
---
Tiga cerita itu dulu, memang masih banyak yang diceritakan ibuku.
Cerita ibu membuatku sangat bersyukur hidup di zaman yang serba modern.
Lebih bersyukur lagi karena sekarang aku bisa membantui ibu.
I love you, mom.
#ceritaibu
Catatan: Jangan lupa bagikan cerita Ibumu atau ayahmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H