Cerita lainnya saat ibuku kelas 2 SD. Segerombolan anak kecil dari Kunden berjalan beriringan pada malam hari yang kala itu belum ada listrik.
Mereka menuju ke sebuah lapangan yang agak jauh dari tempat tinggal. Lapangan Beji, kelurahan sebelah. Biasanya kalau ada acara sunatan, mereka yang hidup kaya bisa sewa layar tancap untuk merayakan peristiwa sekali seumur hidup itu.
Tontonannya ya film-film Roma Irama. Hehe.
Ibuku cerita kalau anak-anak dari Kunden ke sana tanpa pernah membawa uang untuk membeli kacang atau es sambil nonton. Mereka semua memang tidak punya uang termasuk ibuku.
Aku tanya ke ibuku 'Kenapa gak bawa bekal cemilan dari rumah?'
Ternyata memang tidak ada makanan apapun. Huhu. Akhirnya mereka hanya mampu menelan ludah dan menahan kecutnya mulut. Tapi, untung ada fokus lainnya yang lebih penting. Ya, film itu sendiri.
Layar tancap itu sangat jarang ada, sekalinya ada tidak diadakan pada Sabtu malam. Jadi, anak-anak tetap harus pulang lebih awal karena besoknya harus sekolah.
Jam terbaik kala itu adalah ketika kakekku datang mencari ibuku di lapangan untuk dijemput pulang. Ibuku dijemput dengan sepeda, sementara teman-teman yang lain tetap harus berjalan kaki pulang. Tapi mereka semua tidak ada yang iri. Mereka pulang dengan senang.
※ Sandal Jepit dan Air Sumur
Ibuku sempat merasakan bangku sekolah hingga lulus dari SMP. Tapi kisah kali ini dia ceritakan saat masih SD.
Sekolahnya termasuk bagus tapi bau menyengat dari kotoran dan kencing tikus menganggu proses belajarnya. Entah, kenapa tidak dibersihkan.
Yang lebih miris lagi, ibuku tidak punya sepatu untuk sekolah. Dia harus bersekolah dengan bertelanjang kaki. Bayangkan!
Kenapa tidak pakai sandal jepit? Ternyata guru melarang penggunaan sandal jepit. Lebih baik tidak memakai alas kaki apapun karena tidak punya sepatu. Ibuku cerita kalau harus menghindari banyaknya kotoran ayam di halaman sekolah. Hehe.
Kasihan...
Ibuku harus menahan lapar di sekolah karena tidak sarapan dan tidak punya uang untuk jajan di sekolah. Tapi kadang ada teman baik yang menraktirnya di sekolah.
Tiap pulang sekolah, dia dan teman-temannya berjalan kaki menuju rumah. Sampai pada sumur salah satu temannya, mereka menimba dan meminum langsung air itu.
Kata ibuku, rasanya segar dan lega. Haus dan lapar langsung hilang.
Walaupun kadang teman-temannya bercanda dengan berlarian untuk mendengarkan suara air yang bergoncang di perut mereka. Ya, perut mereka hanya berisi air siang itu.
Sampai rumah, makan siang seadanya. Ibuku heran, semua anak-anak kakek nenekku tidak ada yang protes. Semuanya bersyukur hari itu bisa makan.