Mohon tunggu...
Vernisha Valencia Kho
Vernisha Valencia Kho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Belajar dari Erupsi Gunung Semeru, Bagaimana Kejadian Risiko, Dampak, dan Budaya Risiko yang Harus Diterapkan?

13 Desember 2021   22:47 Diperbarui: 5 Desember 2022   08:55 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Semeru | sumber: okezonetravel.com

Gunung Semeru yang berlokasi di Jawa Timur merupakan salah satu dari lebih dari 100 gunung berapi yang aktif di Indonesia.

Ini juga merupakan puncak tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian mencapai 3676 meter diatas permukaan laut (mdpl), serta merupakan gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia setelah Gunung Kerinci (3805 mdpl) dan Gunung Rinjani (3726 mdpl). 

Menurut data yang diperoleh, letusan Gunung Semeru pertama terjadi pada tahun 1818 yang sejak saat itu disusul oleh letusan letusan besar lainnya pada tahun 1941, 1942, 1945, 1946, 1947, 1950, 1951, 1952, 1953, 1954, 1955 - 1957, 1958, 1959, 1960, 1977, 1978 - 1989.

Dan ini tercatat juga letusan paling mematikan dari Gunung Semeru terjadi pada 29 Agustus 1909, dimana aliran piroklastik dan lava berhasil menghancurkan 38 pemukiman warga, 600 - 800 hektar lahan pertanian serta memakan 208 korban jiwa.

Erupsi Gunung Semeru kembali terjadi 11 hari yang lalu atau lebih tepatnya pada 4 Desember 2021. Plt Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyampaikan bahwa korban yang ada terus bertambah.

Hingga saat ini berdasarkan data korban yang terakhir dilaporkan sudah tercatat ada 46 orang meninggal dunia, 18 orang luka berat, 11 orang luka sedang, 169 orang luka ringan, dan masih ada 9 orang yang dinyatakan hilang.

Erupsi Gunung Semeru, 4 Desember 2021 |sumber: Surya.co.id
Erupsi Gunung Semeru, 4 Desember 2021 |sumber: Surya.co.id

Titik lokasi pengungsian terus mengalami peningkatan mencapai 121 lokasi yang tersebar di beberapa titik, diantaranya:

  1. Kecamatan Pronojiwo - 10 lokasi (525 orang)
  2. Kecamatan Candipuro - 10 lokasi (2.331 orang)
  3. Kecamatan Pasisiran - 4 lokasi (1.307 orang)
  4. Kecamatan Lumajang - 11 lokasi (335 orang)
  5. Kecamatan Tempeh - 13 lokasi (640 orang)
  6. Kecamatan Sukodono - 9 lokasi (204 orang)
  7. Kecamatan Senduro - 4 lokasi (66 orang)
  8. Kecamatan Sumbersuko - 7 lokasi (302 orang)
  9. Kecamatan Padang - 3 lokasi (62 orang)
  10. Kecamatan Tekung - 3 lokasi (67 orang)
  11. Kecamatan Yosowilangun - 7 lokasi (89 orang)
  12. Kecamatan Kunir - 7 lokasi (127 orang)
  13. Kecamatan Jatiroto - 3 lokasi (59 orang)
  14. Kecamatan Rowokangkung - 4 lokasi (37 orang)
  15. Kecamatan Randuagung - 6 lokasi (24 orang)
  16. Kecamatan Ranuyoso - 1 lokasi (26 orang)
  17. Kecamatan Klakah - 5 lokasi (45 orang)
  18. Kecamatan Gucialit - 3 lokasi (11 orang)
  19. Kecamatan Pasrujambe - 2 lokasi (212 orang)
  20. Kecamatan Tempursari - 2 lokasi (23 orang)
  21. Kecamatan Kedungjajang - 7 lokasi (50 orang)


Karena Indonesia merupakan negara yang masuk dalam kawasan Cincin Api Pasifik, seharusnya masyarakat lebih siap siaga akan terjadinya gunung meletus. 

Masyarakat setidaknya harus tau beberapa tanda gunung yang akan meletus, seperti yang diungkapan oleh Penelitian Kebencanaan Universitas Padjajaran, Dicky Muslim.

Tanda alam yang bisa dirasakan salah satunya adalah gempa tremor yang terjadi akibat adanya pergerakan magma ke permukaan bumi, lalu hal lain yang bisa dirasakan adalah adanya suara bergemuruh, hawa yang berubah menjadi panas, guguran kaldera di bagian atas serta ada pula tanda tanda biologi seperti keluarnya sejumlah binatang dari hutan gunung.

Jika sudah ada tanda tanda seperti yang dijabarkan diatas, maka masyarakat dihimbau untuk waspada dan segera mencari lokasi yang aman. Masyarakat harus segera lari menyelamatkan diri karena tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko.

Menurut Pakar Geofisika Universitas Gadjah Mada, Dr. Wahyudi MS sebelum terjadinya erupsi, Gunung Semeru sudah "memberikan tanda tanda" yang seharusnya sudah bisa dijadikan perkursor akan terjadinya erupsi yang lebih besar dalam wakti dekat. Tanda tanda yang disebutkan seperti:

  • Sejak 2012, status aktivitas Gunung Semeru sudah ditetapkan pada level II (waspada)
  • Pada September 2020, sudah terlihat ada aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu abu setinggi 200 - 700 meter di puncak Semeru
  • Pada Oktober 2020, terlihat lagi ada kepulan asap putih dan abu abu setinggi 200 - 1.000 meter di puncak Semeru
  • Pada 1 September 2020, terjadi awas panas sepanjang 2 - 11 kilometer ke arah Kobokan di lereng tenggara.
  • Sejak 90 hari terakhir sebelum erupsi, sudah ada peningkatan aktivitas gempa letusan di Gunung semeru dengan rata rata di atas 50 kali per harinya, dan bahkan ada yang mencapai 100 kali sehari, dimana gempa letusan sendiri sudah menandakan bahwa material sudah naik ke permukaan.

Luncuran Awan Panas Gunung Semeru, 1 Desember 2021 | sumber: Antarafoto
Luncuran Awan Panas Gunung Semeru, 1 Desember 2021 | sumber: Antarafoto

Karena hampir 40% mata pencaharian masyarakat disana adalah penambang pasir, selain adanya tanda tanda yang disebutkan oleh para ahli, ada juga kesaksian dari salah satu penambang pasir yang berhasil selamat dari Erupsi Gunung Semeru. 

Sulianto mengungkapkan bahwa dia dan beberapa teman seprofesinya langsung lari begitu sadar Gunung Semeru sudah tertutup oleh asap tebal hitam. 

Kesaksian yang disampaikan oleh Sulianto merupakan salah satu contoh dampak positif dari masyarakat yang "mawas diri" dan sadar akan risiko terjadinya bencana yang dalam hal ini adalah gunung meletus. 

Kesadaran diri dari masyarakat terhadap risiko sangatlah penting untuk meminimalisir kerugian yang dapat dialami, apalagi Indonesia termasuk negara yang cukup sering terjadi bencana seperti ini. 

Menurut saya, masyarakat Indonesia juga perlu diajarkan bagaimana cara menghadapi bencana alam atau setidaknya bagaimana cara untuk melindungi diri sendiri. 

Seperti contohnya, di Jepang semua anak sekolah memiliki pelajaran khusus yang mengajarkan cara berlindung atau bahkan rutin memberikan simulasi agar semua muridnya tahu apa yang harus mereka lakukan jika nantinya bencana tersebut terjadi. 

Masyarakat Indonesia juga perlu lebih diedukasi mengenai tanda tanda terjadinya bencana, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di dekat gunung dan pantai.

Karena kerugian yang dihasilkan tidak hanya dari segi materil tetapi sampai memakan korban jiwa, mari kita sama sama menanam budaya risiko dan membangun sikap waspada terhadap bencana! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun