Mohon tunggu...
Verlandi Putra
Verlandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Razia Rambut Siswa, Tindakan Represif atau Edukatif?

10 Oktober 2023   09:27 Diperbarui: 10 Oktober 2023   12:58 2351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rambut adalah mahkota bagi setiap manusia. Rambut juga merupakan salah satu bagian dari identitas dan ekspresi diri seseorang. Namun, bagi para siswa di Indonesia, rambut sering menjadi sasaran razia oleh pihak sekolah. Razia rambut siswa biasanya dilakukan dengan alasan mendisiplinkan dan menertibkan penampilan siswa, khususnya yang berambut panjang atau gondrong.

Namun, apakah razia rambut siswa efektif dan sesuai dengan hak asasi manusia? Apakah razia rambut siswa tidak melanggar hak-hak siswa sebagai warga negara yang dijamin oleh konstitusi? Apakah razia rambut siswa tidak menimbulkan dampak psikologis bagi para korban? Apakah razia rambut siswa tidak mengabaikan aspek pendidikan karakter dan kreativitas yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan nasional?

Razia Rambut Siswa Melanggar Hak Asasi Manusia

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa pendidikan tidak hanya berkaitan dengan aspek kognitif atau intelektual, tetapi juga aspek afektif atau emosional, serta aspek psikomotorik atau fisik. Oleh karena itu, pendidikan harus menghargai dan mengembangkan seluruh potensi diri peserta didik secara holistik dan humanis.

Namun, razia rambut siswa justru bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan tersebut. Razia rambut siswa merupakan bentuk intervensi paksa terhadap penampilan fisik peserta didik yang tidak berdasarkan pada kesepakatan bersama antara pihak sekolah dan peserta didik. Razia rambut siswa juga tidak mempertimbangkan alasan-alasan subjektif peserta didik dalam memilih gaya rambutnya, seperti faktor agama, budaya, seni, atau kesehatan.

Razia rambut siswa juga melanggar hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa setiap orang, termasuk peserta didik, berhak untuk menentukan penampilan fisiknya sesuai dengan keyakinan, minat, dan bakatnya, tanpa harus mendapat campur tangan dari pihak lain yang tidak berwenang. Razia rambut siswa justru mengabaikan hak-hak tersebut dan menganggap peserta didik sebagai objek yang harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat secara sepihak oleh pihak sekolah.

Razia Rambut Siswa Tidak Efektif dan Menimbulkan Dampak Negatif

Selain melanggar hak asasi manusia, razia rambut siswa juga tidak efektif dan menimbulkan dampak negatif bagi para korban. Razia rambut siswa tidak efektif karena tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya, yaitu rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Razia rambut siswa hanya bersifat simbolis dan formalistik, yang tidak berhubungan dengan proses belajar mengajar yang substansial.

Razia rambut siswa juga menimbulkan dampak negatif bagi para korban, baik secara fisik maupun psikologis. Secara fisik, razia rambut siswa dapat menyebabkan luka-luka pada kulit kepala akibat penggunaan alat cukur yang tidak steril atau tidak sesuai. Secara psikologis, razia rambut siswa dapat menyebabkan trauma, stres, depresi, rasa malu, rendah diri, marah, benci, atau bahkan dendam terhadap pihak sekolah atau guru yang melakukan razia.

Banyak kasus-kasus yang menunjukkan dampak negatif dari razia rambut siswa. Misalnya, pada tahun 2019, seorang siswa SMP di Banyuwangi mempolisikan gurunya karena telah mencukur rambutnya hingga setengah botak. Siswa tersebut merasa dilecehkan dan dikucilkan oleh teman-temannya akibat penampilannya yang aneh. Pada tahun 2023, seorang guru di Lamongan mencukur rambut 19 siswinya yang tidak memakai ciput. Siswi-siswi tersebut merasa marah dan menangis karena rambut mereka dipotong secara asal-asalan. Pada tahun yang sama, seorang anggota Babinsa di Purwakarta mencukur rambut 90 siswa SMP yang berambut gondrong. Siswa-siswa tersebut merasa tertekan dan takut karena perlakuan tersebut.

Razia Rambut Siswa Mengabaikan Aspek Pendidikan Karakter dan Kreativitas

Terakhir, razia rambut siswa juga mengabaikan aspek pendidikan karakter dan kreativitas yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan nasional. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harus mendorong peserta didik untuk memiliki karakter yang baik dan kreativitas yang tinggi. Karakter adalah nilai-nilai moral dan etika yang menjadi dasar perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan Tuhan Yang Maha Esa. Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan ide-ide baru atau produk-produk baru yang bermanfaat bagi diri sendiri atau masyarakat.

Namun, razia rambut siswa justru menghambat pengembangan karakter dan kreativitas peserta didik. Razia rambut siswa menunjukkan bahwa pihak sekolah tidak menghargai keberagaman dan keunikan peserta didik. Razia rambut siswa juga menunjukkan bahwa pihak sekolah tidak memberikan ruang bagi peserta didik untuk berekspresi dan berkarya sesuai dengan minat dan bakatnya.

Razia Rambut Siswa Harus Dihentikan dan Diganti dengan Cara yang Lebih Bijak

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa razia rambut siswa adalah tindakan yang represif, tidak efektif, dan mengabaikan aspek pendidikan karakter dan kreativitas. Razia rambut siswa juga melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, razia rambut siswa harus dihentikan dan diganti dengan cara yang lebih bijak dan humanis.

Cara yang lebih bijak dan humanis adalah dengan melakukan dialog dan edukasi kepada peserta didik tentang pentingnya menjaga penampilan yang rapi, bersih, dan sopan. Dialog dan edukasi ini harus dilakukan dengan menghormati hak-hak peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang berdaulat. Dialog dan edukasi ini juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor subjektif peserta didik dalam memilih gaya rambutnya, seperti faktor agama, budaya, seni, atau kesehatan.

Dialog dan edukasi ini dapat dilakukan oleh pihak sekolah, guru, orang tua, atau tokoh masyarakat yang memiliki kredibilitas dan pengaruh positif terhadap peserta didik. Dialog dan edukasi ini dapat dilakukan secara rutin, konsisten, dan persuasif. Dialog dan edukasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan media-media yang menarik dan relevan bagi peserta didik, seperti buku, film, musik, atau sosial media.

Dialog dan edukasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab peserta didik terhadap penampilannya. Dialog dan edukasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan rasa hormat dan toleransi peserta didik terhadap keberagaman dan keunikan sesama. Dialog dan edukasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kreativitas dan produktivitas peserta didik dalam bidang-bidang yang diminati dan dibakatinya.

Penutup

Razia rambut siswa adalah salah satu contoh dari praktik-praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan zaman. Razia rambut siswa tidak hanya merugikan peserta didik secara fisik dan psikologis, tetapi juga merendahkan martabat mereka sebagai manusia dan warga negara. Razia rambut siswa juga tidak memberikan dampak positif bagi proses belajar mengajar yang seharusnya menjadi fokus utama pendidikan.

Oleh karena itu, kita harus bersama-sama menolak razia rambut siswa dan menggantinya dengan dialog dan edukasi yang lebih bijak dan humanis. Kita harus bersama-sama membangun sistem pendidikan yang menghargai dan mengembangkan potensi diri peserta didik secara holistik. Kita harus bersama-sama menciptakan generasi muda yang beriman, berilmu, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, serta berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

Apakah Anda setuju dengan opini saya? Silakan berikan komentar Anda di bawah artikel ini. Terima kasih telah membaca artikel ini sampai habis. Semoga bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun