Mohon tunggu...
Verlandi Putra
Verlandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Malam Pencabut Nyawa: Sebuah Gagasan Segar yang Terperangkap dalam Kebiasaan Lama

27 Mei 2024   21:45 Diperbarui: 27 Mei 2024   21:45 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
instagram.com/FILM_Indonesia 

Poster film horor Indonesia terkadang menjadi duri dalam daging bagi para penggemar film tanah air. Desain yang murahan, warna yang mencolok, dan ekspresi berlebihan seringkali membuat calon penonton memutuskan untuk tidak menonton film tersebut. Hal ini juga dialami oleh film "Malam Pencabut Nyawa", adaptasi dari novel karya Ragil JP yang disutradarai oleh Sidarta Tata.

Meski memiliki premis yang menarik dan aspek teknis yang cukup bagus, film ini terperangkap dalam kebiasaan lama yang sering menjerat film horor Indonesia: kegagalan dalam menghadirkan ketegangan dan ketakutan yang seharusnya menjadi esensi utama genre horor.

"Malam Pencabut Nyawa" mengisahkan tentang Respati, seorang siswa SMA yang diperankan oleh Defano Danendra. Respati memiliki kemampuan unik untuk memasuki dunia mimpi, di mana ia menyaksikan orang-orang yang meninggal dengan cara misterius di dunia nyata. Ternyata, ada sosok jahat yang membunuh orang-orang melalui mimpi mereka, dan Respati harus menggunakan kekuatannya untuk menghentikan makhluk tersebut.

Premis ini terdengar segar dan menarik, terutama dengan penggabungan unsur horor dan superhero dalam satu cerita. Sayangnya, eksekusi yang kurang matang membuat potensi gagasan tersebut tidak tergali dengan maksimal.

Salah satu masalah terbesar dari "Malam Pencabut Nyawa" adalah kegagalannya dalam membangun ketegangan dan ketakutan yang seharusnya menjadi inti dari sebuah film horor. Sepanjang film, tidak ada satu adegan pun yang berhasil membuat penonton merasa ngeri atau was-was.

Adegan-adegan yang seharusnya berpotensi untuk menciptakan suspense dan jumpscare justru terasa hambar dan kurang greget. Misalnya, adegan di malam hari yang seharusnya mencekam, malah terasa biasa saja karena tidak ada pengolahan suasana yang baik. Bahkan, metode jumpscare yang paling sering digunakan dalam film ini adalah karakter yang tiba-tiba mengadah ke atas, yang terasa repetitif dan kurang efektif.

Masalah ini mungkin disebabkan oleh kegagalan sutradara dalam mengolah timing dan membangun klimaks yang tepat. Padahal, aspek horor seharusnya menjadi prioritas utama dalam sebuah film bergenre horor, bukan aspek lainnya seperti plot atau sinematografi.

Dari segi visual, "Malam Pencabut Nyawa" cukup memuaskan. Efek visual dan dunia mimpi yang dibangun dalam satu set studio terlihat realistis dan tidak murahan. Grading warna juga cukup bagus, menciptakan nuansa yang sesuai dengan tema film.

Sayangnya, desain karakter villain utama justru menjadi salah satu titik lemah film ini. Sosok setan dengan gigi tonggos yang menyerupai ikan pemancing terlihat lebih kocak daripada menakutkan. Sebuah ironi, mengingat villain seharusnya menjadi sosok yang paling menyeramkan dalam sebuah film horor.

Selain itu, penggunaan lensa yang kurang tepat juga menjadi masalah tersendiri. Beberapa adegan memiliki bokeh yang terlihat luber dan tidak rapi, meskipun mungkin ini memang disengaja untuk memberikan kesan halusinasi yang seringkali hadir dalam dunia mimpi.

Masalah lain yang sering muncul dalam film horor Indonesia juga hadir dalam "Malam Pencabut Nyawa", yaitu penceritaan yang terburu-buru dan kurang mendalam. Film ini seolah-olah terjebak dalam "sindrom dongeng", di mana sutradara merasa perlu menjelaskan setiap detail cerita melalui narasi atau adegan flashback agar penonton tidak kebingungan.

Padahal, penonton Indonesia saat ini sudah cukup matang untuk menikmati penceritaan yang lebih kompleks dan tidak selalu perlu didongengi dari awal hingga akhir. Pendekatan seperti ini justru membuat film terasa kurang alami dan kaku dalam mengeksplorasi premisnya.

Selain itu, kurangnya pendalaman karakter juga menjadi masalah yang cukup fatal. Tidak ada eksplorasi mendalam tentang bagaimana Respati mendapatkan dan menguasai kekuatannya, sehingga pada akhirnya ia terlihat seperti seorang superhero instan yang bisa melakukan segala hal tanpa penjelasan yang masuk akal.

Momen-momen emosional yang seharusnya menjadi klimaks cerita pun terasa hambar karena tidak didukung oleh pendalaman karakter yang cukup. Penonton tidak diberi kesempatan untuk memahami hubungan antara Respati dengan keluarganya atau Wulan dengan ibunya, sehingga momen-momen tersebut terasa dipaksakan dan kurang menyentuh.

Di tengah kekurangan yang ada, "Malam Pencabut Nyawa" masih memiliki beberapa aspek positif yang patut diapresiasi. Salah satunya adalah akting yang cukup alami dari para pemain, baik pemeran utama maupun pendukung. Tidak ada akting yang terkesan palsu atau cringe, sehingga penonton masih bisa menikmati performa para aktor.

Selain itu, momen-momen komedi dalam film ini cukup menghibur dan berhasil membuat penonton tertawa. Meskipun awalnya dimaksudkan sebagai film horor, aspek komedi justru menjadi salah satu kekuatan utama "Malam Pencabut Nyawa".

Secara keseluruhan, "Malam Pencabut Nyawa" adalah sebuah peluang yang tersia-siakan. Premis unik yang menggabungkan unsur horor dan superhero seharusnya bisa menghasilkan sebuah film yang segar dan menarik. Sayangnya, kegagalan dalam membangun ketegangan horor, kurangnya pendalaman karakter, dan penceritaan yang terburu-buru membuat film ini terasa kurang greget dan tidak memuaskan.

Meski begitu, aspek teknis seperti visual dan akting yang cukup baik, serta adanya momen-momen komedi yang menghibur, masih membuat film ini layak untuk ditonton bagi para penggemar film horor Indonesia yang tidak terlalu ketat dalam menilai aspek ketegangan.

Dengan skor 5,8 dari 10, "Malam Pencabut Nyawa" mungkin tidak akan menjadi tonggak sejarah baru bagi film horor Indonesia, tetapi setidaknya mencoba untuk keluar dari formula yang itu-itu saja. Semoga ke depannya, para sineas tanah air dapat terus berinovasi dan mengeksplorasi gagasan-gagasan segar dalam berkarya, sembari tetap memperhatikan elemen-elemen penting yang diharapkan dari sebuah film horor yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, meski terdapat kekurangan, "Malam Pencabut Nyawa" tetap layak diapresiasi sebagai sebuah upaya untuk mencoba sesuatu yang baru dalam industri film horor Indonesia. Dengan terus belajar dari kesalahan dan kekurangan, para sineas dapat terus mengasah kemampuan mereka dalam menghadirkan karya-karya yang lebih berkualitas di masa mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun