Bagi penggemar film drama Indonesia, nama Hanung Bramantyo tentunya sudah tidak asing lagi. Sutradara fenomenal ini telah menghadirkan banyak karya berkualitas seperti Catatan Akhir Sekolah, Ayat-Ayat Cinta, hingga Sultan Agung. Kali ini, Hanung kembali memanjakan para penikmat sinema Tanah Air lewat film terbarunya yang berjudul "Tuhan Izinkan Aku Berdosa". Diadaptasi dari novel kontroversi Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhyiddin M Dahlan, film ini mengupas topik sensitif seputar kemunafikan, radikalisme agama, dan kekerasan seksual dengan berani dan vulgar. Meskipun terkesan menantang, Tuhan Izinkan Aku Berdosa justru menjadi tontonan wajib untuk membuka mata kita terhadap realita masyarakat yang masih dibelenggu kebohongan.Â
Mengisahkan Perjuangan Seorang Perempuan Melawan Lingkungan Munafik Berlatar di sebuah pemukiman kumuh, Tuhan Izinkan Aku Berdosa mengisahkan perjuangan seorang mahasiswi bernama Kiran (Ahnini Haq) yang hidup dalam lingkungan religius yang munafik. Meski dikenal sebagai pribadi yang taat beragama, justru Kiran harus menelan pil pahit berturut-turut. Dimulai dari difitnah, dikhianati teman dekat, hingga mengalami penyiksaan fisik dan seksual yang menyakitkan. Melalui rangkaian peristiwa tragis ini, Hanung berusaha mengangkat tabir betapa masih banyak oknum yang menggunakan topeng kesalehan untuk menutupi kemunafikan mereka.Â
Semua drama pelik Kiran dituturkan Hanung dengan gaya penceritaan yang unik dan kredibel. Dengan memadukan alur maju-mundur antara masa lalu dan masa kini, penonton seolah dibawa untuk merasakan kepahitan dan keputusasaan Kiran secara perlahan tapi pasti. Transisi antaradegan yang smooth dan penggunaan teknik sinematografi seperti long take mampu menciptakan atmosfer mencekam yang mencengkeram. Di sisi lain, pemilihan warna dan shot kreatif seperti memantulkan cermin juga turut menghidupkan kesan estetik, meski berlokasi di kawasan kumuh. Kolaborasi visual dan naratif yang begitu matang ini sungguh memanjakan mata sekaligus mengusik kalbu para penonton.Â
Tentunya, tonggak utama keberhasilan Tuhan Izinkan Aku Berdosa terletak pada kemampuan akting para pemainnya. Ahnini Haq benar-benar meledak dalam pemerananya sebagai Kiran. Seluruh emosi yang ia torehkan, mulai dari depresi, amarah, dendam, hingga tangisan pilu begitu meyakinkan dan merasuk ke dalam jiwa penontonnya. Berkat penghayatan yang begitu dalam, tak heran jika aktris berbakat ini berpeluang mendapatkan penghargaan akting terbaik tahun ini.
Didukung kemampuan akting para pendukung seperti Doni Damara sebagai Pak Tomo, Andri Marsaid sebagai Darul, hingga Vanesha Prescilla, dinamika dan konflik antarkarakter pun terjalin dengan begitu alami dan realistis. Pada titik ini, kita dapat melihat betapa kuatnya kekuatan drama yang dibangun Hanung melalui pergolakan emosi dan chemistry para pemain utamanya. Satu-satunya kelemahan terletak pada para pemeran figuran yang terkadang masih terlihat kaku dan jauh dari natural. Namun hal ini dapat dimaklumi mengingat fokus utama film memang berpusat pada deretan aktor dan aktris utamanya.
Jika dirunut hingga babak akhir, memang terdapat banyak moment-moment menghentak yang membuat penonton menjerit frustrasi. Seperti saat Kiran menghadapi segala ketidakadilan hingga mencapai titik tergelap dalam hidupnya. Namun semua itu justru menjadi representasi kisah seorang perempuan yang terus diuji dengan berbagai cobaan tanpa henti.
Terlepas dari kontroversinya, babak penghujung ini memiliki banyak nilai moral untuk direnungi. Bahwa kepercayaan yang kokoh akan membawa kita menemukan hakikat sejati di balik semua drama kehidupan. Pesan inilah yang ingin disampaikan Hanung kepada penontonnya. Meski harus mengalami kegelapan karena dikhianati dan disiksa, pada akhirnya Kiran mampu keluar dari lingkaran setan itu dan menemukan kebahagiaan lewat kekokohan imannya.
Namun yang disayangkan, kualitas cerita yang awalnya amat mencengangkan justru tampak sedikit menurun di babak akhir. Penyelesaian plot yang dipaksakan dan sedikit terburu-buru seakan menjadi pukulan yang cukup mengecewakan, terlebih bagi penonton yang sangat mengapresiasi kompleksitas jalan cerita di awal film. Adegan seperti insiden Kiran memaki-maki Tuhan di atas gunung pun terkesan terlalu didramatisir dan mengurangi kesan elegan yang dibangun sebelumnya. Ditambah lagi beberapa momen transisi seperti montase kedekatan Kiran dengan Darul yang terlalu cepat dan dipaksakan.
Tentunya hal ini dapat kita maklumi sebagai upaya sutradara untuk mengakomodasi pemahaman mayoritas penonton Indonesia yang minim literasi. Namun tetap tak menafikan fakta bahwa eksekusi semacam ini sedikit mengurangi nilai film secara keseluruhan. Terkesan seperti Hanung "terburu-buru" memberikan pesan moral di akhir, yang mana seharusnya bisa disampaikan dengan lebih apik lagi mengingat kompleksitas alur sebelumnya. Sebuah dilemma tersendiri bagi sineas yang ingin membuat karya menghentak namun tetap mudah dicerna masyarakat luas.
Kemunafikan masyarakat Muslim Indonesia dikupas dengan begitu gamblang lewat adegan-adegan penyiksaan seksual yang vulgar dan tak tersensor. Memang terlihat mengerikan, tetapi justru itulah yang ingin ditunjukkan Hanung kepada kita semua. Bahwa di balik topeng kesalehan masyarakat kita, ada banyak wajah busuk yang tega melakukan aksi amoral dengan mengatasnamakan agama.