Mohon tunggu...
Verno Nitiprodjo
Verno Nitiprodjo Mohon Tunggu... -

Praktisi Komunikasi Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Money

Bagaimana Melamar Kerja Menjadi Presiden

4 Juni 2015   12:06 Diperbarui: 4 Agustus 2015   18:48 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial memang sudah jadi warung kopi sejuta umat manusia modern saat ini. Mudah kita menemukan obrolan santai komunitas atau mereka yang berbagi moment pribadi dengan selfie di meja makan. Tidak urung banyak media sosial yang penggunaanya melenceng dari tujuan awal dibuatnya menjadi buat jualan barang-barang komersil ala kaki lima bahkan korporasi pun sudah latah memanfaatkannya . Sudah mahfum juga, media sosial juga dieksploitasi untuk memasarkan produk politik.

Masih lekat di ingatan kita bagaimana Obama berinteraksi dengan calon pemilihnya melalui twitter dan facebook saat kampanye maupun di masa jabatannya. Sontak setelah itu banyak calon (yang ingin) jadi pemimpin politik menduplikasi caranya. Kini Hillary Clinton pun memulai manuvernya di media sosial.

I created LinkedIn profile.

Yes, I'm looking for a new job.

 [caption caption="Posting singkat penuh makna"][/caption]

Bagi masyarakat gaul digital, keberadaan LinkedIn masih belum terlalu dianggap “heitz”  karena platform narsisnya yang memang tidak seleluasa Facebook dengan kemudahan berbagi foto & video, atau Path yang dengan layanan “maaf saya selektif memilih siapa teman saya” sedang digemari. Bahkan layanan  sesederhana Twitter yang menantang penggunanya curhat dalam kreativitas 140 karakter juga masih menjadi primadona di kalangan netizen.

LinkedIn memang diciptakan buat mereka yang senang menjalin networking secara profesional  kerja sambil siap siaga dicaplok oleh kesempatan berkarir di perusahaan lain. Karena para penggunanya bukan hanya para professional pencari kerja tapi juga perusahaan yang memantau berbagai talenta yang mungkin saja cocok untuk diajak berkembang bersama. Singkatnya ini merupakan market place dunia kerja profesional.

Hillary Clinton menggunakan LinkedIn untuk aksi publicity stunt yang cerdik (dan diharapkan mampu) mengundang berita dan pembicaraan. Bahkan kolom headline yang dedikasikan LinkedIn di setiap akun untuk jargon atau pekerjaan terkini sang pengguna, diunggah Hillary dengan singkat dan jelas: “2016 Presidential Candidate”

Sejak 10 hari pertama sejak statusnya diposting, Hillary sudah mendapatkan 57.462 likes dan 2.267 komentar dari pengguna LinkedIn. Berikutnya apa yang dilakukan Hillary (atau besar kemungkinan tim suksesnya) persis seperti pengguna LinkedIn lainnya, menampilkan sepak terjang karir professional politiknya bahkan seawal saat dia memulai debutnya sebagai pengacara pembela hak anak saat di Massachusetts.

Hillary memposisikan dirinya betul-betul sebagai “pencari kerja” untuk menjual dirinya. Tanpa berlebihan make -up profesionalisme kerja di setiap episode kerjanya, dia memberikan ringkasan profil pribadi sekaligus profesionalnya dalam kalimat sederhana yang seolah dia mewakili banyak hal dari berbagai kalangan:

“wife, mother, grandmother, women and kids advocate, FLOTUS, FLOAR, Senator, Secretary of State, dog person, hair icon, pantsuit aficionado, 2016 presidential candidate”

Sebagian dari predikat di atas memang disematkan pada dirinya atau yang dia klaim di akun media sosial miliknya seperti Twitter.

Apa yang dilakukan Hillary dengan LinkedIn bisa menjadi contoh kasus menarik bagaimana seorang markerter membumikan sebuah vehicle yang sudah ada serta dikenal oleh umum menjadi sebuah  alat pemasaran. Deklarasi menjadi kandidat Presiden Amerika Serikat 2016 untuk kedua kalinya via media sosial dia coba gaungkan menggunakan analogi platform LinkedIn: “Hey, I’m available on the market, please hire me!”

Kadang kita para marketer cenderung menghabiskan banyak bujet untuk memasarkan sebuah kampanye dan menjustifikasinya sebagai investasi yang memang seharusnya mahal. Hasilnya akan kita tuai nanti. Kalimat barusan bisa ada benarnya, namun tidak melulu menjadi patokan sebuah kampanye pemasaran yang efektif apalagi efisien.

Menelurkan sebuah ide yang efektif dan efisien memang bukan perkara yang mudah. Apalagi yang orisinal. Dalam perjalanan pengolahan ide pemasaran yang efektif-efisien-orisinal inilah biasanya terjadi pertempuran antara adu gengsi belajar dari kampanye yang berhasil dan ego ingin menjadi yang pertama. Padahal menjadi yang pertama tidak selalu harus menjadi lain sama sekali dari yang pernah ada.

Pada kasus Hillary, saya yakin dia bukan politkus pertama yang memakai LinkedIn. Tapi dia kandidat Presiden Amerika Serikat 2016 pertama yang menggunakannya. She claims it first before others. That’s innovation.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun